Merebaknya virus radikalisme dan ekstremisme beragama di kalangan remaja dan anak muda ialah kenyataan yang tidak dapat dibantah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga pada medio 2018 lalu menunjukkan menguatnya tendensi konservatisme keagamaan di kalangan anak muda. Konservatisme itu mewujud dalam kecenderungan meningkatnya kesalehan individual anak muda muslim yang berbarengan dengan menguatnya sentimen untuk menjaga kemurnian akidah dan syariat Islam. Dalam praktiknya, konservatisme keberagamaan ini kerap menjadi batu sandungan bagi terciptnya relasi antar-agama yang harmonis. Bahkan, tidak jarang corak konservatisme keberagamaan itu menjadi pintu masuk bagi berkembangnya paham keagamaan yang cenderung radikal dan ekstrem.
Secara kuantitatif, riset itu mengungkap bahwa 23 persen responden menunjukkan sikap intoleran terhadap kaum muslim. Sebanyak 65 persen responden menyatakan dukungannya pada berdirinya negara Islam di Indonesia. Sedangkan 45 persen responden beranggapan bahwa NKRI dan Pancasila bukanlah bentuk dan dasar negara Indonesia yang final. Kenyataan ini tentu menjadi ironi, mengingat kaum muda merupakan tumpuan masa depan bangsa. Di pundak merekalah nasib bangsa ini ditentukan. Lantas, mengapa anak muda bisa dengan mudah terpapar virus radikalisme agama?
Dalam pandangan Noorhadi Hassan, pakar studi gerakan radikalisme agama yang juga terlibat dalam penelitian tersebut, terpaparnya anak muda oleh radikalisme agama adalah akumulasi dari beragam faktor, mulai dari psikologis, ekonomi sampai sosial-budaya. Secara psikologis, anak muda berada dalam fase pencarian identitas yang secara otomatis sangat adaptif pada hal-hal baru. Kondisi inilah yang menjadi celah masuknya paham radikal keagamaan dalam kehidupan mereka.
Baca Juga :Cegah Generasi Bangsa dari Indoktrinasi Radikalisme
Secara ekonomi, anak muda juga dihadapkan pada tantangan sengit berebut akses pada sumber-sumber penghidupan. Di satu sisi, era globalisasi seperti sekarang ini memungkinkan bagi anak muda untuk mewujudkan mimpi-mimpinya dan meraih masa depan. Namun, di saat yang sama, mereka juga merasakan tantangan berat yang acapkali membuat mereka merasa pesimis menatap masa depan, terlebih bagi mereka yang datang dari kalangan ekonomi lemah.
Dalam konteks sosial-budaya, kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi memungkinkan anak muda untuk mendapatkan pengetahuan sekaligus pergaulan secara tidak terbatas. Namun, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi tidak pelak juga telah menimbulkan keterasingan bagi sebagian anak muda. Di balik ledakan besar informasi dan pengetahuan, tersembunyi sebuah ketidakpastian yang diam-diam menghantui kehidupan anak muda.
Akumulasi dan faktor psikologi, ekonomi serta sosial-budaya yang berpengaruh negatif pada kaum muda dalam banyak hal telah membuat mereka berpaling pada ekstremisme dan radikalisme agama. Radikalisme dan ekstremisme agama cenderung menarik bagi kaum muda karena menawarkan perlawanan terhadap sistem sosial-politik-agama yang dianggap menjadi biang dari ketidakadilan. Radikalisme dan ekstremisme menawarkan imajinasi tentang perang suci melawan kezaliman.
Kondisi itu kian diperparah dengan corak pendidikan agama yang selama ini harus diakui cenderung membentuk fanatisme keberagamaan. Banyak kalangan merasa gelisah dengan kondisi pendidikan agama di sekolah yang kurang menyentuh aspek realitas sosial. Pendidikan agama dirancang semata demi menjejalkan doktrin kebenaran agama kepada para peserta didik tanpa berupaya mengembangkan daya kritis dan imajinatif siswa. Tujuan pendidikan agama pun kerap hanya berkutat pada capaian-capaian akademik.
