Minggu, 20 April, 2025
Informasi Damai
Faktual

Faktual

Menguji Air Mata Umar Patek dan Masa Depan Ancaman Teror di Indonesia

Menguji Air Mata Umar Patek dan Masa Depan Ancaman Teror di Indonesia
Faktual
Hisyam Alias Umar Patek tidak kuasa menahan air matanya ketika mengucapkan permohonan maaf kepada keluarga korban Bom Bali 1 tahun 2002. Dengan rasa sesal yang tinggi, ia menumpahkan tangis dengan permohonan maaf khususnya kepada keluarga korban. Apa yang ia lakukan, menurutnya, akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Suaranya sempat hilang saat ...
Read more 0

Pesona Sepak Bola dan Sufisme Maroko dalam Melawan Ekstremisme

Pesona Sepak Bola dan Sufisme Maroko dalam Melawan Ekstremisme
Faktual
Perjuangan Maroko akan selalu menjadi kisah sejarah yang akan banyak dikenang dalam sejarah sepak bola dunia. Maroko mampu mengukir sejarah besar di Piala Dunia 2022 Qatar dengan secara mengejutkan masuk ke semifinal. Banyak kalangan tidak memperhitungkan. Namun, dengan mengalahkan Portugal di babak semifinal dengan skor 1-0, Maroko mencatat tinta baru ...
Read more 0

Biang Keladi Isu Kristenisasi di tengah Duka Bencana

Faktual
Topik gempa Cianjur memang ramai diperbincangkan. Bencana yang telah menelan banyak korban dan penuh kesedihan ini telah mengetuk berbagai pihak untuk memberikan bantuan. Tidak peduli dari latar belakang apapun bantuan mengalir deras. Di tengah duka, sebaran hoax dan disinformasi pun mengalir deras. Salah satu yang marak adalah persoalan kristenisasi. Masyarakat ...
Read more 0

Mencopot label Gereja di Tenda Bantuan Gempa Bumi Cianjur demi Kehormatan Agama?

Mencopot label Gereja di Tenda Bantuan Gempa Bumi Cianjur demi Kehormatan Agama?
Faktual
Dengan sikap angkuh beberapa oknum mencopot label Gereja Reformed di tenda bantuan gempa bumi Cianjur. Mereka bertindak seolah menjaga “marwah/kehormatan agama”. Merasa “najis” dibantu oleh yang berbeda agama dengan sebuah alasan demi kehormatan agama dan lain sebagainya. Lantas, mengapa yang dicopot hanya label (tulisan) Gereja reformed saja? Mengapa tidak mencopot ...
Read more 0

Kontestasi Politik 2024 dan Bahaya Politisasi Rumah Ibadah

Kontestasi Politik 2024 dan Bahaya Politisasi Rumah Ibadah
Faktual
Nuansa politik 2024 mulai kencang meski perhelatannya masih dua tahun lagi. Beberapa tokoh mulai turun gunung. Beberapa partai mulai menjajaki dan membangun koalisi. Tidak lupa para calon sedang mencari simpati dan ada pula yang masih mencari dukungan partai. Sebelumnya Presiden Joko Widodo telah memperingatkan agar para elite politik untuk tidak ...
Read more 0

