Wabah Corona yang menyerang hampir semua negara di dunia merupakan fenomema pandemi pertama sejak terjadinya revolusi dunia digital selama satu dekade belakangan ini. Maka menjadi wajar jika perhatian publik pada fenomena ini begitu tinggi mengalahkan fenomena penyebaran virus lainnya. Padahal, jika dilihat dari tingkat kematian kasus (case fatality rate) Corona masih berada di bawah virus-virus yang masih serumpun seperti MERS dan SARS.
Namun, inilah risiko era digital, dimana sebuah isu bisa dengan mudah dan cepat mengglobal dan dikonsumsi oleh semua warga dunia. Semua itu dimungkinan salah satunya dengan keberadaan internet, media massa daring dan tentunya media sosial. Akibat banjirnya informasi di kanal media sosial yang sulit dibendung dan sukar diidentifikasi mana yang benar, separuh benar dan sepenuhnya hoaks, Corona lebih mirip seperti mitos ketimbang sebagai sebuah fenomena biologis-medis.
Lihatlah, berapa banyak orang yang mencoba menganalisa kemunculan, asal-usul, karakter serta penanganan virus Corona ini. Baik melalui pendekatan saintifik, sains semu (pseudo-science), agama sampai teori konspirasi. Semua hasil analisa itu tumpah ruah di media sosial kita dan membuat publik disandera ketidakpastian. Bisa dibilang, masyarakat dunia, tidak terkecuali di Indonesia saat ini tengah berada dalam labirin informasi tentang Corona yang membingungkan bahkan menyesatkan.
Informasi yang faktual-ilmiah berkelindan dan tumpang tindih dengan informasi yang berbau opini, spekulasi, bahkan hoaks. Inilah yang disebut sebagai hiperrealitas Corona, yakni sebuah fase ketika segala informasi tentang Corona tidak memiliki garis demarkasi yang jelas antara kebenaran dan rekaan. Di satu titik, publik kerap lebih condong kepada informasi yang bersifat rekaan dan konspiratif ketimbang informasi faktual-ilmiah.
Baca Juga : Menertibkan Media Penyebar Infomasi Negatif
Dalam ranah filsafat posmodern, istilah hiperrealitas diperkenalkan oleh pemikir asal Perancis Jean Baudrillard. Istilah ini dipakai oleh Baudrillard untuk menggambarkan sebuah kondisi ketika batas antara realita dan citra begitu tipis sehingga sulit diidentifikasi oleh manusia. Realitas-citraan atau citraan realitas menjadi dua hal yang bisa saling dipertukarkan, terutama di ranah sosial media dimana citra-rekaan bisa dimanupalasi sebagai fakta, begitu pula sebaliknya.
Fenomena hiperrealitas Corona itu mengemuka di ranah media sosial, dimana semua orang bebas berpendapat, menyebarkan gagasan dan membangun opini. Di media sosial, semua orang bisa dengan mudah menjadi seorang ahli segala macam secara dadakan. Para pakar gadungan itu akan membahas apa saja isu atau fenomena yang tengah berkembang di masyarakat. Termasuk ketika isu Corona tengah menyita perhatian publik global.
Era media sosial yang menjanjikan kebebasan dan kesetaraan akhirnya menemui paradoksnya. Salah satu wujud paradoks itu ialah munculnya para pakar gadungan yang lebih populer ketimbang para pakar sungguhan. Tom Nichols mengistilahkan fenomena tersebut sebagai “the death of expertise” atau matinya kepakaran. Dalam bukunya, Nichols menjelaskan matinya kepakaran sebagai sebuah kondisi ketika semua orang bisa merasa tahu semua hal meskipun tidak memiliki keahlian atau kompetisi.
Menjamurnya fenomena matinya kepakaran terutama di media sosial, utamanya di masa pandemi Corona ini telah melahirkan situasi yang serba tidak menguntungkan. Publik dijejali oleh ribuan informasi seputar Corona melalui kanal-kanal media sosial. Situasi ini bisa dimaknai sebagai anugerah sekaligus musibah sekaligus. Anugerah lantaran publik dimungkinkan untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya ihwal Corona. Namun, bisa jadi musibah jika publik tidak memiliki mekanisme individual untuk menyeleksi informasi yang masuk ke layar gawainya.