Corak pendidikan agama yang demikian itu berimbas pada kegagalan siswa dalam mengkorelasikan pengetahuan agama dengan kenyataan sosial yang dihadapinya. Menjadi tidak mengherankan apabila pengetahuan keagamaan yang didapat siswa cenderung dogmatis untuk juga mengatakan eksklusif. Melihat realitas sosial Indonesia yang multikultur dan multireliji, model pendidikan agama yang seperti ini tentu tidak relevan dipraktikkan. Untuk itulah, diperlukan dekonstruksi model pendidikan agama agar sesuai dengan realitas keindonesiaan kiwari.
Mengedepankan Aspek Kognisi dan Afeksi
Ke depan, kita perlu mengembangkan pendidikan agama yang tidak mengedepankan pendekatan dogmatis, namun lebih mementingkan aspek kognitif dan afektif siswa. Merujuk pada pendapat Benjamin Bloom, aspek kognitif diartikan sebagai kemampuan siswa dalam mengembangkan pemikiran yang rasional, analitis dan argumentatif terjadap suatu pengetahuan. Capaian aspek kognitif ini dapat dilihat dari kemampuan siswa dalam memahami, menganalisa dan menerapkan suatu pengetahuan atau informasi yang dia dapatkan. Sementara aspek afektif menurut Bloom adalah kemampuan untuk memberikan perhatian, penghargaan dan merespon entitas lain. Capaian dalam ranah afektif dapat dievaluasi dari sejauh mana siswa mampu memberi ruang pada pendapat dan keyakinan yang berbeda.
Aspek kognitif dan afektif dalam pendidikan agama ini sangat penting. Aspek kognitif akan memungkinkan siswa berpikir analitis, kritis dan argumentatif dalam memahami dan mempraktikkan ajaran agamanya. Dengan mengasah aspek kognisi siswa dalam pendidikan agama, dimungkinkan mereka tidak akan menerima begitu saja doktrin keagamaan yang bercorak radikal. Misalnya saja ketika memahami ajaran Islam tentang jihad. Anak muda atau siswa yang memiliki nalar kritis, analitis dan argumentatif jelas tidak akan menerima begitu saja doktrin kaum radikal yang menyamakan jihad semata dengan perang atau bom bunuh diri.
Sedangkan aspek afektif dalam pendidikan agama berguna untuk mencegah siswa berpikir eksklusif dalam menyikapi perbedaan agama, aliran atau mazhab. Kemampuan afektif siswa dalam pelajaran agama akan membuat mereka berpikir terbuka, toleran dan adaptif pada perbedaan pendapat. Kebiasaan untuk menerima perbedaan pendapat sebagai keniscayaan sejarah ini akan menjadi tameng anak muda dari penyebaran paham radikal keagamaan.
Tugas berat terkait dekonstruksi pendidikan agama itu tentu bisa diselesaikan dengan terciptanya sinergi antara pemerintah sebagai pengampu kebijakan, institusi pendidikan (termasuk kurikulum dan pengajarnya) dan masyarakat umum secara keseluruhan. Pemerintah dalam hal ini berkewajiban menyusun peta jalan (road map) pendidikan agama yang mampu melahirkan generasi yang relijius, bermoral sekaligus terbiasa berpikir rasional dan kritis.
Institusi pendidikan baik negeri maupun swasta dalam hal ini memiliki tanggung jawab untuk menyelenggarakan pendidikan agama yang berorientasi pada capaian afektif dan kognitif siswa. Sekolah sebagai institusi pendidikan idealnya mampu menjadi semacam laboraturium untuk mengenalkan pada para siswanya ihwal pluralitas agama di masyarakat. Sekolah dan terutama guru harus mampu membuka ruang akademik yang bebas, tempat dimana para siswa bisa mengemukaan pendapat tanpa dibatasi. Adanya ruang diskursus yang berisi diskusi yang dinamis secara tidak langsung akan membentuk keberagamaan siswa menjadi bercorak moderat-progresif.