Islam Nusantara; Sebuah Alternatif Membendung Islamofobia

Islam Nusantara; Sebuah Alternatif Membendung Islamofobia

- in Narasi
35
0
Islam Nusantara; Sebuah Alternatif Membendung Islamofobia

Sentimen anti-Islam menunjukkan peningkatan signifikan belakangan ini. Di Inggris misalnya, sejumlah muslim mengalami serangan fisik maupun verbal yang dilatari isu Islamofobia. Fenomena Islamofobia di negara tersebut mengalami peningkatan tiga kali lipat dari tahun 2023-2024.

Bahkan, secara khusus pemerintah Inggris menambah anggaran untuk pengamanan warga muslim mencapai 117 juta pound atau setara dengan 2, 3 triliun rupiah. Gelombang Islamofobia di Inggris meningkat signifikan salah satunya karena isu konflik Israel-Palestina.

Jika kita membaca sejarah, relasi Islam dan Barat memang dinamis. Ada masanya ketika dunia Islam dan Barat menunjukkan relasi yang harmonis. Ini terjadi ketika dunia Islam dan Barat (Yunani) saling berkorespondensi dalam hal keilmuan dan intelektualitas.

Namun, ada kalanya juga dunia Barat dan Islam terlibat peperangan. Ini terjadi ketika umat Islam dan Kristen terlibat perang salib. Di era modern ini, peta relasi global, terutama menyangkut hubungan dunia Islam dan Barat cenderung kompleks.

Belakangan, banyak muslim yang bermigrasi ke Barat, dengan tujuan bekerja atau mencari ilmu. Diaspora muslim ini lantas membentuk komunitas muslim di sejumlah negara Eropa dan Amerika.

Awalnya, fenomena migrasi muslim ke negara-negara Barat itu nisbi tidak menimbulkan persoalan. Migrasi muslim Turki ke Jerman, muslim Maroko ke Perancis, atau muslim Pakistan ke Inggris untuk menyebut beberapa di antaranya, adalah hal yang lumrah. Proses asimilasi dan hibridasi budaya pun berjalan normal secara alami.

Namun, semua itu berubah sejak tragedi 11 September 2001. Peristiwa tragis yang didalangi oleh Al Qaeda itu mengubah peta relasi Islam dan Barat secara drastis.Pasca peristiwa tersebut, gelombang kecurigaan dan kebencian terhadap muslim pun meluas di negara-negara Barat. Citra Islam sebagai agama teroris dan pro-kekerasan pun kadung menempel kuat.

Konservatisme Keagamaan Sebagai Akar Islamofobia

Dalam banyak hal, kita tentu tidak bisa menyalahkan begitu saja adanya ketakutan masyarakat Barat terhadap Islam. Perilaku intoleran, radikal, dan ekstrem yang ditunjukkan oleh segelintir umat Islam memang rawan menimbulkan prasangka dan kebencian. Maka, memerangi Islamofobia mustahil dilakukan tanpa mengeliminasi akarnya, yakni konservatisme keislaman.

Konservatisme Islam dicirikan oleh setidaknya dua karakter. Pertama, tekstualis yakni menganggap teks keagamaan sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Pandangan tekstualis ini lantas melahirkan keyakinan bahwa semua yang tidak tercantum dalam teks keagamaan dikategorikan sebagai bidah, sesat, kafir, murtad, dan sebagainya. Labelisasi itu tidak jarang menjadi alat justifikasi atas tindakan teror dan kekersan terhadap kelompok yang berbeda.

Kedua, eksklusif yakni merasa diri paling benar sehingga tidak menerima kehadiran kelompok yang berbeda. Kaum eksklusif selalu ingin menjadi yang paling dominan di ruang publik. Nalar eksklusif dalam beragama itu juga kerap melatari praktik pemaksaan kehendak kepada kelompok lain. Siapa pun yang tidak tunduk pada kehendaknya, maka akan disingkirkan. Nalar tekstualisme dan eksklusivisme sama berbahayanya karena mendorong umat Islam berlaku intoleran.

Dalam konteks inilah, gagasan Islam Nusantara menarik dan relevan untuk dijadikan sebagai semacam alternatif membendung narasi Islamofobia. Islam Nusantara hanyalah istilah. Pada dasarnya secara konsep tauhid dan teologis tidak ada perbedaan mendasar dengan hakikat Islam yang berkembang di seluruh penjuru bumi. Bedanya adalah, Islam Nusantara identik dengan sikap adaptifnya terhadap tradisi dan budaya lokal.

Mempromosikan Khazanah Keislaman Nusantara untuk Meredam Islamofobia

Secara epistemologis, Islam Nusantara merujuk pada pemikiran para ulama Ahlusunnah wal Jamaah dan khazanah pemikiran ulama lokal (Nusantara). Sedangkam secara aksiologis, Islam Nusantara ini hadir untuk membendung arus wahabisme dan salafisme yang mengusung agenda purifikasi Islam dengan jalan kekerasan.

Jika kaum salafi-wahabi menganggap kearifan lokal sebagai musuh agama, sebaliknya Islam Nusantara justru lihat budaya lokal dengan perspektif lain. Islam Nusantara menganggap kearifan lokal sebagai sarana dakwah sekaligus khazanah yang akan memperkaya Islam itu sendiri. Islam Nusantara meyakini bahwa akulturasi ajaran Islam dan kebudayaan lokal akan melahirkan ritus keagamaan yang toleran dan inklusif.

Dan, seperti kita lihat, persepsi itu bukan isapan jempol belaka. Ekspresi keberagaman ala Islam Nusantara selama ini menunjukkan wajah Islam yang santun, ramah, dan sejuk. Dakwah Islam Nusantara yang lebih banyak memakai pendekatan kebudayaan nisbi bisa meminimalisasi menimbulkan kontroversi apalagi gesekan sosial. Tidak hanya itu, praktik keberagaman ala Islam Nusantara juga bisa mereduksi radikalisme dan ekstremisme yang menjadi bahaya laten bagi umat Islam dan komunitas global secara umum.

Paradigma keberagaman ala Islam Nusantara yang adaptif pada kearifan lokal dan ramah pada pluralitas keagamaan ini kiranya relevan untuk diadaptasi dan disebarluaskan ke seluruh dunia Islam. Dengan begitu, dunia Islam bisa steril dari virus ideologi radikal ekstrem yang menjadi akar bagi sentimen kebencian terhadap Islam (Islamofobia).

Tidak kalah pentingnya ekspresi keislaman Nusantara ini harus dipromosikan ke seluruh dunia. Tujuannya agar dunia internasional tahu bahwa Islam tidak hanya merujuk pada ekspresi budaya masyarakat Arab yang fanatik pada identitas kesukuan. Juga bahwa Islam tidak hanya tentang ISIS, Taliban, Al Qaeda, atau Jamaah Islamiyyah yang ekstrem. Dengan mempromosikan Islam Nusantara ke seluruh dunia, masyarakat global akan memahami bahwa wajah Islam yang sesungguhnya adalah bercorak moderat.

Facebook Comments