Mencegah Radikalisasi di Lingkungan Aparat Negara

Beberapa waktu yang lalu kita dikejutkan dengan penangkapan dua oknum aparat polisi di Lampung oleh Densus 88. Pendalaman dan penyidikan masih terus ditindaklanjuti. Apa yang mengagetkan bahwa aparat penegak hukum pun tidak imun dari paham dan jaringan terorisme. Persoalan ini memang bukan kali pertama. Salah satu mantan teroris yang kita kenal dari aparat kepolisian, Sufyan Tsauri, adalah bagian dari proses radikalisasi yang terjadi di tubuh institusi ini. Sebelumnya juga telah banyak berita dan cerita aparat kepolisian yang terpapar paham radikal. Tidak hanya di Polri, TNI dan ASN pun telah dimasukin kelompok ini. Apa yang perlu dipahami bahwa radikalisme sejatinya tidak melulu tentang tindak kekerasan, namun juga mengarah kepada sikap intoleransi. Radikalisme merupakan fase awal yang menyebabkan seseorang bertindak kekerasan. Biasanya pemahaman ini dimulai dengan sikap intoleran yang mulai menggugat berbagai keragaman yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai sebuah kekayaan bangsa. Virus intoleransi dan radikal memang lebih sangat berbahaya ketika merasuki lingkungan kerja pemerintahan. Mereka yang dididik dengan wawasan kebangsaan dan bekerja untuk pemerintahan saja masih mudah terpengaruh paham radikal. Bahkan tidak hanya pemikiran, tetapi ada pula yang sudah bergabung dalam organisasi dan jaringan yang terlarang. Pemerintah memang telah mengantisipasi dengan menerbitkan Surat Edaran Bersama Menteri PANRB dan Kepala BKN Nomor 2 Tahun 2001 No. 2/SE/I/2021 yang diterbitkan pada 25 Januari 2021. Yang berbunyi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), Tjahjo Kumolo, melarang Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Aparatur Sipil Negara (ASN) berhubungan maupun mendukung seluruh organisasi yang dilarang pemerintah seperti Partai Komunis Indonesia (PKI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Jamaah Ansharut Daulah (JAD), dan Front Pembela Islam (FPI). Tindaklanjutnya, Kemenpan RB menyebutkan telah melakukan langkah pemecatan sekitar 30 sampai 40 ASN tiap bulan karena berbagai pelanggaran, di antaranya tersangkut radikalisme maupun yang tergabung dalam organisasi terlarang dan tidak mengakui Pancasila dan UUD 1945. Memang tidak mengherankan karena menurut hasil penelitian The Habibie Center, seperti yang disebut Direktur Program dan Riset Muhammad Hasan Ansori, pada 2017 menunjukkan setidaknya 30%-40% ASN di Indonesia telah terpapar paham radikal. Memang banyak hal yang perlu dibenahi dalam membentengi wawasan kebangsaan para aparat negara. Bayangkan mereka akan menjadi duri dalam sekam yang memanfaatkan anggaran negara sementara mereka bisa memilih tergabung dalam organisasi yang intoleran, menolak Pancasila, dan mendirikan khilafah atau negara Islam. Tidak sedikitnya aparat negara yang memilih untuk bergabung dalam organisasi tersebut harus mendapatkan perhatian. Pemerintah memang perlu sangat tegas dan tidak boleh main-main dalam urusan ideologi di lingkungannya. Tidak toleransi bagi mereka yang memilih mengabdi buat negeri untuk memiliki pandangan yang bertentangan dengan NKRI. Pembinaan ideologi sejatinya tidak hanya dimarakkan kepada masyarakat umum, tetapi aparat pemerintah sejatinya garda depan untuk dilakukan pembinaan yang masif. Namun, persoalannya pemerintah tidak boleh hanya fokus pada sangsi. Semakin banyak yang menerima sangsi bahkan pemecatan sejatinya bukan suatu keberhasilan, tetapi justru menjadi kemunduran. Fokus utama yang dilakukan adalah mencegah dan menyembuhkan. Pemerintah harus mempunyai strategis dari hulu hingga hilir yang bisa mencegah dan mengantisipasi radikalisasi di lingkungan aparat negara. Pemecatan sejatinya langkah terakhir jika memang sudah jelas terbukti memiliki afiliasi dengan organisasi terlarang. Tetapi langkah pemecatan juga harus dibarengi dengan pendampingan. Jika tidak timbulnya balas dendam dan benci terhadap negara akan menimbulkan persoalan. Dan bukan tidak mungkin, ini akan menjadi alasan kuat untuk terjerat dalam jaringan radikal terorisme. Pemerintah harus mempunyai formula tepat dalam menanggulangi radikalisasi di kalangan aparat negara. Bukan sekedar sangsi, tetapi ikhtiar pembinaan ideologi mutlak dilakukan. Setelah mereka berikrar dan sumpah setia terhadap NKRI, persoalan selanjutnya adalah menjaga wawasan kebangsaan ini tetap teguh. Jika tidak, mereka hanya menjadi duri dalam daging. Keberadaannya bisa menjadi benalu dan virus yang bisa mematikan. Tidak besar tetapi dapat menggangu roda perjalanan.
Faktual
Beberapa waktu yang lalu kita dikejutkan dengan penangkapan dua oknum aparat polisi di Lampung oleh Densus 88. Pendalaman dan penyidikan masih terus ditindaklanjuti. Apa yang mengagetkan bahwa aparat penegak hukum pun tidak imun dari paham dan jaringan terorisme. Persoalan ini memang bukan kali pertama. Salah satu mantan teroris yang kita ...
Read more 0

Jokowi Ingatkan Politik Identitas : Apa Bahayanya ?

