Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN) untuk Pertahanan Negara resmi disahkan mejadi undangiundang melalui Rapat Paripurna DPR RI, Kamis, 26 September 2019. Undang-undang ini dibuat untuk mengatur bahwa setiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dijelaskan dalam Undang-Undang PSDN bahwa sistem pertahanan negara bersifat semesta yang melibatkan seluruh sumber daya nasional yang dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berkelanjutan untuk menegakkan kedaulatan negara, menjaga keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman.
Sumber daya nasional yang dimaksud adalah sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan. Sumber daya alam adalah potensi yang terkandung dalam bumi, air, dan udara, sedangkan sumber daya buatan adalah sumber daya alam yang telah ditingkatkan dayagunanya untuk kepentingan pertahanan negara.
Dalam hal pertahanan negara, komponen utama yang dimiliki adalah Tentara Nasional Indoensia, sedangkan komponen cadangannya adalah sumber daya nasional yang disebutkan di atas yang menurut UU PSDN dapat disiapkan dan dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan TNI sebagai komponen utama.
Mempersiapkan sumber daya nasional dalam UU PSDN diantaranya melalui Bela Negara, membangun Komponen Utama, penataan Komponen Pendukung, pembentukan Komponen Cadangan, dan Mobilisasi dan Demobilisasi.
UU ini mengatur bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya bela negara melalui: a. pendidikan kewarganegaraan; b. pelatihan dasar kemiliteran secara wajib; c. pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia secara sukarela atau secara wajib; dan d. pengabdian sesuai dengan profesi.
Sama halnya dengan nilai-nilai yang ingin dibangun sebuah perusahaan agar menjadi leih kuat dan unggul, bela negara juga memiliki nilai-nilai dasar meliputu: a. cinta tanah air; b. sadar berbangsa dan bernegara; c. setia pada Pancasila sebagai ideologi negara; d. rela berkorban untuk bangsa dan negara; dan e. mempunyai kemampuan awal Bela Negara.
Baca Juga :Radikalisme, Bela Negara, dan Semesta Partisipan
Secara narasi UU ini menarik dan cukup menjadi angin segar sebagai penangkal radikalisme yang kian darurat. Namun implementasinya masih menjadi tanda tanya besar, karena UU ini belum menjadi prioritas sebagai gerakan nasional dan belum banyak dikenal dalam masyarakat, dunia pendidikan, dan dunia usaha sebagai medan program Bela Negara.
Mau seperti apa bentu Bela Negara di Indonesia? Apakah seperti wajib militer Korea Selatan yang mewajibkan pria usia 20 – 30 tahun mengikuti program militer selama 2 – 2,5 tahun? Atau mengikuti Prancis sebagai penggagas wajib militer yang memulainya sejak masa Revolusi Prancis?
Sebagai penggagas wajib militer, Prancis sempat menghentikan program ini pada 1996 dan dimulai lagi oleh Presiden Prancis, Emmanuel Macron, pada April 2019. Berbeda dengan sebelumnya, peserta wajib militer di Prancis berusia 16 tahun dan hanya mengikuti pelatihan sebulan. Mereka juga diberi kebebasan untuk memilih ikut kegiatan militer atau mengikuti kegiatan sosial.
Negara-negara yang memberlakukan bela negara bagi orang mudanya sepakat beralasan bahwa program ala-ala militer ini dibuat untuk melatih mental, kesiapan negara menghadapi perang, dan penguatan ideology bangsa. Negara yang memberlakukan bela negara diantaranya: Prancis, Swiss, Denmark, Finlandia, Rusia, Mesir, Uni Emirat Arab, Singapura, Thailand, Turki, dan Israel.
Pelaksanaan bela negara di masing-masing negera itu berbeda-beda, mulai dari yang sangat ketat mewajibkan warga negaranya mengikuti program bela negara dengan ancaman kurungan penjaran, hukuman sosial, denda, sampai hanya kerelaan warganya. Bentuknya mulai dari program di camp militer selama beberapa tahun, program beberapa bulan, hingga cukup dengan kegiatan sosial.
Dengan segala bentuk dan kontroversinya, bentuk bela negara semacam apa yang ingin dipakai Indonesia? Dampak positifnya bisa pada penguatan ideology bangsa dan kualitas SDM Indonesia, dampak paling negatifnya adalah menjadi negara diktator seperti Indonesia zaman Soeharto, Irak kepemimpinan Saddam Hussein, Robert Mugabe yang memimpin Zimbabwe selama empat dekade dengan arogan, Hitler, hingga Korea Utara yang masih nampak nyata di depan mata kita sebagai bentuk negara yang menindas warganya dengan pola asuh ketaatan ala militer pada pemimpin negara.
Indonesia selalu kuat dalam konsep dan gagasan, namun lemah pada implementasi. Bahkan, baru menyebarkan narasi saja sudah dihadapkan pada polemik pro vs kontra. Hal ini disebabkan oleh lemahnya pemerintah menarasikan program-programnya dengan cara “cantik” dan smart sehingga bisa diterima masyarakat dengan smooth. Demokrasi yang kebablasan juga membuat terlalu banyak keriuhan yang berasal dari orang-orang yang tidak layak membicarakan hal-hal tertentu namun diberi ruang publik karena memiliki banyak pengikut.
Demokrasi kebablasan itu kadang tersirat narasi-narasi bibit radikalisme yang dikemas halus. Misalnya, polemik pelarangan cadar dan celana cingkrang oleh Menteri Agama. Narasi ini kemudian memberi panggung bagi kelompok-kelompok radikal untuk mempromosikan “kebaikan” mereka yang mendukung penggunaan cadar, karnaval anak-anak TK berpakaian perang, hingga penyampaian ideologi yang bertentangan dengan Pancasila namun diterangkan dengan lembut di layar kaca.
Narasi-narasi yang mengarah pada paham radikalisme semacam semacam itu perlu dilawan dengan penguatan ideologi Pancasila sebagai dasar negara. Namun pencerapan ideologi Pancasila tak semudah menghapalkannya. Perlu waktu panjang dan mendalam untuk membadankan nilai-nilai Pancasila sampai pada aktivitas harian.
Jika ruang keluarga dan sistem pendidikan sudah terlalu rumit untuk diselipi penanaman idoelogi Pancasila, maka program Bela Negara dapat menjadi pintu masuk awal untuk memberikan “doktrin” berbangsa dan beregara yang baik di tengah tantangan radikalisme.
Namun yang lebih penting adalah memahami bahwa bela negara bukan kewajiban pemerintah atau hanya sekadar diterjemahkan sebagai program pemerintah, bela negara harus menjadi semangat bahwa sebagai pemilik Indonesia yang amat luar biasa ini, setiap pribadi berkewarganegaraan Indonesia wajib melakukan bela negara dalam hidup hariannya dalam beragam bentuk.
Bisa dengan menjaga kelestarian alam, toleransi pada tetangga dan perbedaan suku, agama, dan ras, melatih intelektualitas demi memajukan bangsa, berkontribusi dalam sosial dan politik. Hingga yang paling sederhana adalah melawan radikalisme dengan bernarasi positif sebanyak-banyaknya di kehidupan harian dan media sosial.