Salam Kebangsaan Perekat Persaudaraan

Salam Kebangsaan Perekat Persaudaraan

- in Narasi
1478
0
Salam Kebangsaan Perekat Persaudaraan

Adalah suatu fakta, pasca reformasi semangat beragama juga identitas agama semakin mewarnai lingkungan kita. Tak jarang ruang publik yang seharusnya netral dan akomodatif terhadap semua kelompok agama, justru semakin eksklusif, akibat atribut, identitas, serta simbol-simbol agama tertentu semakin dominan.

Salah satunya adalah tentang salam keagamaan yang dilontarkan di kegiatan-kegiatan publik. Salam keagamaan ini dalam praktiknya didominasi agama tertentu, sementara agama-agama lain tidak mendapatkan tempat.

Memang sudah ada terobosan dengan salam lintas agama. Artinya ketika acara-acara kenegaraan, semua salam agama diucapkan, mulai dari Islam. Kristen, Budha, Hindu sampai kepada aliran kepercayaan.

Akan tetapi, bagi sebagian orang salam ini dinilai terlalu ribet, bertele-tela, dan terkesan hanya formalistik saja. Salam lintas agama kurang praktis. Banyak pihak yang malah agak kesulitan, selain panjang, juga dinilai tidak fungsional.

Untuk itu sebagian pihak mengusulkan agar kembali kepada salam kebangsaan, seperti pernah diucapkan oleh Sukarno sendiri. Salam kebangsaan atau sering disebut salam Pancasila dinilai lebih praktis, mudah, ringkas, dan fungsional.

Baca Juga : Pancasila, Islam Politik dan Teo-Demokrasi

Salam kebangsaan dinilai bisa mengakomodasi semua agama dan diterima oleh semua kelompok. Memang logikanya harus seperti itu. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, semua anak bangsa sudah melebur, tidak ada lagi umat agama ini atau umat agama itu, semuanya adalah warga negara.

Salam Keagamaan vs Salam Kebangsaan

Sudah seharusnya dalam konteks berbangsa yang digunakan adalah identitas, atribut, serta simbol kebangsaan itu sendiri, bukan kelompok/agama tertentu. Ini bukan berarti ingin mempertentangkan antara salam keagamaan dengan salam kebangsaan, melainkan memposisikan keduanya sesuai dengan tempatnya masing-masing.

Dalam ranah ruang komunal agama tertentu atau acara keagamaan tertentu maka yang dipakai adalah salam keagamaan. Sebab itu lebih mengena dan lebih fungsional. Islam mengucapkan Assalamu ‘alaikum, Kristen menggunakan Shalom, Hindu,Om Swastiastu, Budha, Namo Buddyaya, dan Konghuchu, Salam Kebajikan.

Acara kenegaraan atau acara-acara publik lainnya yang diperuntukkan semuanya tentu lebih elegen dan lebih fungsional menggunakan salam kebangsaan. Dengan salam kebangsaan tidak ada pihak yang merasa dikucilkan, atau ada pihak yang merasa paling besar. Semua sama-sama menerima sekaligus sama-sama didudukkan sebagai warga negara.

Dalam konteks ini, salam kebangsaan bukan bermaksud untuk menggantikan salam keagamaan. Tuduhan yang mengatakan salam Pancasila mau mengganti Assalamu ‘alaikum, itu adalah fitnah besar. Pernyataan Ketua BPIP hanya ingin mendudukkan agar ruang publik dan acara kenegaraan inklusif dan akomodatif terhadap semua agama, bukan hanya satu agama saja, yakni Islam.

Usulan agar menggunakan salam kebangsaan tidak lain agar kita bersikap proporsional. Artinya menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya. Ruang publik atau acara kebangsaan harus menggunakan atribut, simbol, dan identitas kebengsaan. Ruang publik dan ruang komunal memang perlu dibedakan, bukan dipisahkan.

Menguatkan Persaudaraan

Dengan pembedaan ini maka diharapkan akan terjadi ikatan persaudaraan yang kuat. Semua merasa diberi haknya. Semua setara dalam ruang publik. Dengan salam kebangsaan tidak ada pihak yang disubordinasi atau merasa agamanya tidak dihargai.

Salam kebangsaan adalah simbol bahwa kita adalah saudara satu bangsa, satu pengamalan sejarah, dan satu perasaan sebagai sesama warga negara. Salam kebangsaan adalah doa kedamaian universal dalam konteks berbangsa dan bernegara. Semua bisa menerima dan semua bisa menggunakannya.

Dengan demikian, upaya saling memahami akan lebih mudah terjalin jika dalam pembukaan acara saja diri setiap anak bangsa merasa dihormati dan diberi penghargaan. Simbol dan atribut kelompok tertentu yang berusaha agar salam kelompoknya digunakan sebagai salam dalam ruang publik atau dalam acara kebangsaan harus ditolak.

Kita perlu belajar kepada Sukarno yang tak perlu mempertentangkan keduanya. “Saudara-saudara sekalian! Saya adalah orang Islam, dan saya keluarga negara republik Indonesia. Sebagai orang Islam, saya menyampaikan salam Islam kepada saudara-saudara sekalian,Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarkatuh. Demikian ungkap Sukarno.

Akan tetapi, dalam konteks ruang publik kita kembali kepada salam nasional yang kita sepakati yakni salam Pancasila. Salam yang bisa mengikat kita semua dalam tali persaudaraan kebangsaan. “Jikalau orang Indonesia berjumpa dengan orang Indonesia, warga negara republik Indonesia berjumpa dengan warga negara republik Indonesia, pendek kata jikalau orang Indonesia bertemu dengan orang Indonesia selalu memekikkan pekik “Merdeka!”

Facebook Comments