Dalam pelbagai hikayat tempo dulu, lakon musyawarah telah tertampil sebagai identitas asasi para leluhur kita. Dalam amatan seksama, meski berbentuk kerajaan alias monarki, raja-raja Nusantara tak bisa melepaskan titahnya begitu saja tanpa terlebih dahulu bermusyawarah dengan para menteri dan mahapatih. Padahal, sistem bentuk kerajaan secara leluasa menghasratkan keluasan penuh apapun perintah sang raja. Raja bisa saja bertindak otoritarian.
Kerajaan Demak bahkan mempunyai semacam dewan yang berperan sebagai penasihat khusus; terdiri dari para ‘alim yang dikenal sebagai wali sanga. Eksistensi raja dalam menjaga stabilitas selang-seling periode kekuasaannya tidak bisa dipisahkan dari keterlibatan orang-orang pilihan (baca: kalangan cerdik-pandai) sebagai yang dimintai rujukan pendapat. Satu sisi, sistem kerajaan/monarki sememangnya terkata menihilkan partisipasi publik. Namun, impaknya bisa meminimalisasi kegaduhan di akar rumput; tersebab hanya orang-orang yang benar-benar mumpuni/cakaplah yang berhak bersuara, menyampaikan pendapat.
Saat zaman telah berubah; dan masyarakat Nusantara memilih bentuk Republik, asas permusyawaratan sebagai jati diri tetap dilekatkan dan justru makin melekat, walaupun pada fase selanjutnya teruar pelbagai bentuk teknis ejawantah yang berkesan bertolakbelakang. Di zaman Orde Baru, arti permusyawaratan dalam implementasi pemilihan presiden dan struktur pemerintahan di bawahnya tidak melibatkan partisipasi penuh masyarakat. Melainkan dicukupkan kepada para anggota parlemen sebagai representasi perwakilan rakyat untuk “bermusyawarah” memilih pemimpin.
Demokrasi lantas dipilih. Demokrasi secara asasi menuntut suara terbanyaklah sebagai kampiun. Namun, baju demokrasi tidak kemudian dipakai sepenuhnya. Perlu penyelarasan menyesuaikan konteks keindonesiaan yang berhikmat pada permusyawaratan. Maka, termaktublah Demokrasi Pancasila. Lakon-lakon permusyawaratan tetap terlebih dahulu dilakukan. Baru kemudian, bila terjadi deadlock, voting sebagai model asli sistem demokrasi, bakal dijalankan. Walakin, bila suatu klausul pembentukan undang-undang bisa rampung dengan jalan bermusyawarah, voting tidak lagi diperlukan. Gambaran seperti inilah yang kita simak dalam laku wakil-wakil kita di ruang parlemen.
Voting alias pemenang berdasarkan suara terbanyak dan penghendakan partisipasi publik secara langsung dalam gelaran Pilkada atawa Pilpres, bila ditilik mendalam, tetap berhulu pada sistem permusyawaratan. Para wakil-wakil kita itu yang berhimpun dalam partai-partai, telah secara penuh-seluruh bermusyawarah untuk menentukan siapa saja kandidat pemimpin yang nanti kemudian disodorkan untuk dipilih langsung oleh publik. Dengan kata lain, dalam bentuk teknis voting/pemilu seperti kita jalani hari ini, asas permusyawaratan tidak hilang. Keberadaan sistem kepartaian menunjukkan demokrasi bisa seirama dengan kandungan sila keempat Pancasila; di mana terdapat kesinambungan antara partisipasi penuh publik dan anasir keterwakilan. Bahasa fikih politik menyebutnya sebagai ahlul halli wal aqdi.
Ada kritik mendasar ketika pemilu/voting yang mendasarkan simpulan: yang menang adalah suara terbanyak, merupakan antitesis atawa bertentangan dengan asas permusyawaratan perwakilan itu sendiri. Kritik pun berlanjut dengan menibakan antara suara seorang yang paham politik/bijak bestari/cerdik-pandai dengan mereka yang awam politik dalam kesamaan derajat. Ada kekhawatiran akut bahwa setiap kontestasi politik macam itu senantiasa memenangkan kalangan suara kaum awam –yang sememangnya berjumlah mayoritas— dan meminggirkan pilihan politik kaum cerdik-pandai. Bila demikian, demokrasi yang mengagungkan suara rakyat –suara kalangan awam—merupakan suara Tuhan, senantiasa dicemaskan karena bakal menghadirkan kemunduran keadaban negara.
Pendidikan politik
Padahal, argumen tersebut kurang terbukti di ranah realita. Kenyataannya, sebagaian para cerdik-pandai tetap “disorong” masuk ke dalam sistem kepartaian. Mereka dituntut menampilkan kebaikan-kebaikan dan kesantunan-kesantunan berpolitik. Secara naluri-alamiah, kalangan cerdik-pandai mestinya bakal merasa terpanggil untuk memasuki belantara politik pragmatis demi esensi pengandaian politik idealis sebagai manifestasi keadaban berbangsa dan bernegara.
Karena itu, kunci mengatasi kekhawatiran berdemokrasi banal/uang tiada lain untuk terus memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Tugas pengajaran dan literasi politik juga dipanggul oleh mereka yang berdiri di luar kepartaian. Para cendekia cum akademisi; merupakan altar yang menghamparkan ruang pembelajaran berbasis keilmuan bagi masyarakat tentang konsepsi berdemokrasi sekaligus berpancasila. Begitupun para bijak bestari, para agamawan; mestinya tidak menjaga jarak dengan babakan politik. Melainkan ikut andil dalam peran serta mewujudkan perpolitikan yang sehat dan demokrasi yang pancasilais.
Anasir idealita berupa peran para cerdik-pandai sebagai legislator-eksekutif, ilmuwan-akademisi, maupun bijak bestari selaku penyeru moral; di mana memerankan tugas masing-masing; hal inilah yang dimaksud dengan mereka telah secara hakiki bermusyawarah dalam mengelola keberlangsungan tata negara ini dalam diktum Demokrasi Pancasila. Dari mereka pula, hakikatnya bertindak sebagai pemandu bagi kalangan awam dalam mengarahkan-mendewasakan sikap politiknya. Bila hal ini berlangsung optimal, maka secara otomatis, kalangan awam secara perlahan akan menjadi lebih melek politik. Pun, menjalar pada perbaikan kualitas berdemokrasi itu sendiri. Dengan begitu, partisipasi kalangan awam pada pemilu, di samping berjumlah mayoritas juga sejurus sebanding dengan adanya garansi jaminan mutu; tidak asal mencoblos.
Sejarah terbentuknya Republik dan sistem Demokrasi Pancasila yang dipilih oleh para pendiri bangsa ini senyatanya melalui jalan bermusyawarah. Dengan memilih bentukan Republik dan Demokrasi Pancasila pula, para bapak dan ibu bangsa secara harfiah maupun tersirat masih mematrikan unsur permusyawaratan sebagai jati diri dan lakon bangsa ini yang telah berlangsung berabad-abad. Walhasil, pada bentukan pemilu, sistem pemerintahan, penerapan Demokrasi Pancasila sememangnya tetap relevan dengan koridor agama; sangat islami karena mengandung anasir bermusyawarah, sebagaimana pesan Alquran: wa syawirhum fil amr. Wallahu a’lam