Menyibak Modus Operandi HTI dalam Merong-rong Ideologi Pancasila

Menyibak Modus Operandi HTI dalam Merong-rong Ideologi Pancasila

- in Narasi
1139
0
Menyibak Modus Operandi HTI dalam Merong-rong Ideologi Pancasila

Keberadaan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menyedot perhatian banyak kalangan. Bukan karena organisasi yang bermarkas di Inggris itu telah berhasil menorehkan prestasi gemilang dalam berbagai bidang kehidupan yang berdampak langsung terhadap kesejahteraan dan kedamaian umat, melainkan karena gerakannya—yang secara terang-terangan hendak mengganti ideologi Pancasila—dijalankan di ruang-ruang publik secara massif sehingga menimbulkan kegaduhan dan kecemasan.

Tidak hanya di mimbar-mimbar dan forum keagamaan, simpatisan HTI juga sangat nyaring di ruang maya. Dengan kekompakan dan militansi yang tinggi, mereka selalu melontarkan narasi-narasi yang berbau propaganda dan mengarah pada mendirikan khilafah. Bagi mereka, Indonesia bukanlah sebuah negara, melainkan disebut sebagai wilayah. Konsekuensi atas pandangan ini adalah, Indonesia harus dijadikan sebagai bagian dari wilayah kekhalifahan, yaitu yang menjadikan khilafah sebagai satu-satunya sistem politik yang wajib diterapkan.

Jika kita simak dengan seksama apa yang digelorakan HTI dalam ruang ruang publik sesungguhnya sangat menggiurkan sekali, terutama bagi orang awam yang tidak memiliki basic keislaman yang matang namun ia memiliki semangat keislaman yang tinggi. Seolah-olah apa yang dinarasikan oleh HTI ini sangat logis dan rasional.

Sebagai contoh. Dalam konteks kewajiban mendirikan khilafah. Mereka selalu memulai argumen bahwa sejak pertengahan abad XII hijriha atau ke 18 Masehi dunia Islam mengalami kemerosotan dan kemunduran yang paling buruk dari masa kejayaan dengan sangat cepat. Lantas mereka juga membubui argumen tersebut dengan sebuah pernyataan bahwa umat Islam saat ini tidak memiliki taring, terutama di hadapan Barat karena umat Islam terpecah-belah. Argumentasi seperti ini dapat kita temui dengan mudah di buku-buku otoritatif HTI, seperti Mafahim Hizb Tahrir(1953) karya Taqiyuddin An-Nabhani.

Pada titik tersebut, lantas mereka ujung-ujungnya akan mengatakan bahwa solusi atas kemerosotan dan ketidak-berdayaan umat Islam di mata bangsa Barat adalah mendirikan dan menerapkan sistem khilafah secara kaffah. Lebih rinci lagi, Hizb Tahrir berpandangan bahwa kegagalan berbagai upaya untuk emmbangkitkan umat Islam dari keterpurukan, kemiskinan dan ketertinggalan dapat dikembalikan pada tiga sebab.

Pertama, tidak adanya pemahaman yang mendalam mengenai fikrah Islamiyah di kalangan para aktivis kebangkitan Islam. Kedua, tidak adanya gambaran yang jelas mengenai thariqah Islamiyah dalam menerapkan fikrah. Ketiga, tidak adanya usaha untuk menjalin fikrah Islamiyah dengan thariqah Islamiyah sebagai satu hubungan yang solid, yang tidak mungkin dipisahkan (An-Nabhani, 1953). Ketiga sebab tersebut hanya bisa diselesaikan dengan cara mendirikan khilafah Islamiyah, begitu kira-kira narasi yang mereka bangun. Terlihat apik dan menarik bukan?

Mereka seolah menjadi golongan yang akan mengerek posisi umat Islam ke dalam era kejayaan, padahal apa yang mereka katakan sejatinya tidak mudah untuuk diwujudkan. Bahkan potensi kebrobrokan justru lebih besar jika mengikuti jejak mereka. Oleh sebab itu, kita harus benar-benar jeli. Jangan sampai kita terperdaya oleh kelompok yang mengaku ingin membela dan memperjuangkan agama, tetapi sesungguhnya mereka tidak melakukan perbaikan sama sekali.

Cara Merong-rong Ideologi Pancasila

HTI dalam menjual ideologinya selalu melakukan hal-hal yang sekiranya menjadikan ideologi Pancasila ‘hina’ dalam pandangan masyarakat. Kesuksesan mereka adalah mempengaruhi dan menyakinkan rakyat Indonesia bahwa Pancasila bukan ideologi dan dasar negara yang tepat bagi Indonesia. Tak ayal jika mereka selalu merong-rong Pancasila dengan harapan ideologi yang mereka jual laku di tengah-tengah masyarakat.

