Luput Satu Celaka 250 Juta

Luput Satu Celaka 250 Juta

- in Narasi
1837
0
Luput Satu Celaka 250 Juta

Pada 24 Maret 2019, Pasukan Demokrasi Suriah (SDF) yang didukung Amerika Serikat menyatakan kelompok Islamic State of Iraq and Syria atau ISIS telah kalah total setelah benteng terakhir mereka di Desa Baghouz al Fawqani, Dayr az-Zawr berhasil digempur habis. Kelompok teroris yang pertama kali muncul di Irak pada 2004 ini mulanya bernama Al-Qaeda in Iraq (AQI), karena merupakan sempalan dari kelompok Al-Qaeda setelah invasi AS ke Irak pada zaman Sadam Hussein.

Al-Qaeda in Iraq yang dibentuk dan dipimpin oleh Abu Musab al-Zarqawi ini awalnya melakukan serangan teror pada komunitas Syiah yang mayoritas di Irak, dengan harapan dapat memicu konflik sektarian. Namun, setalah mengalami beberapa kali kekalahan yang membunuh pimpinan AQI, Abu Bakr al-Baghdadi sebagai pimpinan pada 2013 mengumumkan kelompok ini beralih nama menjadi Islamic State of Iraq and Syria.

Pasca kekalahan ISIS, SDF yang merupakan pasukan gabungan prajurit Kurdi dan Arab Suriah, melaporkan telah memenjarakan sekitar 6.000 kombatan ISIS yang 1.000 diantaranya berasal dari 55 negera selain Irak dan Suriah. Sedangkan keluarga mereka jumlahnya mencapai 73 ribu ditampung di kamp Al-Hawl, dari jumlah tersebut 11.039 orang berasal dari luar Irak dan Suriah (Tempo, 15 Juni 2019).

Dari 11.039 orang itu, menurut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Suhardi Alius saat jumpa pers, di gedung Kementerian BUMN pada 7 Februari 2020, sekitar 600 orang mengaku sebagai Warga Negara Indonesia. Namun menurut Kepala BNPT pengakuan itu pun belum diverifikasi kebenarannya.

Baca Juga : WNI Eks-Isis: Dilema Antara Kemanusiaan Dan Keamanan

Kemunculan wacana pemulangan eks ISIS tersebut kemudian mempertentangkan antara kemanusiaan dan risiko radikalisme. Kelompok pro pemulangan dengan tameng “kemanusiaan” menceritakan penderitaan eks ISIS di kamp pengungsian yang hidup dengan fasilitas sangat tidak layak dan mengatakan kebanyakan dari mereka adalah anak-anak dan perempuan, oleh sebab itu perlu diberi kesempatan pulang dan menjalani program deradikalisasi. Namun bagi kelompok kontra pemulangan, pembelaannya adalah soal paham radikal yang telah tercerap tidak hanya dari kajian-kajian tetapi telah membadan dengan menyaksikan langsung di medan perang Suriah.

Dari pengalaman memulangkan 18 eks ISIS pada 2017, Kepala BNPT sendiri mengaku tak mudah melakukan deradikalisasi eks ISIS. Ia menceritakan, perlu waktu 3 tahun untuk menderadikalisasi seorang anak yang sempat dilatih perang oleh ISIS. Apalagi menurut Hussein Abri Dongoran, Ketua Komisi Luar Negeri Otoritas Kurdistan Suriah, sudah banyak anak kecil sudah didoktris dan mendapat pelatihan militer. Sehingga bukan perkara mudah bicara deradikalisasi untuk 600 orang. Luput satu saja, celakanya bisa mengancam 250 juta rakyat Indonesia.

Karena menyangkut hidup bersama, banyak pihak memgambil sikap tegas untuk menolak, sedangkan sebagian lainnya pro atau “ikut pemerintah”. Diantaranya ada Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj yang dengan tegas menolak rencana ini dengan berujar, “Saya tolak, saya tidak setuju. Mereka sudah meninggalkan negara, sudah membakar paspornya, sudah mengatakan kita ini thogut, terutama NU, anshorut thogut, pendukung thogut,” saat memberi sambutan Simposium Nasional Islam Nusantara, pada 8 Februari di Gedung PBNU Jakarta.

Sedangkan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan bahwa pro dan kontra atas kepulangan WNI eks ISIS ini dikembalikan kepada pemerintah. Katanya dalam acara Tanwir Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah ke-28 di Mataram pada 6 Februari lalu, “Muhammadiyah tentu selalu taat terhadap asas, mengikuti prinsip hukum dan aturan yang berlaku. Jadi pulang dan tidak mereka, serta bagaimana perlakuan Negara, tentu kami percayakan kepada ketentuan hukum yang berlaku”.

Terlepas dari wacana dan perdebatannya, mestinya perlu menelaah lebih dalam isu ini dengan memetakan kelompok yang pro dan kontra. Sebab bisa jadi kelompok radikal di Indonesia berusaha menunggangi kasus ini dengan isu kemanusiaan untuk memuluskan agenda kelompok radikal mereka. Mayoritas orang Indonesia yang mengedepankan rasa daripada nalar dibenturkan pada rasa kemanusiaannya untuk “membela” sesama WNI dengan mengabaikan risiko masa mendatang berkaitan dengan terorisme. Dengan pemberitaan dan survei yang menunjukan meningkatnya kasus intoleransi di Indonesia, mewaspadai “penumpang gelap” kelompok radikal pada isu ini tentu perlu dipertimbangkan juga. Karena mereka lebih berbahaya dari kembalinya eks ISIS, sebab mereka sudah dan berada di sekitar kita. Sehingga akhirnya kita dapat melihat wacana eks ISIS ini dengan kaca pembesar dan nampak detail-detailnya. Toh, kelompok yang selalu bermain dan membela intoleransi dan radikalisme ya hanya itu-itu saja.

Facebook Comments