Nabi Muhammad, Demokrasi dan Solidaritas Keumatan

Nabi Muhammad, Demokrasi dan Solidaritas Keumatan

- in Narasi
555
0
Nabi Muhammad, Demokrasi dan Solidaritas Keumatan

Umat Islam di seluruh penjuru dunia, tidak terkecuali di Indonesia bersuka-cita menyambut hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Tahun ini, peringatan maulid nabi 12 Rabiul Awal jatuh pada tanggal 9 November 2019. Dalam tradisi Islam, Nabi Muhammad memiliki kedudukan yang mulia. Selain sebagai rasul, penutup para nabi (khatamul anbiya’), ia juga menjadi panutan bagi seluruh umat muslim. Perilaku dan ucapannya adalah contoh ideal yang patut ditiru oleh seluruh umat muslim.

Di Indonesia, peringatan maulid Nabi Muhammad tahun ini berbarengan dengan uforia pelantikan presiden, wakil presiden dan jajaran menteri periode 2019-2024. Kita patut bersyukur, Pemilihan Presiden 2019 dapat dihelat dengan nisbi lancar dan aman. Kekhawatiran akan pecahnya konflik sosial akibat panasnya persaingan politik akhirnya tidak menjadi kenyataan. Padahal, jika melihat bagaimana polarisasi politik di tengah masyarakat, potensi pecahnya konflik horizontal itu tampak di depan mata.

Meski demikian, efek polarisasi politik akibat Pilpres 2019 itu masih kita rasakan hingga sekarang. Di level elite, ketegangan akibat kontestasi Pilpres 2019 agaknya sudah mulai mencair. Pihak-pihak yang terlibat langsung dalam perebutan kekuasaan pun telah sepakat melakukan rekonsiliasi. Sayangnya, di level paling bawah, yakni masyarakat akar rumput, ketegangan sosial akibat perbedaan pilihan politik itu tampaknya belum sepenuhnya reda. Akibatnya, relasi dan solidaritas sosial yang terbangun sejak lama pun merenggang.

Risiko Demokrasi

Adanya polarisasi politik di tengah masyarakat boleh dibilang merupakan risiko demokrasi. Sebagai bangsa yang baru menerapkan demokrasi terbuka dalam kurun waktu dua dasawarsa terakhir, masyarakat Indonesia kerap gagap dalam mempraktikkan demokrasi. Di satu sisi, kita sangat antusias berpartisipasi dalam tiap hajatan politik seperti Pemilu, Pilkada, Pilkades juga Pilpres. Hal ini dapat dilihat dari jumlah angka partisipasi pemilih yang terus meningkat dan jumlah angka golongan putih (golput) yang terus menurun.

Namun, di sisi yang lain, meningkatnya partisipasi pemilih itu tidak berbanding lurus dengan kesadaran masyarakat dalam memahami esensi demokrasi. Alhasil, kontestasi politik kerap dipahami masyarakat sebagai pertarungan atau bahkan peperangan yang seolah berurusan dengan hidup dan mati. Dukungan publik pada kandidat pemimpin pun acapkali bersifat tidak rasional dan dibumbui oleh sikap fanatisme.

Baca Juga :Islamisme dan Paradigma Kemanusiaan Ali bin Abi Thalib

Parahnya lagi, para elite politik pun tidak segan mempraktikkan corak politik kotor demi meraih kekuasaan. Di antaranya dengan mengeksploitasi sentimen politik identitas, menebar ujaran kebencian, bahkan menyeret isu agama ke dalam arena politik praktis. Praktik-praktik yang demikian inilah yang membikin demokrasi kita keruh dan gagal mewujudkan tujuan utamanya, yakni mensejahterakan masyarakat.

Masyarakat kadung terjebak dalam pemahaman salah kaprah menganggap demokrasi sebagai tujuan, bukan sebagai alat, cara atau mekanisme sosial untuk mengatur kepentingan bersama. Ignas Kleden dalam tulisannya yang berjudul “Demokrasi, Korupsi dan HAM” menuturkan bahwa esensi demokrasi adalah sistem politik yang bertujuan mempertahankan martabat manusia melalui perwujudan hak-hak politik dan hak-hak sipil. Ini artinya, keberhasilan demokrasi lebih ditentukan oleh seberapa jauh masyarakat mampu menghormati hak dan martabat individu atau kelompok lain.

Merujuk pada pendapat Ignas Kleden tersebut, kita bisa menarik kesimpulan bahwa manifestasi demokrasi sebenarnya bukan hanya tampak dari tingginya partisipasi politik. Namun, lebih dari itu ialah bagaimana masing-masing individu mampu mengelola kepentingannya tanpa melanggar hak dan martabat individu lain. Puncak dari penerapan demokrasi ialah terwujudnya masyarakat yang berkeadaban (civilized), yakni masyarakat yang ramah pada perbedaan, adaptif pada nilai HAM serta memiliki ikatan atau solidaritas sosial yang kuat.

