Lawan Doktrin Radikalisme dengan Islam yang Ramah

Lawan Doktrin Radikalisme dengan Islam yang Ramah

- in Narasi
723
0
Lawan Doktrin Radikalisme dengan Islam yang Ramah

Istilah radikalisme dikenalkan di publik pertama kali pada tahun 1797 M. Hal tersebut diungkapkan oleh Charles James Fox yang menyerukan reformasi radikal atas sistem pemerintahan di Inggris (Britania Raya). Hal senada juga dapat terlihat dalam defenisi istilah tersebut di KBBI. Radikalisme dalam kamus tersebut diartikan sebagai paham atau aliran yang radikal dalam politik.

Selain itu, radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaruan sosial dan politik dengan cara kekerasan dan dramatis. Atau dalam bentuk ketiga yakni radikal adalah sikap ekstrem dalam aliran politik. Fenomena tersebut kemudian dialamatkan kepada paham agama tertentu yang melakukan perubahan dengan kekerasan sweperti yag dilakukan oleh ISIS dan lain sebagainya. Dengan demikian, radikalisme berawal dari politik menjadi bagian kehidupan sosial budaya atas ajaran tertentu.

Istilah di atas menjadi muncul kembali seiring dilantiknya kabinet Indonesia Maju. Hal tersebut terlihat dari tugas yang diberikan Presiden Jokowi kepada Menteri Agama untuk menangkal bahya Radikalisme dan Intoleransi. Sehingga menteri agama tersebut mengimplementasikan-nya dalam beragam aturan yang mengarah kepada identitas tertentu seperti celana cingkrang.

Kementrian Agama akan melakukan perombakan kurikulum yang ada khsusunya yang mengarah ke radikalisme. Apakah upaya Kemenag tersebut dalam memberantas radikalisme yang sudah mulai mengakar di Indonesia dapat efektif dalam melakukan upaya penurangan Radikalisme. Tulisan sederhana ini untuk urun rembuk membantu cara mengatasi keberadaan radikalisme yang terus menjamur tersebut.

Baca Juga :Kaum Muda, Radikalisme dan Dekonstruksi Pendidikan Agama

Fenomena di atas merupakan sebuah hal yang wajar dilakukan oleh pemerintah. Radikalisme sudah menjadi bagian kehidupan keseharian bangsa Indonesia. Hal tersebut setidaknya dari survey yang dilakukan oleh Setara Institut yang menyebutkan 10 PT negeri ternama di Indonesia terkena paham tersebut. Setidaknya paham Islam radikal yang dikembangkan oleh Salafi-Wahabi, Tarbiyah dan Tahririyah. Doktrin pemahaman keagamaan yang dibungkus isu-isu lain menjadikan kegiatan tersebut menarik mahasiswa dan anak muda.

Data yang sama juga ditemukan oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) NU. Setidaknya terdapat 41 masjid juga mengalami indikasi radikalisme yang dilihat dari ceramah dan ustadz yang menyampaikannya. Kebanyakan di antara mereka yang terpapar adalah usia muda yakni 17-24 tahun. Mereka ini merupakan target utama dalam penyebaran paham tersebut. Sasaran tersebut lebih mudah disebabkan kaum muda masih belum memiliki jati diri namun energik dan memiliki semangat yang tinggi dan sekaligus belum memiliki tanggungan.

Dunia maya juga tidak terlepas hadirnya paham radikalisme. Gerakan radikalisme yang berujung pada terorisme lebih banyak dilakukan lewat sarana global ini. Hal tersebut dilihat dari data di Menkoinfo yang menunjukkan selama tahun 2018 sudah 10.499 situs yang diblokir. Setidaknya lewat facebook 7.160, instagram 1.316, twitter 677, Youtube 502, Telegram 502, fhilesharing 502 dan situs web sebanyak 292. Sehingga beragaam media sosial tersebut menjadi bagian dari penyebaran misi dakwah dan jihad kaum radikal.

