Kontestasi Wacana Agama di Sekolah; Menghalau Intoleransi, Mengembangkan Inklusivitas

Kontestasi Wacana Agama di Sekolah; Menghalau Intoleransi, Mengembangkan Inklusivitas

- in Narasi
1491
0

Pekan ini dalam dua hari berturut-turut dunia memperingati dua hari penting, yakni Hari Toleransi Internasional pada 16 November dan Hari Pelajar Internasional tanggal 17 November. Ironisnya, di tengah dua perayaan dua hari penting itu, kita justru tengah diramaikan oleh kasus intoleransi yang terjadi di lembaga pendidikan. Adalah Evan Clementine, siswa SMAN 6 Depok Jawa Barat yang belakangan ini tengah menjadi trending topic perbincangan publik lantaran keputusannya mundur dari pemilihan ketua OSIS di sekolahnya. Evan merupakan kandidat ketua OSIS terpilih. Namun, ia mengundurkan diri lantaran pihak sekolah dan panitia memutuskan melakukan pemungutan suara ulang dengan dalih adanya kesalahan aplikasi sehingga membuat tidak semua siswa menggunakan hak pilihnya. Evan meyakini keputusan menggelar pemilihan ulang itu lantaran dirinya beragama non-Islam.

Polemik ini pun meluas, menyeret pihak sekolah dan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia). Seperti yang sudah sering terjadi, pihak sekolah pun beralibi bahwa polemik pemilihan Ketua OSIS ini tidak ada hubungannya dengan persoalan perbedaan agama. Sedangkan KPAI sendiri seperti biasa hanya memberikan himbauan tanpa ada langkah strategis dan taktis yang ditempuh. Barangkali, seperti yang sudah-sudah kasus ini pun akan menguap tanpa jejak di tengah arus isu-isu lain yang lebih menyita perhatian publik. Padahal, kasus serupa kerap terjadi di sejumlah sekolah dan menjadi preseden buruk bagi dunia pendidikan kita.

Diakui atau tidak, dalam beberapa tahun terakhir sekolah telah menjadi semacam ajang kontestasi wacana keagamaan (Islam). Dan ironisnya, dalam pertarungan wacana itu, corak keagamaan yang konservatif, intoleran bahkan radikal kerap menjadi pemenanganya. Alhasil, corak keislaman di sekolah-sekolah pun banyak bernuansa konservatif-radikal. Di waktu yang sama, sebagian besar pelajar juga mulai kehilangan rasa nasionalisme-nya dan mulai menipis wawasan kebangsaannya. Beragam survei telah mengonfirmasi asumsi tersebut. Salah satunya ialah survei The Alvara Institute pada tahun 2019 yang menyebutkan bahwa 66 persen dari responden yang terdiri atas siswa beragama Islam menyatakan tidak akan memilih ketua OSIS yang berasal dari latarbelakang keagamaan berbeda. Lalu sebanyak 43 persen responden mengaku enggan menjalin relasi dengan siswa yang berbeda agama.

Faktor Akumulatif di Balik Maraknya Intoleransi di Sekolah

Dari data tersebut kita bisa menyimpulkan mengapa pandangan intoleran terhadap kelompok minoritas begitu kuat di sekolah. Tentu hal itu tidak dilatari oleh fenomena tunggal, melainkan akumulasi oleh sejumlah persoalan, mulai dari kurikulum pembelajaran agama, wawasan keagamaan guru sampai pergaulan sosial peserta didik. Dari sisi akademik, harus diakui bahwa kurikulum pendidikan agama kita masih didominasi oleh materi normatif-doktrinal yang memahami ajaran agama secara kaku, rigid dan tekstual. Desain pembelajaran agama yang demikian ini menjadikan agama sebagai sebuah monumen mati yang ajarannya harus diterima secara given dan taken for granted tanpa dibarengi nalar kritis.

Dari sisi pengajaran, harus diakui pula bahwa sebagian besar guru pendidikan agama belum mengamalkan wawasan keagamaan moderat. Di tangan mereka, agama yang sebenarnya memiliki ajaran kearifan seluas samudera diringkus ke dalam pemahaman yang dangkal. Tidak jarang, di ruang-ruang kelas agama justru dijadikan sebagai alat justifikasi untuk melihat segala sesuatu dengan logika oposisi biner; halal-haram, benar-salah, muslim-kafir dan sejenisnya.

