Abu al-Fida Isma’il bin Katsir menuliskan berita dari ‘Abd al-Razzaq, dari Ma’mar, dari Qatadah. Dulu, sekelompok muslim awal generasi shahabat pernah mencerca berhala-berhala kaum kafir (ashnam al-kuffar). Sebagai balasannya, kaum kafir berbalik mencerca Allah Swt dengan membabi-buta (Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim; II/165).
Cercaan generasi awal ini, bisa jadi dilakukan karena euphoria sesaat. Mereka baru mengalami peralihan spiritual dari situasi “kegelapan” ke situasi “terang-benderang” (min al-dhulumat ila al-nur). Kegembiraan ini diluapkan melalui truth claim (klaim kebenaran diri) dengan menyalahkan pihak lain. Bahkan dengan mencerca sesembahan mereka yang berbeda; yang sesungguhnya dulu juga disembahnya.
Atas peristiwa saling mencerca sesembahan, yang berdampak kian mengentalkan permusuhan, maka Allah Swt menurunkan Qs. al-An‘am: 108; “Dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.”
Dalam riwayat lain, kelompok non-muslim meminta (tepatnya menuntut) Muhammad Saw dan shahabatnya untuk berhenti mencerca “tuhan-tuhan” mereka. “Wahai Muhammad, engkau berhenti mencerca sesembahan kami atau kami balik mencerca Tuhanmu?”, ancam mereka. Melalui ayat di atas, Allah Swt tidak ingin membiarkan saling cerca itu terus terjadi dan kian meluas.
Dalam bahasa Ibn Katsir, ini yang disebut sebagai tark al-mashlahah li mafsadah arjah minha (meninggalkan kebaikan karena munculnya keburukan yang lebih nyata). Andaipun mencerca dinilai sebagai kebaikan, itu hanyalah dalam persepsi individual. Dalam konteks sosial, tentu saja nilai mafsadah (kerusakan) itulah yang akan segera mencuat, yang karenanya dilarang oleh Allah Swt.
Untuk mencerca sesembahan kita (baca: kaum muslim), tak perlu kita mencerca langsung Allah Swt. Dengan mencerca, menjelekkan dan menghina sesembahan sang lian, sejatinya kita telah mencerca, menjelekkan dan menghina Tuhan kita sendiri. Perbuatan apapun yang berdampak buruk bagi kita, semestinya dihindari. Dalam kaidah fikih disebutkan, nahy ‘an syai nahy ‘an wasailih (melarang sesuatu, juga melarang perantaranya).
Dalam riwayat yang valid (shahih), Muhammad Saw punya pengibaratan yang baik tentang hal ini (Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim: II/165). “Terlaknatlah orang yang mencerca kedua orang tuanya,” katanya suatu ketika. Pernyataan ini bikin kaget para koleganya.
“Wahai Rasul, bagaimana mungkin seseorang mencerca kedua orang tuanya?” sergah mereka keheranan. Dalam benak mereka, mustahil anak tega mencerca kedua orang tua yang melahirkan dan merawatnya dengan rupa-rupa kasih sayang.
“Seseorang mencerca ayah orang lain, maka orang lain itu akan mencerca ayahnya. Seseorang mencerca ibu orang lain, maka orang lain itu akan mencerca ibunya,” jawab Muhammad.
Inilah efek timbal balik atas perbuatan yang kita lakukan. Kebaikan akan berbuah kebaikan, sekecil apapun itu. Keburukan, karenanya, juga akan berbuah keburukan, sekecil apapun itu. Allah Swt mengingatkan: “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri.” (Qs. al-Isra’: 7). Inilah yang disebut reciprocity (hukum timbal balik atau pantulan). Islam mengedepankan kebaikan supaya memantulkan kebaikan lagi.
Kiranya pelajaran penting apa yang bisa dipetik dari teguran di atas? Pertama, pentingnya menjaga perasaan keberimanan sang lian. Karena menghargai perbedaan, semestinya kita tidak perlu ikut campur apalagi mengganggu keyakinan pihak lain yang berbeda. Lebih-lebih dengan mencerca sesembahannya. Kita berbeda-beda dan ber-Tuhan sesuai konsep masing-masing. Ini yang disebut Tuhan yang “didefinisikan” dan “dipersepsikan” oleh pemeluknya. Dan keluhuran ajaran Islam, tentu saja juga ajaran agama lain, menghalang-halangi kita mencederai keimanan itu. Biarkan semua berjalan sesuai sunnatullahnya.
Kedua, semua agama berorientasi pada perdamaian bukan permusuhan. Jika agama-agama yang ada membolehkan, apalagi memerintahkan umatnya untuk saling mencerca sesembahannya, maka yang muncul sikap saling mendendam. Alih-alih memutus mata rantai permusuhan, hal ini justru kian melanggengkan dan melestarikan permusuhan. Perdamaian hanya ada di tubir angan, pada akhirnya.
Ketiga, saling mencerca sesembahan ini tidak direstui Allah Swt. Teguran, karenanya, dilontarkan oleh-Nya, termasuk pada umat Islam generasi awal yang dinilai sebagai generasi terbaik (khair al-qurun). Dalam konteks Indonesia, dengan keragaman agama, kepercayaan lokal dan budaya/kultur yang begitu kaya, tentu saja sikap saling menghargai sesembahan ini penting dikedepankan. Hindari sikap gemar ngerusuhi keyakinan agama lain, karena ini bukan perilaku islami nan qur’ani.
Dalam situasi multikulturalisme yang mengagumkan di negeri berjuluk – dalam bahasa Mahmud Syaltut – qith’ah min al-jannah atau serpihan surga ini, Bhinneka Tunggal Ika semestinya benar-benar menjadi jargon yang hidup. Jargon yang menganyomi berbagai perbedaan, karena kita semua sesungguhnya satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air Indonesia.[]