Upaya memberantas gerakan terorisme membutuhkan langkah yang komprehensif. Mulai dari langkah preventif atau yang bersifat pencegahan, sampai langkah-langkah penanganan, deradikalisasi, dan penegakan hukum. Dalam konteks langkah preventif, masyarakat luas memegang peranan yang sangat vital untuk bisa mencegah tumbuh dan berkembangnya bibit-bibit radikalisme di lingkungan masing-masing.
Mencegah tumbuhnya bibit radikalisme berarti berupaya mendeteksi gerakan terorisme dari yang paling bawah, yakni di lingkungan masyarakat. Berbagai bentuk aktivitas individu maupun kelompok yang menjurus pada gerakan teror harus bisa dideteksi oleh masyarakat sejak dini. Oleh karena itu, upaya ini membutuhkan komitmen dari seluruh masyarakat untuk memiliki kesadaran akan adanya kemungkinan munculnya bibit radikalisme di lingkungan masing-masing.
Kehidupan sosial masyarakat terbangun dari berbagai komponen. Dimulai dari lingkungan keluarga, orang tua harus bisa menjadi benteng utama yang melindungi anak-anaknya dari bahaya gerakan radikalisme. Berbagai aktivitas anak harus berada dalam pengawasan, agar orang tua bisa memantau apabila anak-anaknya mulai melakukan hal-hal yang tidak wajar. Kontrol dan kepekaan orang tua terhadap aktivitas anak menjadi kunci.
Di samping itu, orang tua juga perlu memberi perhatian khusus terhadap aktivitas anak remajanya di dunia maya. Sebab, jika kita mengamati perkembangan saat ini, pergerakan teroris telah merambah di dunia maya, baik dalam hal perekrutan anggota, komunikasi atau koordinasi, bahkan sampai pendanaan. Misalnya saja, beberapa kasus teror yang sudah terjadi, di mana dikabarkan pelakunya belajar membuat bom dari internet. Kasus bom panci Bekasi, merupakan satu contoh.
Pergerakan teroris melalui dunia maya (cyber terrorism) cenderung sulit dideteksi. Memang, dalam hal ini polisi sudah memiliki tim cyber untuk mengawasi pergerakan terorisme di internet. Namun, jika langkah tersebut diperkuat dengan peran aktif orang tua untuk mengawasi aktivitas anaknya di dunia maya, maka langkah preventif tersebut tentu akan semakin efektif dalam upaya menangkal pengaruh gerakan radikalisme sejak dini. Artinya, pemberantasan gerakan cyber terrorism bisa dilakukan dari hulu sampai hilir.
Dari lingkungan keluarga, perhatian kita kembangkan lebih lanjut ke lingkungan masyarakat. Ketika misalnya seorang anak sudah mendapatkan benteng atau perhatian orang tua dari pengaruh radikalisme, bukan berarti anak tersebut bisa terbebas dari risiko terpengaruh gerakan radikal. Sebab, ketika anak keluar rumah dan berinteraksi dengan masyarakat, teman-teman sebaya atau orang lain, apa saja bisa terjadi. Di sinilah kemudian diperlukan sinergi sosial yang baik antar warga masyarakat agar bisa terbangun kehidupan yang sadar bahaya radikalisme.
Membangun masyarakat sadar radikalisme bisa dilakukan, pertama-tama dengan membentuk budaya dan sistem kehidupan sosial yang bisa membentengi masyarakat dari gerakan radikal. Di samping pemahaman keagamaan yang moderat dan toleran yang harus terus ditumbuhkan dan dipupuk, hal mendasar yang harus ada di masyarakat adalah kepekaan dengan lingkungan sekitar masing-masing. Hubungan antar-warga yang dingin dan acuh tak acuh sudah semestinya ditinggalkan. Sebab, hal tersebut akan membuat pergerakan teroris menjadi semakin leluasa. Ketidakpedulian warga terhadap lingkungan sekitarnya merupakan ladang subur yang mendukung penyebaran dan perkembangan paham radikal dan terorisme di masyarakat.
Sebaliknya, kita harus menumbuhnya dan memperkuat suasana kehidupan yang guyub, rukun, dengan rasa kepedulian yang tinggi antar warga. Kehidupan warga yang diikat oleh kerukunan dan kepedulian yang kuat ini akan mempersempit ruang gerak terorisme, sehingga pergerakan mereka tidak mudah berkembang. Terkait model masyarakat ini, menurut Agus SB (2013), setidaknya ada dua model kehidupan masyarakat yang selama ini dimanfaatkan jaringan terorisme, yakni masyarakat perkotaan dan masyarakat basis.
Masyarakat perkotaan dengan kultur yang cenderung kurang akrab, tak peduli satu sama lain, sibuk dengan urusan masing-masing, sering dimanfaatkan kelompok teroris untuk bersembunyi. Jadi, menjadi penting untuk kembali mempererat tali kerukunan dan kepedulian antar warga di perkotaan. Berbagai bentuk kegiatan atau perkumpulan rutin yang bisa memupuk tali persaudaraan antar warga harus dihidupkan agar warga benar-benar mengenal lingkungan sosialnya. Dengan begitu, masyarakat akan mudah mengenal ketika melihat pemandangan keseharian yang tidak biasa; kedatangan orang baru, pergerakan dan aktivitas baru, sampai perkumpulan dan kegiatan-kegiatan baru yang patut dicurigai.
Adapun masyarakat basis adalah sebuah komunitas masyarakat yang mempunyai kesamaan ideologi dan cita-cita perjuangan dengan kelompok teroris. Atas dasar kesamaan tersebut, kelompok teroris mendapatkan “izin” bahkan “dukungan” untuk menjalankan gerakan dan segala rencananya. Jadi, di masyarakat basis, kelompok teroris justru dilindungi. Hal ini telah terjadi misalnya di Pakistan dan Afganistan. Kita patut bersyukur, di Indonesia hal ini sangat jarang terjadi. Tentu, kita berharap tak ada suatu komunitas masyarakat mana pun yang berkoalisi dan mendukung kelompok radikal.
Akhirnya, kebutuhan untuk hidup dalam suasana aman dan damai merupakan kebutuhan semua orang. Karena merupakan kebutuhan semua orang, maka untuk mewujudkannya juga menjadi tanggungjawab bersama. Jika pemerintah, aparat keamanan, tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat, dan seluruh lapisan masyarakat memiliki kesadaran untuk menangkal paham radikalisme dan saling bersinergi untuk memberantas gerakan terorisme, maka kita akan semakin dekat dengan kehidupan yang aman dan damai, seperti yang kita cita-citakan bersama. Wallahu a’lam..