Antara Kesatuan Wujud dan Persatuan Nasional

Antara Kesatuan Wujud dan Persatuan Nasional

- in Narasi
136
0

Di Jawa apa yang dikenal dalam agama sebagai problem tauhid kerap dianggap sebagai sebuah problem yang sudah selesai. Anggapan semacam ini dapat saya perluas lagi pada problem akhlak atau yang di Jawa dikenal dengan istilah “budi pakerti.” Sebab, dua problem ini memiliki keterkaitan yang erat dimana oleh kalangan wujudiyah Nusantara apa yang disebut sebagai relasi antara Khaliq dan makhluq terjembatani oleh akhlaq. Maka dapat dikatakan, sebagaimana penyimpulan M.C. Ricklefs, agama—dalam hal ini Islam dalam bentuk sufismenya—memiliki “kontinuitas mistis” dengan spiritualitas Jawa yang karenanya menjadi suatu hal yang tak asing lagi (Gula Klapa: Kapitayan dan Persinggungannya dengan Sufisme, Heru Harjo Hutomo, PT Nyala Masadepan Indonesia, Surakarta, 2021).

Tauhid atau yang dalam kebudayaan Jawa purba dikenal dengan istilah “kapitayan” memang bukanlah semata tata teologis. Seperti halnya konsep wihdatul wujud, kapitayan adalah juga sebentuk tata kebudayaan yang di Andalusia pernah melahirkan tata sosial yang disebut sebagai “convivencia” yang memuat pula fenomena “wihdatul adyan” atau persatuan agama-agama. Pada masa Hayam Wuruk di Majapahit pun tata teologis sekaligus tata kebudayaan ini pernah juga hadir dalam bentuk konsep agama sipil “tripaksa” yang menyatukan agama Siwa, Buddha, dan Brahma. Oleh karena itulah, pada era ini terakit pula sesanti sebagai modal kebudayaan yang kita warisi hingga detik ini: “Bhinneka Tunggal Ika.

Dalam kalangan agamawan yang tuna sejarah kerap tata teologis yang dapat mengilhami persatuan dan perdamaian semacam itu dihakimi sebagai kafir. Padahal, konsep tripaksa sendiri pun di era Majapahit bukanlah sebentuk upaya penyamaan agama ataupun hal-hal yang berbeda. Di masa sekarang kita mengenal yang namanya konsep agama sipil yang merupakan konsekuensi dari konsep masyarakat sipil. Orang kerap tak dapat memilah wilayah metafisis dan wilayah etis meskipun keduanya tak dapat dipisahkan. Dan pada tataran etis inilah sebenarnya tataran yang lebih dikedepankan oleh konsep wihdatul wujud di Andalusia ataupun kapitayan di Jawa.

Paradigma itu semua pada dasarnya sudah tercermin pada konsep Pancasila dengan ke-lima silanya yang berhubungan secara organis. Taruhlah sila pertama yang merupakan tata teologis bangsa Indonesia yang terkait erat dengan sila-sila berikutnya yang merupakan tata kebudayaan dan tata sosialnya. Adakah selama ini “Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa” berpotensi untuk menggerus keimanan seseorang pada iman kristianinya, iman islaminya, dan seterusnya? Kalaupan kapitayan ataupun wihdatul wujud dianggap sebagai sebentuk kekafiran, kenapa kemudian “Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa” itu tak dikafirkan pula?

Masa mendatang terbukti tak dapat diceraikan dari masa kini dan masa silam. Dan hanya dengan melibatkan ketiga kategori waktu itulah kita akan dapat menjalani kehidupan dengan lebih orientatif. Bukankah Lenin yang seorang ateis sekali pun pernah menggoyahkan konsep-konsep ideal yang tak ada presedennya dalam sejarah, bahwa kesilaman itu ternyata sama sekali tak dapat dilepaskan dari kekinian dan kemendatangan?

Facebook Comments