Antara Terorisme dan Narkoba

Antara Terorisme dan Narkoba

- in Narasi
466
0
Antara Terorisme dan Narkoba

Tak berapa lama BNPT mengeluarkan seruan tentang aksi-aksi radikalisme dan terorisme menjelang Pemilu 2024, aksi terorisme kembali mengemuka dengan terjadinya aksi bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar, Bandung. Kejadian ini memancing beberapa pihak yang kemudian mempertanyakan program deradikalisasi yang dilakukan BNPT selama ini mengingat sang pelaku merupakan seorang napiter yang pernah pula terlibat aksi serupa.

BNPT sendiri, selaku lembaga yang selama ini mengurusi salah satu problem besar bangsa Indonesia itu, menyatakan bahwa sang pelaku tak mau mengikuti program deradikalisasi. Dari pernyataan ini dapat diketahui bahwa radikalisme dan terorisme adalah laiknya narkoba. Sementara program deradikalisasi adalah seperti halnya proses rehabilitasi para pecandu narkoba.

Siapa pun paham bahwa hanya ada dua macam kemungkinan yang akan dihadapi para pecandu narkoba: sembuh atau berlanjut dengan kecanduannya dimana kematian hanyalah satu-satunya pilihan. Maka dari itu, sifat kambuhan para teroris adalah serupa dengan sifat kambuhan para mantan pecandu narkoba. Dalam masalah candu-menyandu, bukankah untuk sekedar mencapai sensasi yang sama dibutuhkan takaran zat adiktif yang lebih dari takaran yang sebelumnya?

Tak berlebihan rasanya ketika Karl Marx, meskipun dengan konteks yang berbeda, menganggap bahwa agama adalah candu masyarakat. Marx memang tak pernah membahas terorisme, meskipun luberan pemikirannya telah mengilhami banyak gerakan sosial-politik yang dikategorikan sebagai radikal dan teroristik di berbagai penjuru dunia. Namun, ketika pernyataan Marx itu dikenakan pada cara beragama yang dikategorikan radikal dan bahkan teroristik, kiranya tak ada orang yang keberatan bahwa radikalisme dan terorisme keagamaan itu laiknya candu bagi para pelakunya.

Saya kira orang banyak yang lupa tentang sifat adiktif agama atau hal-hal yang berkaitan dengannya. Dan terlebih radikalisme dan terorisme keagamaan bukan semata problem yang dapat dianggap sebagai problem poleksosbudhankam. Melainkan, dari hasil penelitian saya, juga merupakan problem kejiwaan (Petaka Melankolia: Perihal Kebhinekaan, Kenusantaraan, Radikalisme dan Terorisme, Heru Harjo Hutomo, PT Nyalamasadepan Indonesia, Surakarta, 2021).

Untuk meminjam ungkapan Ivan Karamazov dalam novel Dostoyevsky yang terkenal itu, logika para pecandu akut adalah logika “Yes or nothing at all.” Maka, daripada tak mampu meraih apa-apa atau ketika tak ada jalan lain yang tersisa (suasana orang sakau), kematian dengan jalan menyakiti diri sendiri atau bunuh diri adalah satu-satunya kemungkinan yang diambil atas kondisi yang dirasakan mencekik, atau untuk meminjam ungkapan sang bapak radikalisme “kiri,” Lenin, “What is to be done?”.

Menyandingkan para teroris keagamaan dengan Ivan Karamazov ataupun Lenin bukanlah hal yang mengada-ada. Dalam hal ini, saya hanya ingin mengatakan bahwa radikalisme dan terorisme bukanlah semata persoalan yang dapat diukur dengan ukuran politik, ekonomi, sosial, maupun rasa sakit hati atas sebuah posisi, misalnya.

Sebagaimana para pecandu narkoba yang tentu saja penanganannya tak semata selesai hanya pada bentuk penanganan sosial, hukum, agama, atau bahkan ekonomi. Demikian pula persoalan radikalisme dan terorisme yang terbukti bersifat pula adiktif laiknya narkoba. Maka dari itu, ketika ada pihak yang mempertanyakan efektifitas program deradikalisasi, misalnya, kiranya perlu pula mereka mempelajari sifat narkoba dan para pecandunya.

Facebook Comments