Sudah menjadi semacam tradisi jika ada peristiwa bencana alam, maka banyak organisasi kemasyarakatan yang ikut andil dalam penanganan bencana. Keterlibatan ormas terutama yang berbasis keagamaan dalam penanganan bencana ini cenderung memiliki dua sisi yang saling kontradiktif. Di satu sisi, keberadaan ormas keagamaan kiranya bisa menjadi stakeholder dan mitra pemerintah dalam menangangi bencana alam.
Namun, di sisi lain harus diakui bahwa keberadaan ormas keagamaan di lokasi bencana juga kerap menimbulkan persoalan. Terlebih jika ormas keagamaan tersebut membawa misi terselubung. Hal itulah yang tampak pada peristiwa gempa di Cianjur. Dimana ada sejumlah anggota ormas keagamaan yang justru menunjukkan perilaku intoleran.
Sebagaimana viral di media sosial beberapa hari terakhir ini, terjadi peristiwa penyobekan atribut gereja Katolik di tenda pengungsi. Terungkap, pelaku penyobekan merupakan anggota ormas GARIS (Gerakan Reformis Islam) yang notabene berafiliasi dengan ISIS. Di saat yang sama, muncul pula narasi yang menyebutkan bahwa bencana alam bisa diatasi sepenuhnya jika negara menegakkan sistem khilafah.
Kehadiran Ormas Radikal Mengganngu Penanganan Bencana
Praktik intoleransi dan kampanye khilafah yang menunggangi peristiwa bencana menyiratkan setidaknya dua hal. Pertama, matinya nurani dan empati terhadap para korban bencana alam. Mengeksploitasi korban bencana alam untuk mengampanyekan ideologi intoleran-radikal merupakan tindakan amoral. Kedua, intoleransi dan kampanye khilafah di lokasi bencana akan mempersulit penanganan bencana.
Dalam teori kebencanaan, penanganan bencana umumnya terbagi ke dalam tiga fase. Pertama, penanganan pra-bencana yang meliputi edukasi dan mitigasi kebencanaan. Edukasi kebencanaan ialah pendidikan kepada masyarakat tentang potensi bencana alam dan dampak-dampaknya. Sedangkan mitigasi ialah upaya menekan seminimal mungkin korban dan dampak bencana yang mungkin terjadi melalui beragam cara.
Kedua, penanganan ketika terjadi bencana yang meliputi proses evakuasi korban, pengobatan, penyelamatan, dan penyediaan hunian sementara. Fase ini menjadi fase paling krusial karena menyangkut keselamatan dan nyawa manusia. Ketiga, adalah fase pasca bencana yang mencakup tindakan rehabilitasi dan rekonstruksi baik secara psikis maupun fisik.
Penanganan bencana, baik fase sebelum bencana, ketika terjadi bencana, maupun setelah bencana tentu tidak hanya tanggung jawab pemerintah dan lembaga terkait. Melainkan juga membutuhkan peran aktif masyarakat termasuk ormas keagamaan. Namun, apa jadinya jika ormas keagamaan yang terlibat dalam penanganan bencana justru memiliki karakter intoleran, bahkan radikal? Hal ini tentu akan menyulitkan upaya-upaya penanganan bencana.
Di fase pra-bencana, keberadaan ormas intoleran-radikal yang gemar mengampanyekan khilafah akan menjadi tantangan terberat bagi upaya edukasi dan mitigasi. Ketika pemerintah sibuk membangun kesadaran masyarakat bahwa mereka tinggal di wilayah yang rentan bencana alam, ormas radikal justru menyebarkan narasi sesat bahwa bencana alam terjadi karena negara tidak menerapkan syariah dan menegakkan khilafah.
Narasi bahwa bencana alam terjadi karena persoalan syariah dan khilafah tentu kontra-produktif terhadap upaya membangun masyarakat yang sadar dan tangguh bencana. Alhasil, tingkat kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat akan potensi serta bahaya bencana alam pun menurun.
Demikian pula, tindakan evakuasi dan penyelamatan korban di masa bencana pun akan terganggu dengan keberadaan ormas-ormas radikal di lokasi bencana. Tindakan intoleran seperti ditunjukkan ormas GARIS di lokasi bencana Cianjur ialah contoh nyata bagaimana ormas radikal justru menjadi penghalang tindakan penyelamatan para korban bencana alam.
Tindakan ormas GARIS dalam banyak hal telah merugikan para korban bencana. Tersebab, lantaran tindakan tersebut banyak misi kemanusiaan yang justru ragu untuk masuk ke lokasi bencana karena khawatir akan mendapat perlakuan serupa. Belakangan, muncul pernyataan sikap dari lembaga Grassroots-RAIDyang menyatakan menarik relawan medis dan media dari proses penanganan Gempa Cianjur karena mendapat perlakuan diskriminatif dan intimidatif mengatasnamakan agama di lapangan terutama oleh ormas-ormas intoleran-radikal.
Tindakan Hukum dan Kesadaran Masyarakat
Perlakuan diskriminatif dan intimidatif yang diterima relawan di lokasi bencana oleh ormas radikal adalah preseden buruk dalam penanganan bencana. Kejadian serupa tentu tidak boleh terulang di masa depan. Hal pertama yang wajib dilakukan ialah melakukan tindakan hukum terhadap siapa pun yang terbukti melakukan tindakan intoleran, diskriminatif, dan intimidatif di lokasi bencana.
Aparat keamanan tidak boleh ragu apalagi takut menindak tegas pelaku intoleransi, diskriminasi, dan intimidasi di lokasi bencana. Jangan sampai, peristiwa bencana alam justru menjadi ajang unjuk superioritas kelompok-kelompok agama garis keras.
Tidak kalah penting dari itu ialah kita harus membangun kesadaran bahwa solidaritas di tengah bancana alam idealnya bisa melampuai sekat-sekat identitas agama, suku, ras, etnis dan sebagainya. Misi bantuan kemanusiaan di lokasi bencana tidak selayaknya disikapi dengan penuh kecurigaan apalagi kebencian. Selain itu, peristiwa bencana alam idealnya tidak menjadi ajang kampanye ideologi yang bertentangan dengan falsafah bangsa.