Setidaknya ada beberapa strategi yang kerap digunakan oleh HTI dalam merong-rong ideologi Pancasila. Pertama, Pancasila tidak bisa menjamin terlaksananya hukum dan syariat Islam secara menyeluruh. Sebagai orang Islam sejati, tentu hanya Alquran dan hadis yang menjadi pegangan dan pedoman dalam mengarungi kehidupan di dunia ini agar selamat di akhirat kelak. Pada posisi ini, muslim dituntut untuk selalu turut Alquran dan hadis. Bahkan Alquran, seperti dalam QS. An-Nahl: [16]: 89, menjelaskan bahwa Alquran telah mengatur hukum seluruh segi dan dimensi kehidupan.

Dalam kerangka di atas, HTI selalu menarasikan bahwa Pancasila tidak bisa menjamin bagi seorang muslim untuk melaksanakan hukum Allah secara kaffah dalam kehidupan. Simpatisan HTI, yang juga dilabeli ulama oleh HTI, yakni Rokhmat S. Labib dalam Tafsir Al-Wa’ie(2013: 216-217) menjelaskan bahwa ada sebagian hukum yang hanya bisa diterapkan oleh negara, misalnya hukum-hukum yang berkaitan dengan pemerintahan, kekuasaan, ekonomi, sosial, pendidikan, dan politik luar negeri. Keberadaan negara, lanjutnya, merupakan sesuatu yang dharuri (sangat mendesak). Tanpa ada sebuah negara, mustahil semua ayat Alquran dapat diterapkan. Tanpa Daulah Islamiyah, banyak sekali ayat Alquran yang terbengkalai. Begitu narasi-narasi yang mereka bangun, yang selalu memojokkan Pancasila.

Padahal kita sama-sama mengetahui bahwa Pancasila sangat mendukung terwujudnya tataran yang agamis bagi setiap pemeluk agama-agama di Indonesia, termasuk Islam. Tidak ada beritanya bahwa karena mengakui Pancasila sebagai dasar negara dan menolak khilafah, seseorang meninggalkan Alquran. Hukum-hukum Islam sudah menginspirasi semua sektor kehidupan. Jadi tidak benar jika ada yang menyatakan bahwa hanya khilafah Islamiyah yang bisa menjamin seluruh ayat Alquran dapat diterapkan. Hidup dan mengakui Pancasila sebagai dasar negara juga tidak mengurangi keimanan, karena pada dasarnya Pancasila dan Islam adalah satu tarikan nafas.

Kedua, demokrasi bertentangan dengan Islam. Meski secara khusus hendak menyerang demokrasi, namun pada ujungnya sesungguhnya HTI juga menyerang Pancasila secara bersamaan. Hal ini karena diantara konsekuensi mengakui Pancasila sebagai dasar negara adalah menerima demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan.

Dalam pandangan HTI, demokrasi bertentangan dengan Islam. Hal ini, menurut HTI, setidaknya karena beberapa hal, diantaranya adalah kedaulatan berada di tangan rakyat dan solusi akhir berada disuara terbanyak. Menurut HTI, kedaulatan hanya ada di tangan syara’. Sehingga demokrasi sangat bertentangan dengan Islam.

Ketiga, Indonesia negeri sekular. Menjadikan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, dalam pandangan HTI, merupakan langkah yang salah bagi umat Islam karena umat Islam dalam keadaan hidup di bawah sistem kufur dan sekuler. Pandangan HTI tentang negara sekuler sangat dangkal. Betapa tidak. Hal ini tercermin dalam pemaknaan negara sekuler. Menurut mereka, jika ingin membebaskan diri, masyarakat, dan negara dari jeratan thagut, Daulah Islamiyah adalah jawabannya. Sebab, hanya negara Islam yang bisa menerapkan syariah secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Miris memang. Namun, begitulah cara mereka ‘jualan’ khilafah kepada umat Islam.

Tentu sangat disayangkan jika ada orang atau kelompok yang memvonis bahwa Indonesia negeri sekuler. Sebab, jika Indonesia negeri sekuler, tentu agama hanya bisa eksis di ruang privat. Namun kita bisa menyaksikan betapa agama di Indonesia sudah menjadi konsumsi publik, televisi dan media-media massa lainnya dengan antusias mengupas materi tentang agama tanpa ada pengekangan oleh negara. Namun begitulah HTI, mereka selalu mencari cara agar ‘jualan’ mereka laku, meskipun semua dilakukan dengan cara-cara yang tidak elegan dan beradab. Semoga ulasan singkat ini mampu menjadi bahan yang dapat memantabkan umat Islam menemouh jalan sebagaimana yang sudah dititahkan oleh para pendiri bangsa kita, yakni mantab menjadikan Pancasila sebagai falsafah bangsa dan ideologi negara.

Facebook Comments