Dalam sembutan pada Pembukaan Munas XVII Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), 21 November yang lalu, Presiden Jokowi mengingatkan dan menghimbau pada para pengusaha dan elite politik agar tidak bermain dengan politik identitas. Tepatnya ia mengatakan agar tidak membawa politik SARA dan politisasi agama. Tentu saja sangat berasalan mengingat kondisi bangsa yang baru pulih dari pandemi dan siap menghadapi kontestasi politik yang menegangkan membutuhkan nuansa yang kondusif. Kontestasi politik bukan menghalalkan segala cara apalagi bermain-main dengan politisasi agama. Politik identitas merupakan pemanfaatan manusia secara politis yang mengutamakan kepentingan sebuah kelompok karena adanya persamaan identitas yang mencakup ras, etnis dan unsur agama. Eksploitasi terhadap perbedaan itu untuk menumbuhkan emosi persatuan tetapi satu sisi untuk memecah belah kelompok sosial yang lain. Dalam prakteknya, politik identitas biasanya paling banyak muncul di masa-masa kontestasi politik seperti pemilihan kepala daerah atau bahkan negara. Tragedi kemanusiaan dalam sejarah muncul karena permainan politik identitas yang bisa memberangus nyawa manusia. Adolf Hitler, misalnya, mampu meyakinkan orang-orang Jerman bahwa sumber krisis ekonomi dan kekalahan perang dunia adalah karena pengaruh orang-orang Yahudi. Banyak janji manis yang ia lontarkan untuk para pendukungnya kala itu. Hitler menawarkan diri untuk melenyapkan orang Yahudi ketika ia nantinya berkuasa. Di tahun 1932, Hitlerpun mampu memenangkan pemilu. Kemenangan tersebut mengakibatkan tragedi yang terjadi di Jerman pada saat Nazi berkuasa. Enam juta orang Yahudi menjadi korban kekejaman politik identitas dan itu menjadi salah satu peristiwa terburuk yang tercatat dalam sejarah dunia. Alasan inilah menjadikan politik identitas diyakini sebagai cara berpolitik yang memiliki potensi radikal karena datang langsung dari identitas diri sendiri sebagai upaya untuk mengakhiri penindasan dengan cara pembalasan yang serupa atau bahkan lebih. Di Indonesia sendiri telah banyak dijumpai politisi yang cenderung mengarah pada politik identitas. Agama Islam di Indonesia seringkali dijadikan sebagai alat politik belaka saat pemilu tiba. Alasannya, agama Islam memiliki posisi yang strategis karena memiliki sejarah panjang dalam politik Indonesia, selain itu mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Politik identitas digunakan untuk mendapatkan dukungan politik. Kita masih sangat ingat dalam pemilihan gubernur Jakarta 2017. Banyak sekali kejadian yang sejatinya menciderai nilai-nilai kemanusiaan gara-gara politik identitas. Agama dieksploitasi sedemikian rupa untuk membelah masyarakat. Masih ingat bagaimana sekelompok orang tidak mau menshalatkan saudara seiman pun karena perbedaan pilihan politik? Pertentangan politik akan semakin tajam bahkan meningkat menjadi pertarungan yang sacral. Masih ingatkah pula Pilpres 2019 di mana persaiangan politik dimaknai perang dengan doa akbar kemenangan yang dilantunkan layaknya sebuah peperangan. Keras dan sporadisnya politik identitas mampu membuat masyarakat tersegregasi dan terbelah menjadi dua kubu yang berlawanan. Wilayah agama digadang sebagai lahan beroperasi politik identitas. Dalam konteks Indonesia sendiri, politik identitas terkadang dilakukan oleh kelompok mainstream, yakni kelompok agama mayoritas dengan kaum minoritas. Kemudian disusul dengan munculnya gerakan-gerakan radikal atau semi radikal yang mengatasnamakan agama tersebut. Dari sini kita bisa simpulkan bahwa, politik identitas merupakan sebuah cara berpolitik yang didasarkan kepada kesamaan dan kesamaan identitas. Dan di Indonesia politik identitas di kerucutkan menjadi dua kelompok, yakni nasionalis dan agamis yang selalu dibenturk-benturkan. Corak membenturkan antara agama dan nasionalisme sejatinya adalah cara berpikir kelompok radikal. Apabila politik identitas ini terus berjalan, maka akan menimbulkan dampak yang cukup signifikan bagi bangsa dan negara kita. Politik identitas tidak hanya akan memberikan ruang pertentangan menuju proses demokrasi yang tidak sehat, tetapi menjadi lahan subur pandangan radikalisme di tengah masyarakat. Jika negara tidak mampu mengelolanya dengan tepat dan bijak, politik identitas akan mampu menghancurkan stabilitas dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena pertentangan tersebut tidak akan memiliki jalan tengah dan justru tumbuh menjadi sumbu yang siap meledakkan bangsa. Bukan saja kepentingan politik yang dipertaruhkan di sini, namun juga kepentingan masyarakat luas. Kita tahu bahwa Indonesia merupakan sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras, serta budaya. Indonesia juga banyak menyimpan berbagai sumber daya alam dan juga sumber daya manusia yang melimpah, dengan penduduk yang banyak dan juga memiliki latar belakang budaya, agama, serta suku yang berbeda-beda. Jadi apabila logika politik identitas adalah untuk membagi kita dalam sebuah kelompok-kelompok akan menjadi ancaman besar terhadap negara yang majemuk ini. Karena itulah, politik identitas merupakan salah satu ancaman besar bagi negara ini. Daripada menuju politik identitas, kita harus bergerak menuju politik solidaritas.
Faktual
Dalam sembutan pada Pembukaan Munas XVII Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), 21 November yang lalu, Presiden Jokowi mengingatkan dan menghimbau pada para pengusaha dan elite politik agar tidak bermain dengan politik identitas. Tepatnya ia mengatakan agar tidak membawa politik SARA dan politisasi agama. Tentu saja sangat berasalan mengingat kondisi bangsa ...
Read more 0

