Sebagai salah satu negara paling relijus di dunia, ulama memiliki posisi penting dalam setiap lini sosial kemasyarakatan di Indonesia. Ulama dimintai nasihat malah ekononi. Ulama dimintai fatwa dalam urusan kuliner. Ulama bahkan menjadi mediator dalam resolusi konflik.
Oleh kerena posisi sentral ini, kita sering lengah. Banyak tokoh agama yang rupanya membawa misi radikalisasi keagamaan yang mengarah pada delegitimasi sistem pemerintahan. Radikalisasi melalui dakwah bisa membawa dampak sosial yang sangat berbahaya, mulai dari polarisasi sosial hingga inspirasi menuju aksi teror.
Dalam upaya untuk mengantisipasi hal ini, sertifikasi penceramah agama menjadi salah satu solusi yang banyak diperbincangkan. Atau dalam tataran tertentu diperdebatkan. Gagasan sertifikasi ini memunculkan berbagai pandangan, baik yang mendukung maupun yang menolak, dengan alasan dan kekhawatirannya masing-masing.
Salah satu cara untuk mengidentifikasi ustadz yang membawa paham berbahaya adalah dengan memahami beberapa ciri atau kriteria yang dianggap menjadi indikator penting. Beberapa di antaranya adalah pandangan yang cenderung menolak landasan-landasan filosofis negara Indonesia, terutama bentuk negaranya yang berdasarkan Pancasila, atau kecenderungan untuk menyebarkan ideologi yang bersifat kekerasan atas nama agama.
Ustadz yang terjebak dalam paham khilafah atau menentang berbagai nilai kebangsaan juga sering dianggap sebagai ancaman. Ciri-ciri semacam ini perlu diwaspadai, karena dapat meresap ke dalam masyarakat dan mempengaruhi pola pikir banyak orang, terutama di kalangan jamaah yang “sangat tunduk” pada otoritas agama.
Menghadapi fenomena tersebut, sertifikasi penceramah agama di Indonesia menjadi semakin relevan. Penceramah, sebagai figur yang memiliki pengaruh besar dalam membentuk pola pikir masyarakat, memiliki peran penting dalam menjaga kerukunan dan keutuhan sosial.
Seiring berkembangnya arus informasi yang cepat, muncul kekhawatiran bahwa sebagian penceramah justru menyebarkan paham yang berbahaya dan bertentangan dengan prinsip-prinsip kebangsaan.
Namun, ide sertifikasi penceramah agama tidak lepas dari kontroversi. Beberapa pihak, terutama Majelis Ulama Indonesia (MUI), mengungkapkan penolakan terhadap wacana ini. Mereka berpendapat bahwa sertifikasi bisa menjadi pembatas kebebasan berdakwah, serta berisiko menjadi alat untuk mengontrol dan mengatur penceramah berdasarkan kepentingan tertentu.
MUI khawatir bahwa sertifikasi bisa mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan, di mana pihak-pihak tertentu dapat mengesampingkan penceramah yang memiliki pemahaman yang berbeda. Sebagian pihak menilai bahwa sertifikasi ini bisa memicu ketimpangan dalam akses berbicara di depan publik, khususnya bagi penceramah yang tidak terafiliasi dengan organisasi besar atau tidak memiliki akses untuk mengikuti pelatihan.
Ada pula kekhawatiran bahwa sertifikasi ini bisa digunakan sebagai alat kontrol terhadap kebebasan beragama dan berceramah, serta menciptakan celah untuk menilai penceramah secara sempit berdasarkan standar tertentu yang belum tentu mencerminkan keanekaragaman pemikiran dalam masyarakat.
Tetapi begini, beberapa kasus di Indonesia menunjukkan bagaimana ceramah agama yang tidak hati-hati dapat menjadi pemicu ketegangan antarumat beragama, atau bahkan merujuk pada paham radikal. Pemerintah dan lembaga-lembaga keagamaan seperti MUI sudah mengambil langkah preventif, salah satunya dengan menyusun standar kompetensi bagi penceramah.
Program sertifikasi ini tidak hanya memastikan bahwa penceramah memahami agama dengan benar, tetapi juga bagaimana berinteraksi dengan masyarakat yang beragam, menghindari penyebaran ujaran kebencian, dan mengedepankan dialog antarumat beragam
Nah mungkin, untuk menjawab beragam kekhawatiran itu, penting bagi program ini dilaksanakan dengan transparansi dan pengawasan yang ketat agar tidak terjadi penyalahgunaan atau diskriminasi. Sertifikat yang diberikan tidak dimaksudkan untuk menilai “kelayakan” seseorang berbicara agama, melainkan untuk meningkatkan kompetensi dan kualitas dakwah sehingga lebih relevan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia yang plural
Sertifikasi penceramah merupakan langkah yang diambil untuk memastikan bahwa setiap orang yang berperan dalam menyampaikan dakwah atau ceramah agama memiliki pemahaman yang sesuai dengan nilai-nilai moderat dan kebangsaan.
Terdapat kaidah ushul fiqih berbunyi,
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَاحِ
“Menghindari kerusakan lebih didahulukan daripada meraih kebaikan”
Berdasarkan kaidah itu, sertifikasi penceramah agama bisa dianggap sebagai langkah yang bijaksana dalam menghindari kemudaratan yang mungkin timbul akibat penyebaran ideologi radikal.
Meskipun pada awalnya sertifikasi ini mungkin dianggap membatasi kebebasan dakwah, namun dalam konteks Indonesia yang plural, menjaga stabilitas sosial dan kerukunan antarumat beragama adalah hal yang jauh lebih penting.
Memang banyak tantangan dalam merealisasikan visi ini. Sertifikasi penceramah dihadapkan pada fenomena desentralisasi otoritas keagamaan di media sosial. Desentralisasi ini mengacu pada fenomena di mana, siapa saja, bisa menjadi “penceramah” melalui platform media sosial tanpa adanya kontrol atau regulasi yang ketat. Setiap individu bisa dengan mudah menyebarkan pandangan agama, baik itu moderat maupun radikal.
Akhirnya, ide ini juga butuh dikonstruksi ulang, misalnya dengan menamahkan langkah-langkah seperti penguatan regulasi digital, literasi media sosial, serta sertifikasi penceramah online dapat menjadi solusi untuk memastikan dakwah yang disampaikan tetap moderat, damai, dan sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan di ruang maya.
Pada intinya, mengantisipasi penyebaran penceramah radikal melalui sertifikasi merupakan langkah yang sangat penting dalam menjaga kedamaian dan keharmonisan masyarakat. Walaupun ada tantangan dalam pelaksanaannya, dengan perencanaan yang matang, sertifikasi ini dapat menjadi alat yang efektif untuk memastikan dakwah yang disampaikan adalah dakwah yang penuh kasih, damai, dan mengedepankan moderasi.