Salah satu problem terbesar umat Islam Indonesia saat ini adalah kegamangan dalam menghadapi perbedaan. Sebagian besar, untuk tidak mengatakan semua umat muslim cenderung menganggap perbedaan sebagai sumber pertentangan yang berujung pada perpecahan. Maka, menjadi tidak mengherankan apabila banyak muslim yang terjebak pada fanatisme kelompok. Dengan mengatasnakaman agama, mereka bersikap ofensif terhadap kelompok atau individu lain yang berbeda pandangan.
Kondisi itu kian diperparah dengan panasnya suhu politik praktis selama lima tahun belakangan ini. Mencuatnya politik identitas berbasis agama di panggung politik nasional tidak pelak telah menyuburkan fanatisme di kalangan umat Islam Indonesia. Gesekan demi gesekan sosial terus terjadi, baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Segreasi sosial berlatar isu politik dan agama kian nyata menghantui kehidupan kita sehari-hari.
Situasi ini sebenarnya bertolak belakang dengan konsep relasi sosial yang diidealkan dan diajarkan Islam. Ajaran Islam sebenarnya tidak menoleransi perpecahan umat. Dalam ajaran Islam, segala perbedaan baik identitas agama, suku, ras, jenis kelamin, dan sejenisnya merupakan sunnatullah yang tidak bisa ditolak. Tidak hanya mengakui dan menghargai perbedaan, Islam bahkan mengajarkan umatnya untuk senantiasa merawat perbedaan itu sebagai modal sosial membangun peradaban.
Hal ini tercermin dalam tradisi lslam klasik sepeninggal Rasulullah. Ketika Nabi Muhammad wafat, praktis tidak ada sosok panutan yang bisa dijadikan rujukan jika terjadi silang sengketa, baik di wilayah hukum maupun hubungan sosial. Maka, para sahabat dipaksa melakukan ijtihad, yakni mencari solusi atas problem umat dengan tetap merujuk pada sumber utama Islam, yakni al Quran dan hadist.
Meski bersumber dari teks yang sama, dalam perkembangannya proses ijtihad para sahabat pun tidak dapat terhindar dari perbedaan pendapat. Hasil ijtihad masing-masing sahabat kerap kali memantik reaksi penolakan dari sahabat lainnnya. Namun demikian, hal itu tidak lantas menimbulkan perpecahan umat. Justru sebaliknya, dinamika ijtihad itu telah menjadi embrio bagi berkembangnya tradisi keilmuan dalam Islam.
Sikap keterbukaan para sahabat dalam menerima perbedaan pendapat itu terlihat dari pernyataan Umar ibn Abd al Aziz yang pernah mengatakan, “aku tidak suka jika para sahabat tidak berbeda pendapat, sebab jika mereka ada dalam satu pendapat, maka manusia akan berada dalam kesempitan”. Pernyataan ini menegaskan bahwa perbedaan pendapat adalah hal yang lumrah terjadi pada masa tabi’in. Beragam perspektif keilmuan yang dinamis dalam memahami ajaran Islam itu telah menjadi khazanah tersendiri yang melahirkan mozaik keilmuan yang kaya warna.
Baca Juga :Meminimalisir Politik Identitas untuk Keutuhan NKRI
Apa yang dipraktikkan oleh para tabi’in itu sesungguhnya merupakan ajaran Islam yang terrumuskan dalam konsep ummatan wasathan. Secara definitif, konsep ummatan wasathan bermakna sebagai umat yang bersikap, berpikiran dan berperilaku moderat, adil dan proporsional dalam urusan dunia maupun akhirat. Artinya umat yang menempatkan urusan material-spiritual, idealisme-realisme, akal-wahyu dan duniawi-ukhrawi secara seimbang, tidak berlebihan dan tidak ekstrem.
Di dalam al Quran, istililah ummatan wasathan disebut dalam surat al Baqarah (2) ayat 143, yakni “Dan demikian pula Kami menjadikan kamu (umat Islam) ummatan wasathan (umat yang adil sekaligus pilihan) agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kamu…”. Ummatan wasathan adalah sebuah konsep jalan tengah dalam mengambil keputusan dan penilaian atas segala sesuatu.
