Di zaman ini, seorang pendakwah yang populer mau tidak mau juga menjalani peran sebagai seorang influencer. Sederhananya, influencer adalah sosok yang semua sisi kehidupannya menjadi konsumsi publik dan gaya hidupnya menjadi panutan umat. Di masa lalu, pendakwah yang dikenal umat luas di atas panggung dakwah saja.
Begitu turun panggung, ia tidak lagi terikat dengan jamaahnya dalam konteks luas. Beda dengan di zaman sekarang. Seluruh sisi personal kehidupan pendakwah mau tidak mau menjadi konsumsi publik luas. Di bawah panggung, kehidupan sang pendakwah tetap menjadi sorotan publik.
Bagaimana gaya hidupnya, siapa pasangannya, bagaimana anak-anaknya, dimana rumahnya, bahkan apa merk kendaraannya, niscaya akan terus disorot oleh jamaah dan umat. Maka, menjadi pendakwah yang populer di jagad maya itu membawa konsekuensi yang tidak ringan. Segala ucapan dan perilaku kita di atas maupun di bawah panggung akan selalu terdokumentasikan oleh mata kamera umat.
Apa yang diperbuat berpotensi untuk menyebar (viral) dan mendapat penghakiman masyarakat. Ironisnya, salah satu karakter netizen kita adalah lebih cepat dalam menghakimi ketimbang mengklarifikasi. Maka, sebuah video dengan durasi yang pendek dan hanya merekam secuil adegan pun bisa menimbulkan kegaduhan massa yang luar biasa.
Dan, seperti lazimnya kegaduhan publik, pasti selalu ada pihak-pihak yang memanfaatkannya untuk menebar provokasi dan adu-domba. Tidak hanya itu, di balik kegaduhan massa itu selalu muncul upaya untuk menyerang pemerintahan yang sah. Pendek kata, kegaduhan massa berpotensi menjadi celah yang dimanfaatkan oleh kelompok pembenci untuk menebar ranjau permusuhan.
Maka, siapa pun yang menjadi influencer dakwah, dituntut mampu menjaga ucapan dan perilakunya, dimana pun dan kapan pun. Terlebih di panggung dakwah, ketika mata dan kamera umat tertuju padanya. Setiap khilaf ucap, sekecil apa pun rawan diframing ke dalam berbagai narasi yang pada akhirnya merugikan diri sendiri dan agenda keislaman yang lebih luas.
Menerapkan Moderasi dalam Ucap dan Perilaku
Seperti kita lihat dalam kasus Gus Miftah yang ramai belakangan ini. Kasus khilaf ucap itu tidak hanya merugikan dirinya sendiri, namun merembet ke agenda moderasi beragama, menyerempet ke NU sebagi lembaga, bahkan menjurus ke delegitimasi terhadap pemerintah. Menjadi influencer dakwah itu harus menyadari bahwa dirinya adalah milik publik dan menjadi bagian dari wacana publik.
Maka, segala ucap dan perilakunya harus politically correct, dalam artian tidak menyinggung atau merugikan individu atau kelompok tertentu. Disinilah integritas seorang pendakwah itu diuji. Apakah pesan-pesan keagamaan yang ia sampaikan di mimbar dakwah itu mampu ia implementasikan dalam kehidupan nyata atau tidak? Koherensi antara ucapan dan perilaku inilah yang akan meneguhkan sosok influencer dakwah itu sebagai sosok yang otoritatif alias layak dijadikan panutan.
Misalnya, ketika seorang pendakwah melabeli dirinya sebagai figur moderat dan adaptif pada kearifan lokal. Maka, ia dituntut mampu menerjemahkan variabel moderat dan adaptif pada kearifan lokal itu dalam setiap ucap dan lakunya. Nalar moderat tidak hanya ditunjukkan dengan sikap anti pada segala bentuk intoleransi dan radikalisasi.
Prinsip moderat idealnya juga mengemuka pada komunikasi verbal yang mendepankan pendekatan simpati dan empati. Menjadi influencer dakwah moderat berarti mampu menjaga lisannya dari kalimat dan ujaran yang berpotensi melukai hati umat atau jemaah, apalagi yang tergolong pada kelompok rentan (anak-anak, perempuan, kaum minoritas, kelompok miskin, difabel, dan sejenisnya).
Prinsip moderat idealnya juga mengejawantah pada sikapnya yang berkomitmen untuk menghargai martabat manusia. Bahwa memperlakukan seluruh manusia dengan penuh cinta kasih itu juga bagian dari nalar beragama yang moderat. Di saat yang sama, para influencer dakwah juga harus mampu mengejawantahkan nalar moderat dalam kontribusi konkret yang positif pada umat.
Dengan kata lain, moderasi beragama tidak boleh berhenti menjadi jargon yang indah di atas mimbar, namun hambar dalam praktik di kehidupan nyata. Para influencer dakwah harus mampu menyebarkan gagasan-gagasan moderasi beragama, namun tanpa menimbulkan kegaduhan apalagi polemik berkepanjangan.
Kasus yang menimpa Gus Miftah belakangan ini kiranya bisa menjadi pelajaran bagi para pendakwah moderat lainnya. Bahwa moderat itu tidak cukup hanya dalam hal komitmen terhadap toleransi, inklusivisme, dan anti-kekerasan. Prinsip moderat juga harus diwujudkan dalam perilaku yang penuh kasih pada sesama manusia, tanpa memandang status sosialnya. Lantaran hakikat moderasi adalah memanusiakan manusia.