Merawat Sejarah, Melindungi Falsafah Bangsa

Merawat Sejarah, Melindungi Falsafah Bangsa

- in Narasi
1071
0
Merawat Sejarah, Melindungi Falsafah Bangsa

Tersiar kabar di media sosial, mata pelajaran sejarah mau dihapus dari kurikulum nasional. Sontak saja terjadi pro-kontra dan sebagian besar pihak merasa kecewa.

“Bagaimana nanti nasib bangsa ini? Karakter bangsa ini akan hilang? Nasionalisme akan lenyap? Generasi bangsa akan buta terhadap sejarah negaranya sendiri?” –adalah sebagian pertanyaan yang dilontarkan oleh netizen.

Dari akun resmi Kemendikbud di twitter, Nadiem Makarim, selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengklarifikasi bahwa penghapusan sejarah dari kurikulum nasional itu tidak benar. Isu ini muncul menurut Nadiem, karena tafsiran netizen terhadap wacana di Kemendikbud yang akan melaksanakan permutasi penyederhanaan kurikulum. Padahal, menurutnya, permutasian itu belum tentu dilaksanakan.

Narasi penghapusan sejarah memang keliru. Tak ada penghapusan. Itu hanya tafsiran dari netizen saja. Meski demikian, pertanyaan bagaimana posisi dan urgensi sejarah dalam mebentuk karakter dan falsafah bangsa pernah menjadi debat yang berkepanjangan.

Posisi Sejarah?

Dari mana membangun karakter dan falsafah suatu bangsa dan apa sumber utamanya, pernah menjadi debat yang berkepanjangan sejak awal berdirinya negeri ini. Identitas nasional belum terwujud saat itu, simbol, lambang, dan falsafah negara juga belum disepakati ketika itu.

Kaum terpelajar terpecah menjadi dua. Satu pihak ingin agar sejarah keagungan masa lalu bangsa ini dijadikan sebagai basis rekonstruksi keadaban dan identitas bangsa. Di lain pihak, kemajuan masa kini yang dicapai oleh Barat-lah yang harus dijadikan sebagai sumber utama.

Bagi kelompok yang pertama, sejarah keagungan masa lalu adalah identitas dan karakter bangsa ini. Kita harus menghidupkannya kembali, sebab dengan spiritnya kita bisa kokoh dan jadi bangsa yang maju. Masa lalu adalah jawaban untuk meniti masa depan.

Kelompok kedua tidak sepakat, Masa lalu tinggallah masa lalu. Kita tak perlu terjebak kepada romantisme sejarah yang berlebihan. Yang perlu kita hadapi adalah masa sekarang, maka jawabannya harus dicari di era sekarang, bukan ke belakang. Eropa sebagai bangsa yang maju adalah contoh riil yang harus dijadikan rujukan.

Yamin versus S.T. Alisyahbana

Kelompok pertama diwakili oleh Muhammad Yamin yang mengambil kejayaan Majapahit, terutama Gajah Mada sebagai basis rekonstruksi. Sumpah Palapa yang dicetuskan oleh Gajah Mada dijadikan legitimasi bahwa bangsa ini dulu pernah bersatu dalam satu kekuasaan.

Jika dulu kita pernah bersatu dalam satu payung dan mempunyai karakter yang kuat, maka hal yang sama juga harus kita lakukan dalam menghadapi kolonialisme. Masa lalu bagi Yamin sangat membebaskan. Ia mempunyai kharisma dalam membentuk identitas kita.

Bagi Yamin, keagungan masa lalu adalah sumber original. Kita adalah pewaris sah atasnya. Jika kita mau membangun bangsa yang merdeka, maka seharusnya identitas itu digali dari sumber original kita, bukan pinjaman dari bangsa lain, apalagi Barat yang ketika itu jadi penjajah.

Kelompok kedua diwakili oleh Sutan Takdir Ali Syahbana. STA beranggapan masa lalu itu penuh dengan mitos, irasional, magis, dan tak cocok dijadikan sebagai basis rekonstruksi keadaban. Romantisme sejarah –menurut prediksi STA –akan membuat bangsa ini tertatih-tatih dalam meniti kemajuan.