Konsep ummatan wasathan ini yang hilang dari konteks relasi sosial-politik-keagamaan kita dalam beberapa tahun belakangan ini. Masing-masing kelompok kian mengukuhkan arogansinya dengan menarik diri dari bersentuhan dengan kelompok lain. Masing-masing kelompok merasa diri sebagai paling benar dan otoritatif. Akibatnya, jurang yang memisahkan antar kelompok pun kian melebar. Titik temu peradaban yang diidealkan oleh Islam menjadi jauh panggang dari api alias sulit terrealisasi. Umat Islam terpecah belah ke dalam kelompok dan gerakan dengan agenda-agenda masing-masing yang seolah tidak menemukan kesamaan platform. Dalam praktiknya, perbedaan agenda itu kerapkali menyebabkan munculnya gesekan sosial di masyarakat.
Lantas, bagaimana sebenarnya mengaplikasikan konsep ummatan wasathan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Ibn Taimiyyah, setidaknya ada tiga langkah agar perbedaan pendapat tidak berujung pada konflik atau perpecahan dan sebaliknya, umat Islam berkembang menjadi ummatan wasathan.
Pertama, membangun karakter berpikir dan berperilaku yang berorientasi pada kebaikan, keutamaan dan keadilan. Umat Islam harus senantiasa mengembangkan pola pikir yang mengedepankan kepentingan bersama, bukan mengumbar arogansi dan sikap ingin menang sendiri. Kedua, mengembangkan pola pikir moderat dalam menyikapi segala sesuatu. Umat Islam hendaknya tidak reaktif dengan fenomena baru yang boleh jadi berbeda dengan tradisi Islam. Menunda untuk tidak langsung menjustifikasi segala sesuatu adalah lebih baik ketimbang buru-buru menghakimi tanpa dasar pengetahuan yang jelas.
Ketiga, mengajarkan umat Islam untuk tidak berlebih-lebihan atau melampaui batas dalam melakukan segala sesuatu. Kecintaan dan kebencian kita atas sesuatu hendaklah diletakkkan dalam kerangka proporsionalitas yang adil. Sikap berlebihan hanya akan menggiring kita menjadi kaum fanatik yang tertutup hati dan pikirannya dari menerima kebenaran yang datang dari pihak lain.
Keempat atau terakhir, umat Islam harus senantiasa berada di atas jalan yang lurus (sirath al mustaqim). Artinya, umat Islam harus senantiasa memegang teguh aqidah dan syariah Islam yakni mengikuti al Quran dan hadist. Menurut Ibn Taimiyyah, jalan lurus itu adalah puncak dari paradigma moderat. Lantaran, Islam adalah agama yang berada di tengah, ia tidak sekuler-liberal seperti peradaban Barat, namun juga tidak ekstrem layaknya ditampilkan oleh kaum konservatif-radikal belakangan ini.
Maka, sangat urgen bagi umat Islam di Indonesia saat ini untuk mengembangkan tiga karkter berpikir di atas. Moderasi Islam harus dimulai dari pikiran, lalu berlanjut ke perbuatan. Jika di dalam pikiran saja kita terbiasa arogan, bisa dipastikan kita akan berperilaku angkuh, sewenang-wenang dan tidak ramah pada perbedaan pendapat. Juga sebaliknya, jika kita terbiasa berpikir moderat, kemungkinan besar kita akan mampu berperilaku adil, proporsional dan bijak pada individu atau kelompok yang berbeda pandangan.
Membumikan konsep ummatan wasathan di tengah situasi sosial dan politik yang serba segregatif ini tentu tidak mudah. Diperlukan tidak hanya niat baik, namun juga komitmen seluruh elemen umat Islam. Jika kita mampu membumikan konsep ummatan wasathan dalam kehidupan sehari-hari, niscaya jurang segregasi sosial dan politik itu dapat terjembatani. Sehingga setiap perbedaan pilihan politik atau perbedaan perspektif dalam memahami ajaran agama dapat diselesaikan melalui nalar diskursif, alih-alih nalar konfliktual.