Hinaan terhadap Ibu Negara dan Problem Arus Kebencian di Media Sosial

Perhelatan G20 yang diadakan di Bali menuai kesuksesan luar biasa. Pujian tidak hanya datang dari dalam negeri tetai juga dari luar negeri, bahkan para pemimpin negara. Indonesia tidak hanya sukses menggelar denga naman dan lancar, tetapi secara subtansi dan tujuan bisa tercapai. Namun, di tengah hingar binger kesuksesan itu selalu ada kata nyinyir yang selalu muncul. Salah satu yang sempat viral adalah perihal hinaan yang dilakukan oleh netizen terhadap Ibu Negara, Iriani Jokowi. Sontak masyarakat dibuat geram dengan hinaan terhadap penampilan ibu negara tersebut. Ternyata hinaan itu terus berlanjut meskipun satu pelaku telah meminta maaf. Ditemukan akun lain dengan nada hinaan dengan topik yang berbeda-beda. Kenapa hal ini muncul? Sebuah candaan? Atau kritik? Atau hanya keusilan? Sejatinya masyarakat sudah sangat belajar dari berbagai kasus ketidakcerdasan bermedia sosial yang berujung penjara. Jeratan UU ITE akibat ceroboh dalam bermedia sosial telah banyak memakan korban. Tetapi mengapa arus hinaan dan cacian di media sosial kerap muncul bahkan kepada sosok seperti Presiden dan Istri Presiden sekalipun. Apakah kurang literasi? Jika mengatakan bahwa kurangnya literasi sebagai akar dari kecerobohan orang dalam menggunakan media sosial rasanya kurang tepat. Masyarakat tentu memiliki literasi yang bagus dalam persoalan teknologi dan informasi jika sudah belajar dari berbagai kasus yang ada. Nampaknya, bukan sekedar kurangnya literasi, tetapi sejatinya yang menjadi salah satu penyebab seseorang jatuh dalam ujaran kebencian, provokasi dan hasutan di media sosial adalah karena belum mampu bebaskan diri dari narasi kebencian. Ketidaksukaan dalam konteks yang berbeda pandangan politik, agama, etnis dan budaya memang kerap melahirkan rasa benci. Rasa benci inilah yang mendorong seseorang tidak memiliki prestasi, tetapi suka menebar sensasi. Apa yang disampaikan bukan berdasarkan profesi, tetapi murni kebencian dan ketidaksukaan terhadap seseorang berdasarkan pilihan sadar. Karena itulah, narasi kebencian ini menjadi salah satu parameter penyakit di media sosial yang disebut dengan ujaran kebencian (hate speech). Ujaran kebencian menjadi salah satu momok yang banyak menjerat mereka yang berpendidikan sekalipun atau pun mereka yang sudah pakar dalam bidang teknologi dan informasi sekalipun. Berbagai kasus ini menjadikan diri kita mestinya belajar tentang bagaimana bersikap cerdas dan bijak dalam bermedia sosial. Cerdas berkaitan dengan kecakapan kita dalam mengetahui aturan, norma dan etika bermedia sosial. Sementara, bijak merupakan sikap kematangan dalam diri untuk tidak mengumbar informasi yang menyesatkan diri atau orang lain atau memangkas kebencian terhadap yang berbeda. Varian Narasi Kebencian yang Berujung Jeruji Besi Sejatinya, narasi kebencian itu adalah pangkal pokok yang menjadikan seseorang kehilangan akal sehat. Tidak peduli tingkat intelektual yang dimiliki atau titel akademis yang dimiliki, ketika terinfeksi virus kebencian, logika menjadi mati. Ketika logika mati, narasi pun tidak bisa dikontrol yang sepenuhnya menjadi pengatur adalah emosi. Namun, memang tidak bisa dipungkiri narasi kebencian itu memiliki banyak latarbelakang motif. Pertama, ada narasi kebencian yang secara konsisten dilancarkan