Bahkan yang menyedihkan, sasaran radikalisme dengan berbalut pendidikan di usia dini sudah ditemukan. Pola penanaman bibit radikalisme tersebut juga sebelumnya menyasar anak-anak sekolah menegah dan atas serta dasar. Seorang anak bertanya kepada ayahnya tentang konflik Israel Palestina. Jika seandianya Palestina diserang Israel kita ikut mati tidak?. Pertanyaan tersebut diusut adalah merupakan doktrin yang disampaikan ustadznya. Keheranan itu pun telihat di skeolah tersebut tidak ada upacara bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya bahkan di salah satu foto profil gurunya berlogo ormas yang sudah dibubarkan.

Dakwah dan Jihad adalah dua model dalam menumbuhkan radikalisme yang berujung pada terorisme. Mereka menjadikan semua lini kehidupan untuk mendukung idiologinya. Setidaknya melalui media baik medsos atau yang lainnya, dakwah melalui ustadzya, pendidikan dari sejak usia dini sampai PT telah menjadi bagian dari kegiatan sarana menjadi corong melanggengkan tradisi yang dapat melahirkan terorisme dan sekaligus menjadi musuh bersama. Sehingga, narasi agama yang lahir dan menjadi dominan adalah suara yang ekstrim terssebut. Apalagi doktrinasi tersebut dimulai di usia yang masih kecil sehingga melahirkan kaum yang militan yang belum memiliki jati diri yang matang dan baik.

Kurikulum tidak akan dapat berbicara banyak untuk merubah keadaan dari Radikal menuju Deradikalisasi. Hal yang paling banyak berbicara adalah orang yang mendesain dan melaksanakan kurikulum atau dikenal dengan hidden kurikulum. Kemudian hal ini akan terlihat dalam bahan ajar yang digunakan di dalamnya. Oleh sebab itu, pemahaman atas ajaran Islam harus dikembalikan ke visi misi Rasulullah saw. yakni Islam yang rahmatan lil alamin. Sesuai dengan namanya, agama Islam berarti menebar kedamaian.

Pola memahami ajaran Islam yang seperti di atas adalah dengan memahaminya secara kaffah. Selama ini tidak semua ajaran Islam baik dalam al-Qur’an dan Hadis dapat dipahami secara tekstual melainkan secara kontekstual. Pemahaman secara tekstual akan melahirkan pemahaman yang kering akan maksud dari Allah swt. menurunkan ayat-ayatnya serta Nabi Muhammad saw. dengan hadis-hadisnya. Sejalan dengan itu pula, tekstualisme merupakan awal dari lahirnya pemahaman yang radikal dan menjadi berubah ke arah terorisme yang tidak mampu memberikan ruang adanya perbedaan. Ruang inilah kemudian menjadi sempit dan dianggap kebenaran adalah tunggal.

Perubahan besar harus segera digaungkan dalam mengubah tradisi pemahaman yang ada. Setidaknya, perubahan juga mengacu kepada apa yang dimensi ramah dalam Islam dan Islam memiliki doktrin tasamuh. Kondisi demikian tidak saja ditemukan dalam sabda kenabian melainkan praktek-praktek yang dilakukan Nabi saw. Nabi saw. menghormat jenazah Yahudi yang sedang lewat dengan berdiri. Demikian juga terdapat hadis yang menjelaskan pentingnya mengasihani sesama manusia yang di mana upaya ini akan menjadikan yang di langit pun akan menyanyangi kita.

Urun rembuk di atas menjadi bagian terpenting dalam mengurangi radikalisme. Pola pemahaman dan harus didukung penggalangan pemahaman secara massif lewat media menjadikan upaya deradikalisasi ini bagian yang tidak terpisahkan dalm pembangunan bangsa dan negara. Hal ini setidaknya terlihat dari efek dari radikalisme yang merusak tatanan keberagaman yang terjadi di Indonesia. Tentu saja, mereka yang menyuarakan ini harus diberagam lini kehidupan yang dapat dikakses oleh kebanyakan ummat Islam sehingga ruang-ruang radikalisme menjadi mengecil dan selanjutnya menjadi hilang serta tidak tersisa lagi. Sehingga baik dari aparatur negera dan masyarakat dapat berpartispasi dalam mewujudkan kegiatan ini menuju Indonesia bersatu dan maju.

Facebook Comments