Kurban Pada Masa Nabi Ibrahim
Tampaknya kurban pada masa inilah yang dikenal umat muslim sebagai awal mula (embrio) adanya ritual kurban Idul Adha dalam risalah Nabi Muhammad. Mungkin hal ini tidak dapat dipisahkan dengan ritual haji sebagai bentuk napak tilas ajaran hanif dari risalah Nabi Ibrahim yang memang bukti-bukti fisiknya berada di Mekah, yang notabene tempat Nabi Muhammad dilahirkan.
Adapun awal mulanya adalah konon di usianya yang sudah menginjak 100 tahun, Nabi Ibrahim belum dikaruniai seorang anak pun. Karenanya, ia ingin sekali mendapat karunia seorang anak, dan beliau selalu berdoa, “Rabbii hablii minash-shaalihiin!” (Wahai Rabbku, karuniakanlah kepadaku sebagian dari keturunanku dari orang-orang yang saleh!).
Doa Nabi Ibrahim itu dikabulkan Allah. Dia diberi kabar akan mendapat anak yang saleh. Anak yang sangat didambakan Nabi Ibrahim telah lahir dari rahim istrinya yang kedua, bernama Siti Hajar. Dia amat mencintai dan menyayangi anaknya. Untuk menguji kecintaannya itu, Allah memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih putranya tersayang. Namun, kecintaan Ibrahim kepada Allah jauh melebihi cintanya kepada sang anak. Hal ini pulalah yang menyebabkan Ibrahim mendapat gelar al-Khalil (Sang kekasih).
Dalam sebuah riwayat disebutkan, ketika Allah memberi julukan kepada Ibrahim sebagai kekasih-Nya, para Malaikat melakukan protes. Sebab, julukan itu dianggap berlebihan. Namun, Allah menerangkan bahwa julukan itu diberikan karena Ibrahim sangat tulus memberikan cinta dan pengabdiannya kepada Allah.
Jibril bertanya pada Allah, “Ya Allah, mengapa Engkau memberi gelar Khalilullah (kekasih Allah) kepada Ibrahim, padahal ia sibuk dengan kekayaan dan keluarganya? Dengan demikian, bagaimana mungkin ia pantas menjadi Khalilullah?” Allah menjawab, “Jangan kalian menilai secara lahiriah, tapi lihatlah hati dan amal baktinya. Karena tiada di hatinya rasa cinta selain kepada-Ku. Bila kalian ingin menguji, ujilah dia.”
Lalu, malaikat Jibril mengujinya dan terbukti bahwa kekayaan dan keluarganya tak sedikit pun membuat Ibrahim lalai dalam mengabdi kepada Allah. Bahkan, Allah pun mengujinya dengan perintah agar Ibrahim menyembelih putranya tersayang (Ismail). Walaupun perintah tersebut disampaikan melalui mimpi (ru’yah shadiqah), dengan ketabahan, ketulusan, dan tawakalnya kepada Allah, ia melaksanakan perintah tersebut dengan penuh keyakinan dan kepasrahan sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Ash-Shaffat [37]:102-105.
Ketulusannya tampak dari keberaniaan untuk tetap melaksanakan kurban. Walaupun iblis selalu berusaha menggodanya, Ibrahim tetap kukuh melaksanakan mimpi yang diyakini sebagai perintah dari Allah. Karena itulah, di saat setan menggodanya, Ibrahim melempari setan dengan batu. Begitu pula ketika setan menggoda Ismail, ia pun melempar batu. Setan kemudian menggoda Siti Hajar, ia juga dilempari batu. Ketiganya (Ibrahim, Ismail, dan Siti Hajar) secara bersama-sama melempari mereka dengan batu. Prosesi pelemparan batu kepada setan ini kemudian menjadi syariat perintah melempar jumrah bagi jamaah haji.
Menyaksikan peristiwa yang mengharukan itu malaikat Jibril kagum seraya mengucapkan takbir yang sampai sekarang takbiran itu menjadi tradisi sekalian dengan ritual menyembelih hewan kurban. Sebab, menurut riwayat, saat pedang dihunuskan ke leher Ismail, tiba-tiba digantikannya Ismail oleh Allah dengan seekor kambing.
Kurban Pada Masa Nabi Ya’qub
Nabi Ya’qub punya nama lain [baca: gelar] yang dalam Alqur’an disebut Israil. Maka Bani Israil adalah keturunan Nabi Ya’qub. Kaum ini juga melakukan sebuah ritual kurban dengan menyembelih sapi dan kambing jantan yang mulus alias tidak cacat, juga menghidangkan tepung, minyak dan susu, lalu membakar persembahan tersebut sebagai bentuk pengingat kesalahan yang pernah dilakukan.
Kurban di Masa Nabi Musa
Ritual kurban juga dilakukan pada masa Nabi Musa dengan cara membagikan binatang yang memang disediakan untuk kurban ke dalam dua model. Pertama, sebagian binatang kurban tersebut dilepaskan dan dibiarkan berkeliaran, dan kedua, sebagiannya lagi disembelih lalu dibagikan.
Kurban Menjelang Kelahiran Nabi Muhammad
Ritual kurban pun pernah dilakukan Abdul Muthalib, kakek Nabi Muhammad. Ini dilakukan pada masa-masa akan lahirnya sang Rasul, Muhammad. Kurban yang dilakukan tersebut tak lain karena adanya sebuah nazar yang pernah dikaulkan Abdul Muthalib.
Konon, Abdul Muthalib adalah seorang yang disegani dan dihormati oleh kaum Quraisy. Itu tak lain karena kedermawanan, kemampuan, dan kebijaksanaannya. Abdul Muthalib memang sosok berwajah tampan dengan penampilan yang berwibawa, juga seorang yang kaya. Kekayaannya menjadi salah satu pendukung semua keberuntungannya. Dan, kini ditambah lagi kehormatannya sebagai orang yang berhak merestorasi Zam-zam. Selama ini, segalanya [tampak] berjalan lancar dan baik-baik saja, Alhamdulillah! Begitu kira-kira gambarannya.
Akan tetapi, di dalam hatinya yang paling dalam ia menyimpan keresahan dan kesedihan sehingga dirinya merasa sangat miskin lantaran hanya memiliki seorang putera. Tak seperti kerabatnya, Umayyah seorang kepala suku Abdusy-Syam, atau Mughirah seorang kepala suku Makhzum, misalnya. Meski dirinya punya banyak isteri.
Maka dengan berbesar hati, pada suatu hari ia memohon pada Tuhan agar dikaruniai beberapa anak laki-laki lagi. Dan, sebagai tambahan doanya, ia bernazar: bila ia dikaruniai sepuluh anak laki-laki yang tumbuh hingga dewasa, maka ia akan mengorbankan satu orang di antaranya bagi Tuhan di Ka’bah.
Ternyata doanya itu dikabulkan Tuhan. Selang beberapa tahun, lahirlah sembilan anak laki-laki. Padahal ketika ia mengucap doa dan nazar waktu itu, ia menganggapnya hal yang mustahil untuk terjadi. Namun saat doanya terkabul menjadi kenyataan dan semua puteranya tumbuh dewasa, kecuali anak bungsunya, Abdullah, maka nazar itu menghantui dirinya.
(Bersambung…)