Di luar dua faktor tersebut, pergaulan sosial dan persentuhan siswa dengan dunia luar juga menentukan kontestasi wacana keagamaan di sekolah. Di era digital seperti saat ini, informasi dan pengetahuan agama begitu mudah diakses dengan bantuan gawai pintar. Pelajar sebagai generasi digital nativeseperti kita tahu merupakan konsumen terbesar konten-konten keislaman yang bertebaran di dunia maya. Padahal, sebagaimana kita lihat sendiri konten keislaman di dunia maya lebih banyak didominasi oleh corak Islam yang politis dan ideologis.

Kelindan diantara ketiga variabel itulah yang menyebabkan kultur intoleransi begitu subur di sekolah. Polemik pemilihan Ketua OSIS di SMAN 6 Depok yang diwarnai isu intoleransi berlatar agama ialah contoh nyata. Di satu sisi, hal itu menandai betapa dangkalnya pemahaman keagamaan siswa, utamanya dalam hal konsep kepemimpinan dalam Islam. Di sisi lain, kejadian itu menandakan tidak ada komitmen penuh sekolah untuk menerapkan toleransi di lingkungannya. Hal itu mengejawantah pada sikap guru yang cenderung bersikap permisif pada kultur intoleransi yang menggejala di kalangan peserta didik.

Perubahan Paradigma; Dari Eksklusivisme ke Inklusivisme

Kondisi itu jika dibiarkan akan menimbulkan dampak negatif yang tidak terkira. Dalam lingkup paling kecil, para orang tua yang mengirim anaknya ke sekolah tentu akan kecewa. Ekspektasi mereka ihwal sekolah sebagai lembaga pendidikan yang bertugas mendidik manusia akan buyar manakala mengetahui bahwa sekolah justru permisif pada tindakan intoleran. Dalam lingkup luas, praktik intoleransi di sekolah ini menjadi ancaman serius bagi tatanan sosial-keagamaan kita yang dilandasi spirit kebinekaan. Oleh karena itu, persoalan terkait kontestasi wacana keagamaan di sekolah ini hendaknya tidak dianggap sepele. Sekolah harus menjadi laboraturium keberagaman sekaligus keberagamaan tempat siswa belajar menjadi manusia yang humanis, warga yang nasionalis dan umat beragama yang relijius sekaligus toleran.

Di titik ini, penting bagi sekolah untuk beranjak dari nalar beragama eksklusivisme ke inklusivisme. Diana L. Eck dalam bukunya berjudul Encountering God menjelaskan bahwa keberagamaan manusia umumnya terjadi dalam tiga fase, yakni eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralisme. Eksklusivisme ialah paham yang meyakini bahwa agamanya yang paling benar dan menganggap agama lain salah dan sesat. Sedangkan inklusivisme ialah paham keagamaan yang mengakui agamanya paling benar namun masih memberikan ruang bagi kelompok agama lain untuk eksis. Puncak keberagamaan menurut Eck ialah ketika manusia telah sampai pada fase pluralisme yakni paham keberagamaan yang dilandasi oleh semangat kesalinghormatan (mutual-respect) dan kesalingpengertian (mutual-understanding) diantara entitas yang berbeda agama dan pandangan keagamaan.

Tanpa bermaksud merendahkankan siapa pun, wacana pluralisme keagamaan tampaknya masih jauh dari jangkauan sekolah. Tersebab, wacana pluralisme keagamaan perlu dielaborasi lebih jauh melalui serangkaian perjalanan intelektual yang tentunya membutuhkan referensi yang kaya dan mendalam. Saat ini, yang dibutuhkan sekolah ialah pergeseran level dari corak pembelajaran keagamaan eksklusivisme yang menjadi akar kultur intoleransi ke arah pembelajaran keagamaan bercorak inklusivisme. Yakni menerima perbedaan sebagai sebuah keniscayaan dan menempatkan kaum minoritas dengan setara. Dengan begitu, praktik intoleransi berlatar perbedaan agama di sekolah dapat diminimalisasi.

Facebook Comments