seputar kebencian terhadap negara dan pemerintah. Dalam kasus ini, berbeda dengan konteks pandangan kritis. Narasi yang dikeluarkan tidak berada pada tataran logis, tetapi apapun sistem negara dan kebijakannya adalah salah. Berlindung dalam tameng demokrasi dan keterbukaan kritik, narasi kebencian mudah terlihat dari beberapa tokoh yang disambut dengan riang gembira oleh para supporter militannya. Yang terjerat hukum kadang bukan tokohnya tetapi para pendukung yang sejatinya tidak bisa apa-apa dan tidak mendapatkan apa-apa. Mereka martir dari korban narasi kebencian. Kedua, narasi kebencian yang secara konsisten mengalir dalam menyerang pandangan keagamaan dan aliran yang berbeda. Dalam kasus ini, tidak hanya monopoli satu agama tetapi telah dilakukan oleh oknum beragama dari masing-masing agama. Menyerang dan mencaci keyakinan lain seolah serangan seperti itu akan menebalkan imannya sendiri. Ketiga, ada pula kebencian yang secara konsisten dan mulai menyeruak karena perbedaan pandangan politik. Bekas kontestasi politik terus dirawat sehingga polarisasi itu tidak kunjung padam. Saling serang berdasarkan kebencian mudah menyulut emosi masyarakat dan para pendukungnya. Lagi-lagi bukan elite politiknya yang bermasalah dengan hukum tetapi para martirnya yang terkena kasus hukum. Keempat, narasi kebencian yang melibatkan irisan perkawinan antara perbedaan politik dan perbedaan keyakinan. Narasi keempat ini memang populer disebut dengan narasi politik identitas yang banyak memakan tumbal masyarakat bawah. Kolaborasi kepentingan politik dengan menjual identitas keagamaan mudah laku dan menyulut emosi netizen. Karena itulah, berhati-hati dalam bermedia sosial bukan sekedar membutuhkan kemampuan literasi, tetapi juga menjaga diri dari narasi kebencian. Semua bermula karena kebencian sehingga memunculkan narasi yang tanpa kontrol. Jika ingin selamat di media sosial, selamatkan otak dan pikiran kita dari kebencian.
Faktual
Perhelatan G20 yang diadakan di Bali menuai kesuksesan luar biasa. Pujian tidak hanya datang dari dalam negeri tetai juga dari luar negeri, bahkan para pemimpin negara. Indonesia tidak hanya sukses menggelar denga naman dan lancar, tetapi secara subtansi dan tujuan bisa tercapai. Namun, di tengah hingar binger kesuksesan itu selalu ...
Read more 0

Islam Melarang Mengejek dan Memaki Sesembahan Orang Lain

Islam Melarang Mengejek dan Memaki Sesembahan Orang Lain
Faktual
Baru-baru ini viral pernyataan selebritis dan host Daniel Mananta soal ada roh jahat di salib Yesus yang menuai kontroversi dari berbagai kalangan, tidak dari kalangan umat Kristen, tetapi juga muslim. Pendapat Daniel diungkapkan sebagai bagian dari kesetujuannya dengan UAS yang kala itu mengatakan ada jin kafir dalam Salib. Daniel menyebutkan ...
Read more 0

Piala Dunia Qatar 2022 : Memperkenalkan Islam Rahmat dan Dialog Antar Budaya

Piala Dunia Qatar 2022 : Memperkenalkan Islam Rahmat dan Dialog Antar Budaya
Faktual
Saya begitu tertarik dengan Opening Ceremony World Cup Qatar 2022. Di mana, Morgan Freeman membangun sebuah pola komunikatif dengan Ghanim Al-Muftah tentang kondisi dunia yang semakin jauh dan berpecah-belah. Sebab, dalam pembukaan piala dunia 2022 ini, keduanya tidak banyak berbicara tentang persaingan atau-pun kompetisi, melainkan banyak berbicara tentang sebuah reputasi ...
Read more 0