Umat, Konsep Kesetaraan, dan Platform Bersama

Umat, Konsep Kesetaraan, dan Platform Bersama

- in Narasi
475
1
Umat, Konsep Kesetaraan, dan Platform Bersama

Kaum Islamisme sering mereduksi –bahkan tak jarang membajak –konsep ummat yang egaliter dan inklusif itu. Ummat adalah konsep yang membasiskan penilaian terhadap manusia berdasarkan kualitas kesadarannya akan Tuhan (taqwa), bukan berdasarkan ras, keturunan, jenis kalamin, kekayaan, atau warna kulit.

Akan tetapi, keegaliteran dan keinklusifan konsep ummat itu dimanipulasi oleh Islam politik demi kepentingan politik pragmatis mereka. Bagi mereka, disebut ummat adalah hanya golongan mereka saja, di luar itu bukan ummat.

Narasi yang dihembuskan adalah narasi bahwa ummat adalah setiap manusia yang mau mendukung mereka. Jika ada individu/organisasi yang mengkritik atau berusaha menyadarkan mereka segara dicap sebagai musuh ummat, anti-Islam, anti-syariat, dan semacamnya.

Kata ummat sering dijadikan sebagai branding untuk meraup suara. Bukan hanya itu, kata ummat digunakan di media sosial sebagai penarik simpati dari para netizen. Kita dengan mudah mendapatkan narasi-narasi provokatif di sosial media.

“Umat Islam telah dihina.” “Pemerintah telah menzalimi umat Islam.” “Bendera umat Islam telah dibakar, ini penistaan.” “Kita umat Islam wajib berjihad,” dan sederet pernyataan lainnya yang cenderung sektarian dan reduksionis.

Platform Bersama

Pemaknaan kata ummat secara eksklusif dan tidak egaliter menyalahi makna dan historitas konsep ummat itu sendiri. dan historisitas umat itu sendiri. Dalam sejarahnya, ummat adalah platform bersama. Kata ini berfungsi sebagai perekat, titik tumpu, dan konsep membangun peradaban.

Baca Juga :Solusi Umat; Akhlakul Karimah atau Khilafah?

Secara historis, konsep umat merupakan kritikan terhadap konsep-konsep komunitas yang sudah ada di masa Nabi. Beberapa konsep yang terekam itu adalah sya’bun, qabilah, hizb, dan qaum. Konsep-konsep yang disebutkan terakhir ini tidak bisa dijadikan sebagai basis membangun peradaban.

Sya’bun adalah konsep komunitas di era Nabi berdasarkan genetik, seseorang dihimpun berdasarkan garis keturunan dan marganya. Qabilah adalah konsep komunitas berdasarkan primordialisme kesukuan, kedaerahan, dan persamaan tradisi. Qaum, komunitas yang diikat atas dasar kepentingan sosial dan ekonomi. Sedang hizb adalah komunitas yang dihimpun atas dasar persamaan sejarah dan kepentingan ideologi politik.

Konsep-konsep ini dikritik oleh Al-Quran karena sifatnya yang hierarkis, ada kelas-kelas, dan jauh dari kata egaliter. Alasan utama Islam mengkritik konsep komunitas yang hierarkis itu tidak lain kerana Islam berfungsi sebagai perekat. Fungsi utama agama –apapun agamanya –adalah kohesi. Islam datang untuk menghancurkan sekat-sekat, kelas sosial, dan pembedaan yang diskriminatif.

Konsep yang ditawarkan oleh Islam sebagai ganti dari konsep komunitas di atas adalah konsep ummah. Umat adalah konsep yang didasarkan pada ikatan spiritual keagamaan sebagai hamba Tuhan. Di sini tidak ada lagi pembeda, kelas-kelas, semuanya ditentukan oleh kesadarannya akan Tuhan (taqwa). Konsep komunitas yang ditawarkan oleh Islam itu sangat inklusif dan universal.

Konsep umat melintasi batas-batas kepentingan politik, ekonomi, kesukuan, dan kedaerahan. Umat adalah konsep pemersatu, pengikat, sekaligus pembebas. Dari dulu, Nabi sudah mendeklarasikan, bahwa tidak ada perbedaan Arab dan non-Arab, laki-laki dan perempuan, tua dan muda, kulit putih dan kulit hitam. Semuanya sama dan setara.

Bangun Peradaban Baru

Kini makna inklusifitas kata ummat itu direduksi. Konsep kesetaraan ummat dibajak demi kepentingan ideologi, identitas, dan politik oleh kaum Islamisme. Kaum Islamisme yang saya maksud adalah mereka yang masih memperjuangkan Islam sebagai sistem politik dan negara.

Dalam konteks tertentu, kaum Islam politik ini justru menjadikan primordialisme yang dulu dikritik oleh Al-Quran juga Nabi sebagai asas dalam berpolitik. Konsep hizb umpamanya dijadikan sebagai kendaraan tetapi diklaim memperjuangkan kepentingan ummat.

Hizbut Tahrir Indonesia mengklaim, dengan konsep khilafah yang mereka usung, bahwa apa yang mereka perjuangan adalah untuk ummat. Apa yang mereka dakwahkan adalah demi kemajuan ummat. Dan, apa yang mereka serukan untuk kemaslahatan ummat. Padahal, dari redaksi namanya saja sudah bisa diketahui itu adalah demi kepentingan hizb, suatu komunitas yang didasarkan untuk kepentingan ideologi dan politik tertentu.

Polarisasi sering terjadi di masyarakat, sebab adanya perebutan klaim siapa yang paling absah disebut sebagai ummat. Si A bilang merekalah ummat yang sejati, di luar mereka melenceng. Si B datang, kamilah ummat yang disabdakan Nabi, di luar kami sesat. Si C bilang, kelompok kamilah ummat yang benar, selain kami adalah salah.

Polarisasi sebab perebutan makna ummat ini dengan mudah kita dapati di sosial media. Demi membangun legitimasi kelompok masing-masing, tak jarang saling serang dalil, mengafir-sesatkan, provokasi, serta ujaran kebencian –menjadi sesuatu yang tak terelakkan.

Kini saatnya kita kembali ke makna inklusif dan egalitarianisme ummat itu. Kita kesempingkan kontestasi politik. Kita seru persaudaraan, bahwa kita adalah sama, sama-sama ummat yang mempunyai fungsi dan tugas dari Tuhan untuk memakmurkan bumi ini.

Dengan kembali, diharapkan kita bisa bekerja sama, dan keluar dari primordialisme masing-masing, untuk membangun peradaban baru. Kita sudah jauh tertinggal dari Kristen-Barat, Shinto-Jepang, Budha-Korea, Komunis-Tao-Tiongkok, bahkan tertinggal dari Hindu-India. Mari kita kepalkan tangan. Bangun peradaban baru!

Facebook Comments