Jurnalisme Damai, Memberitakan Sekaligus Mendamaikan

Jurnalisme Damai, Memberitakan Sekaligus Mendamaikan

- in Narasi
2291
0

Pers menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Lewat kerja jurnalistik dan produk pemberitaannya di media, pers diharapkan bisa menjalankan pelbagai fungsi dan peranannya bagi kepentingan masyarakat luas. Di samping berfungsi sebagai media informasi (to inform), kontrol sosial, dan juga hiburan (to entertain), pers juga mengemban peran untuk menjalankan fungsi mendidik (to educate) masyarakat.

Jika yang diperjuangkan adalah kehidupan masyarakat yang damai, harmonis, dan anti terhadap segala bentuk kekerasan, maka narasi yang diperlukan untuk selalu ditebarkan pada masyarakat adalah narasi yang sarat akan cara-cara pandang yang toleran, sejuk, dan berorientasi pada keharmonisan hidup bersama. Di titik inilah, pers diharapkan mampu menjalankan fungsinya dengan turut mendidik masyarakat agar memiliki cara pandang yang damai dalam memandang segala kejadian, termasuk dalam memandang konflik dan kekerasan.

Kita melihat belakangan bagaimana isu-isu provokatif, berita-berita palsu (hoax), dan pelbagai konten negatif lainnya beterbaran, dikonsumsi publik, sehingga kerap menciptakan pertikaian, bahkan konflik yang meluas di masyarakat. Tak sedikit bermunculan media-media provokatif dengan misi dari kelompok-kelompok tertentu, atau media-media yang hanya menebarkan sensasi dengan judul-judul bombastis untuk sekadar menarik perhatian pembaca dan mendulang keuntungan dari sana. Akhirnya, sebuah isu diberitakan tak berimbang, bahkan hanya memprovokasi masyarakat untuk menghakimi individu, kelompok, atau pihak tertentu. Akibatnya, masyarakat terseret dalam aliran cara pandang tak sehat, menuju kubangan gelap yang panas, penuh prasangka dan kebencian pada sesama, dan tak jarang berlanjut pada pertikaian, bahkan kekerasan dan perpecahan.

Di tengah kemunculan narasi-narasi provokatif tersebutlah, pendekatan damai dalam memberitakan menjadi sangat penting untuk dikedepankan. Masyarakat butuh pemberitaan yang mencerahkan. Pemberitaan yang tak sekadar membeberkan persoalan dan konflik secara tajam, namun juga berorientasi pada penyelesaian konflik agar tercipta perdamaian. Ketika terjadi suatu pertikaian atau konflik, pemberitaan media jangan sampai justru meruncingkan pertikaian di antara pihak yang bertikai, namun bagaimana menyuguhkan pemberitaan dengan jernih, netral, sekaligus berupaya menunjukkan jalan keluar menuju perdamaian.

Jurnalisme damai

Melihat persoalan tersebut, maka pendekatan jurnalisme damai menjadi sangat relevan dipraktikkan setiap insan pers atau pekerja media. Jake Lynch (2008) menjelaskan, jurnalisme damai (peace journalism) adalah situasi ketika para editor dan reporter membuat pilihan mengenai apa yang akan dilaporkan dan bagaimana melaporkannya, yang menciptakan kesempatan bagi masyarakat luas untuk mempertimbangkan dan menilai tanggapan non-kekerasan terhadap konflik.

Arif Zaini dalam Kedaulatan Rakyat (27/2/2017), menjelaskan bahwa pendekatan jurnalisme yang dirumuskan oleh John Galtung, Rune Ottosen, Wilhem Kempt, dan Maggie O’Kane ini bertujuan menghindari atau mencegah terjadinya kekerasan di masyarakat. Pendekatan ini berprinsip membingkai laporan suatu kejadian lebih luas, lebih berimbang, dan lebih akurat dengan didasarkan pada informasi tentang konflik dan perubahan yang terjadi dengan mengarahkan penyampaian informasi yang berdampak pada perdamaian. Pelaksanaan jurnalisme damai didasari tekad dan komitmen insan pers, mulai dari redaktur sampai wartawan untuk memilih cara penyelesaian masalah secara damai.

Karena mengedepankan perdamaian, jurnalisme damai berupaya sebisa mungkin untuk menghindari kata-kata yang mengandung makna provokasi. Di samping itu, dalam konteks konflik, kekerasan, atau bahkan perang, jurnalisme damai lebih mengedepankan empati pada para korban, sehingga topik-topik yang dipilih sebagai bahan berita tak hanya memaparkan masalah, namun juga menawarkan solusi (AA Aziz: 2016). Kita tahu bahwa pers—melalui pemberitaannya tentang suatu konflik, berpotensi dua hal. Yakni menjernihkan persoalan dan meredam konflik atau malah meruncingkan konflik karena pemberitaan yang mungkin berat sebelah atau terlalu mengeksplorasi pertentangan di antara dua pihak. Di titik ini, jurnalisme damai membuat pers berperan bukan mempertajam konflik, namun sebagai peredam. Dengan kata lain, jurnalisme damai lebih mengedepankan harapan akan terwujudnya rekonsiliasi atas suatu konflik.

Jika setiap insan pers benar-benar mengedepankan prinsip-prinsip jurnalisme damai tersebut, maka pemberitaan yang beredar di media massa akan mampu membangun cara pandang yang damai bagi masyarakat. Bagi pihak yang berkonflik, pemberitaan tersebut sangat bermanfaat untuk menjernihkan persoalan, wadah berdialog, sehingga jalan menuju perdamaian dan rekonsiliasi semakin terbuka lebar. Sedangkan bagi publik secara umum, pemberitaan dengan pendekatan jurnalisme damai akan turut mendidik dan membentuk cara pandang yang damai bagi masyarakat luas. Pers dengan pendekatan jurnalisme damai dengan demikian telah menghindarkan masyarakat dari segala bentuk pertikaian, kekerasan, konflik, dan perpecahan.

Momentum Hari Pers Nasional setiap tanggal 9 Februari menjadi momentum yang tepat untuk menyuarakan pentingnya pendekatan jurnalisme damai bagi seluruh insan pers di Tanah Air. Terutama media-media yang menjadi arus utama agar masyarakat bisa mendapatkan informasi yang akurat dengan pandangan damai. Apalagi di tengah maraknya kemunculan media-media provokatif dengan isu-isu pemantik pertikaian dan konflik yang beredar belakangan. Pada dasarnya, kerja menciptakan kehidupan yang harmonis dan damai tanpa kekerasan butuh kerja sama semua elemen masyarakat, tanpa terkecuali para insan pers. Para insan pers harus turut berperan menciptakan perdamaian, terutama melalui mendekatan jurnalisme damai dalam setiap pemberitaannya.

Facebook Comments