Meneladani Rasulullah

Dalam upaya mengembangkan prinsip demokrasi berkeadaban itulah, kita bisa menggali warisan pemikiran dan praktik yang diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW. Selain sebagai pembawa risalah agama, dalam kehidupannya Nabi Muhammad juga mengemban amanah sebagai pemimpin politik. Jauh sebelum para filosof politik Barat menyusun teori tentang demokrasi, hak asasi manusia, kesetaraan jender dan sejenisnya, Nabi Muhammad sebenarnya telah meletakkan dan mempraktikkan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan dan keadaban itu, baik ketika periode awal di Makkah juga kehidupan pasca hijrah ke Madinah.

Periode awal masa kenabian di Makkah, Nabi Muhammad menghadapi realitas sosial-politik masyarakat Arab yang serba timpang. Ketimpangan itu terlihat dari ketatnya stratifikasi sosial masyarakat Arab yang membedakan hak dan martabat manusia berdasarkan suku, jenis kelamin dan status sosialnya.

Dalam konteks kesukuan masyarakat Arab sangat mengistimewakan kedudukan kelompok Quraisy sebagai golongan mayoritas ketimbang suku non-Quraisy. Sedangkan dari perspektif jenis kelamin, kedudukan laki-laki selalu diposisikan lebih tinggi ketimbang perempuan. Begitu pula dalam konteks status sosial, dimana budak dan majikan dihubungkan dengan corak relasi hirarkis, dimana budak adalah milik mutlak tuannya.

Misi kenabian pertama yang harus dijalani Nabi Muhammad ialah mereformasi sistem sosial-politik yang serba timpang tersebut. Ajaran Islam yang ia bawa mensyaratkan pemeluknya untuk berucap syahadat. Secara teologis, syahadat adalah pengakuan atas kebertunggalan Allah dan pengakuan atas status Muhammad sebagai utusan Allah.

Sedangkan secara sosio-politis kalimat syahadat adalah deklarasi atau manifesto bahwa semua manusia pada dasarnya setara, dan tidak ada yang berhak menguasai manusia selain Allah SWT. Untuk itulah ia harus berhadapan dengan elite-elite dalam struktur sosial masyarakat Arab yang tidak ingin kekuasaan dan previlesenya diusik.

Pasca hijrah dari Mekkah menuju Yastrib, Nabi Muhammad menghadapi persoalan yang jauh lebih kompleks. Tidak hanya stratifikasi sosial, masyarakat Yastrib juga menghadapi konflik sosial yang melibatkan sejumlah suku. Kala itu, di Madinah tengah terjadi konflik antar-suku yang melibatkan dua suku yakni Auz dan Khazraj. Suku Auz didukung oleh Bani Quraidhah dan Bani Nadzir. Sedangkan suku Khazraj bersekutu dengan Bani Qunaiqa. Ketiga kelompok tersebut merupakan komunitas Yahudi yang tinggal di Madinah.

Demi mendamaikan kedua suku yang bertikai sekaligus menganulir potensi konflik yang selanjutnya bisa terjadi, Nabi Muhammad memprakarsai penyusunan perjanjian tertulis yang disepakati semua kelompok. Perjanjian itu kelak disebut sebagai “Piagam Madinah”. Piagam Madinah dianggap sebagai undang-undang dasar tertulis pertama dalam sejarah peradaban manusia. Di dalamnya termuat prinsip-prinsip dasar tentang demokrasi, penghargaan terhadap hak asasi manusia, kebebasan dan kesetaraan manusia serta integrasi sosial. Jika dibaca dalam perspektif ruang dan waktu saat itu, gagasan Nabi Muhammad yang tertuang dalam Piagam Madinah terbilang visioner alias mampu melampaui kecenderungan zaman.

Spirit reformasi sosial yang diwariskan oleh Nabi Muhammad itulah yang idealnya kita praktikkan hari ini. Peringatan Maulid Nabi Muhammad sudah sepatutnya tidak hanya diisi dengan hal-hal seremonial belaka, tanpa ada pemaknaan atas keteladanan yang telah ia wariskan. Dalam konteks sosial-politik Indonesia saat ini yang tengah diwarnai polarisasi dan perpecahan, meneladani visi sosial Nabi Muhammad adalah sebuah keharusan.

Dengan meneladani spirit Nabi Muhammad, bangsa Indonesia harus membangun kembali solidaritas keumatan. Yakni ikatan sosial yang didasarkan pada prinsip kemanusiaan tanpa memandang identitas agama, suku, ras, jenis kelamin dan afiliasi politik. Lantaran pada dasarnya, semua entitas yang tinggal di bumi Indonesia ini adalah satu saudara dalam keumatan, meski mereka berbeda suku, agama, ras dan ideologi politik.

Facebook Comments