Belum lagi, sejarah masa lalu penuh dengan hierarkis, tertutup, dan tidak saintifik. Ditambah budayanya adalah budaya kolektif yang dalam beberapa hal sangat lamban dalam merespons kemajuan zaman.

Untuk itu tak ada cara lain menurut STA kecuali kita mengadopsi kemajuan barat sebagai basis keadaban kita. Peradaban Eropa yang rasional, terbuka, dan tidak hierarkis dinilai sangat potensial dalam membangun jembatan kemajuan.

Semangat renaisans telah terbukti bisa membuat bangsa Eropa bangkit. Negara-negaranya maju dan menjadi penguasa dunia. Daripada kita kembali ke masa lalu yang sangat jauh, mending kita mengambil yang dekat yang ada di depan mata kita.

Memutuskan dan Menyambungkan

Dalam membangun karakter dan keadaban bangsa, kedua sikap ini sebenarnya tak perlu dipertentangkan. Keduanya mempunyai sisi plus dan minusnya. Tidak semua sejarah keagungan masa lalu itu diterima, pun demikian tidak semua kemajuan masa sekarang ditolak. Kita harus akomodatif di satu sisi, tetapi saat yang sama harus selektif di sisi yang lain.

Bagaimana agar kita tidak terpasung pada romantisme sejarah (keagungan masa lalu)? Pada saat yang sama, kita juga tak memberhalakan kemajuan Barat (kemajuan masa sekarang)? Istilah Abid Al-Jabiri, intelektual ternama dari Maroko, bisa kita pinjam sebagai jalan solusi. Meski Al-Jabiri memakai istilah itu dalam merekonstruksi nalar Arab. Karena persamaan konteks, bisa digunakan dalam tulisan ini.

Jawaban Al-Jabiri itu adalah al-fashl (memutuskan) dan al-washl (menyambungkan) sekaligus baik terhadap keagungan masa lalu maupun kamajuan masa sekarang. Sikap al-fashl (memutuskan)perlu kita lakukan ke masa lalu agar kita bisa bersikap kritis. Artinya, tidak semua keagungan masa lalu sesuatu yang siap pakai. Kita perlu mengkritisinya.

Tetapi pada saat yang sama, kita juga harus menerapkan al-washl (menyambungkan) ke masa lalu agar kita bisa mengambil spirit kejayaan masa lalu itu. Kita bisa belajar bagaimana para pendahulu kita bisa membangun peradaban besar.

Al-fashl wa al-washl juga harus kita terapkan kepada kemajuan masa kini. Menjaga jarak (al-fashl) perlu dilakukan agar kita bisa merefleksikan diri bahwa tidak selamanya kemajuan masa sekarang itu sama dengan kebenaran.

Masuk ke dalamnya (al-washl) juga perlu kita lakukan agar kemajuan itu bisa kita ambil dan kita pelajari. Sikap selektif-akomodatif baik terhadap keagungan masa maupun kemajuan masa kini perlu dilaksanakan secara bersamaan.

Dalam konteks inilah, kaidah al-muhafzah al-qadim al-saloh wa al-‘akhz bi al-jadi al-aslah,memelihara yang baik dari masa lalu, dan mengambil yang lebih baik dari masa kini, adalah implementasi dari metode al-fashl (memutuskan) dan al-washl(menyambungkan) itu.

Dengan kita lain, kita tak boleh melupakan sejarah, akibatnya kita memberhalakan kemajuan masa kini. Pada saat yang sama kita juga tak boleh memberhalakan kemajuan masa kini, sehingga mengakibatkan kita mengabaikan keagungan masa lalu. Sikap profesonal, mendudukkan sejarah secara adil, serta menatap masa depan secara optimis adalah jalan keluar dari dilema antara keagungan masa lalu atau kemajuan masa sekarang.

Facebook Comments