Ketidakmampuan publik dalam memilah dan memilih informasi tentang Corona itu menggiring publik dalam situasi ketidakpastian. Semua informasi lantas dikonsumsi dan ironisnya dianggap sebagai kebenaran. Maka, tidak mengherankan jika publik dilanda kepanikan dan kecemasan yang luar biasa sehingga mudah termakan informasi hoaks. Padahal, World Health Organisation (WHO) sebenarnya telah menyediakan informasi seputar Corona yang resmi dan bisa dijadikan sebagai rujukan publik.
Gerakan Kolektif
Memisahkan manusia dari informasi dan media sosial tentu merupakan hal yang mustahil. Bagi sebagian besar masyarakat modern hari ini, informasi dan media sosial telah menjadi satu paket yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan. Informasi dan media sosial adalah kebutuhan manusia modern-kontemporer. Namun demikian, di masa pandemi Corona yang dipenuhi dengan berita hoaks dan dipenuhi narasi ketakutan ini, kita perlu mengubah cara kita bermedia sosial.
Di masa pandemi Corona ini, media sosial idealnya menjadi perantara bagi masyarakat yang tengah dibatasi ruang geraknya dengan anjuran physical distancing untuk merajut solidaritas kemanusiaan. Perbincangan di media sosial, utamanya ihwal Corona seharusnya diarahkan dalam bingkai tujuan besar yakni membangun optimisme kolektif bahwa kita mampu dan bisa memenangkan pertarungan melawan Corona.
Di saat yang sama, semua individu idealnya juga mampu menjadi agen pemutus mata rantai penyebaran berita palsu atau negatif seputar Corona. Kita harus menjadikan akun media sosial kita sebagai senjata untuk berjihad melawan Corona. Yakni dengan tidak menyebar berita hoaks atau negatif tentang Corona yang potensial menimbulkan ketakutan publik dan hanya menyebar informasi valid dan berdampak pada munculnya optimisme serta solidaritas dalam melawan pandemi Corona.
Social media distancingsebagai sebuah gerakan sosial perlu kita galakkan secara serius dan terus-menerus, mengingat banjirnya informasi hoaks dan negatif seputar Corona belakangan ini. Gerakan kolektif ini tentu membutuhkan sinergi bersama antara pemerintah, stakeholder terkait dan tentunya masyarakat pengguna media sosial. Dari sisi pemerintah, dibutuhkan langkah dan upaya penegakan hukum yang tegas untuk meringkus pada pembuat dan penyebar hoaks seputar Corona.
Dalam konteks ini, kita perlu mengapresiasi kinerja kepolisian yang menangkap beberapa orang yang terindikasi sebagai pembuat dan penyebar hoaks Corona. Langkah penegakan hukum ini sangat penting untuk memberikan efek jera bagi mereka yang berniat memperkeruh kondisi dengan membuat atau menyebar hoaks seputar isu Corona. Selain pemerintah, stakeholder terkait seperti perusahaan penyedia jasa layanan internet atau perusahaan media sosial seperti Facebook, WhatsApp dan sejenisnya untuk responsif terhadap fenomena hoaks Corona.
Kita berharap, perusahaan media sosial bersikap tegas dengan menghapus unggahan tentang Corona yang berkecenderungan menimbulkan kepanikan dan ketakutan publik. Jika perlu, perusahaan media sosial perlu mendeaktifkan akun-akun yang teridentifikasi rajin memproduksi dan menyebarkan hoaks. Mereka perlu berperan serius dalam hal ini lantaran menurut data Kemenkominfo, sebaran berita hoaks tentang Corona paling banyak terjadi di media sosial, terutama Facebook dan WhatsApp. Terakhir, namun tidak kalah pentingnya ialah mendorong masyarakat untuk bijak dalam bermedsos. Social media distancing tentu tidak diartikan sebagai lepas sepenuhnya dari media sosial. Namun, di masa pandemi Corona ini kita perlu lebih bijak lagi dalam bermedia sosial. Jangan sampai, unggahan-unggahan kita di media sosial justru berdampak pada kian akutnya kecemasan dan ketakutan publik yang potensial menyulut kekacauan sosial yang lebih besar.