Membaca Pikiran Teroris

Membaca Pikiran Teroris

- in Narasi
2080
0
Membaca Pikiran Teroris

Tragedi 11 September 2001 yang meruntuhkan gedung WTC di Amerika Serikat (AS) oleh kelompok yang dikenal sebagai teroris, hingga kini menjadi bahan refleksi tentang siapa, apa, dan mengapa sampai tega menabrakkan pesawat hingga menyebabkan kematian orang-orang tak berdosa. Terorisme, apapun motifnya, jelas merupakan tindakan barbar dan biadab, yang mengacaukan keharmonisan serta kedamaian dalam sebuah negara, termasuk di Indonesia.

Karena itu, John Horgan dalam The Psychology of Terrorism (2005) mengungkapkan hal yang menarik. Kita menurut Horgan, dihadapkan pada drama peristiwa teror bom. Drama peristiwa dapat sedemikian dahsyat sehingga kita berubah dari penonton menjadi pelibat aktif di dalamnya (personalization of event). Horgan mengingatkan kita agar jangan berhenti pada drama tragedi. Kita perlu beranjak dari drama tragedi ke uraian sistematis untuk memahami terorisme.

Psikologi teroris

Upaya untuk mengungkap kejahatan terorisme, perlu pula memahami kondisi kejiwaannya, baik ia sebagai ‘subjek’ maupun ‘objek’. Dari kacamata subjek, jelas mereka telah membuat kegaduhan anti-kemanusiaan yang menewaskan banyak korban. Sementara dari posisi objek, mereka adalah para korban yang ‘memberontak’ dan ‘protes keras’ dengan caranya sendiri (bom bunuh diri, misalnya) terhadap sistem global by design AS, yang menghegemoni serta menindas masyarakat di negara-negara ketiga, termasuk Indonesia. Kondisi inilah yang kemudian menjadi pemicu, yang legitimasinya seringkali berlindung di bawah bendera agama.

Kita tahu, sejak tragedi 11 September 2001, pasca peledakan menara WTC, presiden AS, George W. Bush, waktu itu seketika menyatakan perang kepada kelompok teroris di seluruh penjuru dunia. Di sinilah, keganjilan itu terjadi. AS mendefinisikan tindakannya sebagai perang melawan musuh, sementara tindakan musuh-musuh terhadapnya sebagai aksi teroris. AS mencitrakan diri sebagai penjaga kebaikan bukan dengan kuasa fakta, melainkan dengan kuasa propaganda. Sampai-sampai, AS mengontrol definisi teroris, terorisme, dan pembasmiannya.

Noam Chomsky pernah ‘mencibir’ kebijakan AS tersebut, yang ia pandang sebagai tragedi sejarah bukan pertama-tama karena jumlah korbannya, melainkan target korbannya. Serangan besar-besaran terhadap Afghanistan sesudahnya lebih merupakan saat AS memperlihatkan kekerasan dirinya di hadapan musuh yang menyerangnya. AS hanya mengajukan pilihan kepada negara-negara lain untuk bersekutu melawan terorisme atau berkomplot dengan poros kejahatan.

Kini, terorisme terlanjur diidentikkan—untuk tidak mengatakan ‘pengkambinghitaman’—pada agama tertentu, dalam hal ini adalah Islam. Dari sinilah, memahami Islam sejatinya dapat memilah dua unsur penting, yaitu Islam sebagai agama yang di dalamnya berisi ajaran-ajaran suci transendental ketuhanan, dan Islam yang diekspresikan secara beragam oleh pemeluknya.

Sebagai sebuah ajaran, Islam yang bersumber dari Yang Ilahi pasti tidak menganjurkan kepada pemeluknya untuk berbuat sesuatu yang dapat merugikan orang lain, namun sebagai sebuah ekspresi, sangatlah mungkin ajaran Islam salah dipahami oleh sebagian pemeluknya sehingga melahirkan apa yang disebut ‘teroris’. Dan ini, hemat saya, tidak hanya berlaku pada Islam semata, tapi juga untuk semua agama.

Inspirasi dari Ikhwanul Muslimin

Lawrence Wright dalam buku Looming Tower: Al-Qaeda and the Road to 9/11(2006) menjelaskan fenomena radikalisme Islam, yang diejawantahkan melalui tindakan teror (juga pada kasus WTC) bersumber dari ideologi yang dikembangkan oleh Ikhwanul Muslimin di Mesir. Ini juga sekaligus agar menjadi perhatian dalam konteks Indonesia.

Ketika menjelaskan Sayyid Qutb, pendiri gerakan islamis (orang nomor dua di Ikhwanul Muslimin setelah Hasan Al-Banna), misalnya, Lawrence menyebutnya sebagai seorang yang ‘kesepian’ dan putus asa ketika mengamati kebudayaan Barat dari dekat pada tahun 1940-an di Amerika. Di mata Sayyid Qutb, Barat telah merepresentasikan perilaku amoral ‘menjijikkan’ dan tidak mencerminkan kehidupan yang beradab.

Gambaran Sayyid Qutb saat itu—berbudaya, penuh harga diri—yang kejeniusannya mengubah Islam, mengancam berbagai rezim di seantero dunia muslim, dan memikat satu generasi pemuda Arab tanpa akar yang sedang mencari makna dan tujuan hidup mereka dan akan menemukannya dalam jihad. Di kemudian hari, Ayman al-Zawahiri dan Osama bin Laden adalah tokoh kunci yang terpengaruh pemikiran radikal Sayyid Qutb dengan menjadi murid langsung maupun tidak langsung.

Lawrence hendak menegaskan kalau tragedi WTC sesungguhnya tidak terjadi secara tiba-tiba. Tragedi WTC merupakan bagian kecil dari rentetan aksi teror yang dilakukan secara terkoordinir rapi. Di lokasi lain, jangankan WTC di Amerika yang diasumsikan sebagai negara sekuler, di negara Arab pun, sejarah mencatat bahwa 1979, Masjidil Haram di Mekkah pernah dirundung teror mencekam. Dari fakta tersebut, tindakan teror di berbagai belahan dunia, yang dilandasi oleh prinsip-prinsip keagamaan, termasuk di Indonesia, sangat kuat kemungkinan memiliki geneologi pemikiran dari Ikhwanul Muslimin.

Facebook Comments