Siapa pun kita, sejatinya tidaklah cukup mampu untuk bisa membendung proses infiltrasi ideologi radikal. Daya dobrak informasi acap kali membuat rasio kita tak kuasa memfilternya. Proses infilterasi yang sangat lembut, acap kali dengan mudah membuat kita tanpa sadar tergiring dalam koridor pemikiran yang radikal. Tidak mengherankan bila kemudian banyak akademisi yang terseret arus radikalisme agama. Melalui gambar, tulisan atau pun grafik tertentu yang sengaja dikemas untuk mempersuasi orang lain yang menjadi obyeknya, seringkali berhasil menarik cara berfikir kita untuk mulai masuk pada apa yang ditawarkan. Terlebih lagi bila hal tersebut mampu dikemas dengan bingkai “kekinian” yang seolah-olah berempati dengan kondisi masyarakat kita hari ini. Semua informasi tersebut hanya menjadikan para penikmat informasi sebagai pasar yang diperebutkan guna memuluskan kepentingan pragmatis makelar politik dan para politisi tertentu.
Melalui gambar-gambar, narasi yang menggugah emosi serta ungkapan-ungkapan seruan agar melakukan tindakan yang bernuansa kekerasan untuk merubah sebuah sistem pemerintahan yang dianggap salah merupakan cara-cara yang umum dilakukan. Hal demikian bisa terjadi bila adanya sebuah wadah yang bersifat publik seperti media dan untuk konteks Indonesia. Dalam pengamatan seorang Sandra Ball Rokeach dan Malvin L Defleur mengenai struktur masyarakat dalam kaitannya dengan komunikasi massa, melihat bahwa masyarakat modern memang cenderung menentukan sebuah orientasi, pemikiran dan pilihannya bergantung pada informasi yang disajikan melalui media. Hal demikian akan dapat lebih menggugah emosi bila peneguhannya menggunakan agama sebagai kemasannya.
Gaya Sofisme Pemikiran Radikal
Melalui pengemasan dengan gaya pemikir sofisme, membuatnya memiliki daya pikat yang kuat. Untuk diketahui saja, sebenarnya para pemikir yang dikategorikan pemikir sofisme bukanlah para filsuf yang buruk. Banyak akademisi yang melihat para pemikir sofisme sebagai para filsuf postmodern yang hidup jauh sebelum era postmodern hadir. Namun, kegemaran para filsuf tersebut lebih bertitimangsa pada memenangkan perdebatan ketimbang substansi membuat mereka tidak disukai(Wibowo, 2016). Dengan kata lain, para pemikir ini lebih mementingkan upaya memenangkan perdebatan ketimbang mencari jalan keluar atas persoalan yang ada. Untuk memenangkan perdebatan tersebut, seringkali yang dimainkan bukanlah mengulik substansi persoalan melainkan sisi lain di luar itu, seperti argumentum ad hominem (menyerang personal) atau juga mengaitkan suatu persoalan yang tidak ada kaitannya sama sekali untuk memoderasi siapa pun yang menjadi pendengar/pembaca agar dapat berpihak pada idenya.
Dalam konteks Indonesia, kita bisa menemuinya ketika kita melihat banyaknya berseliweran gagasan tentang negara agama spesifiknya negara Indonesia yang berlandaskan konstitusi agama Islam, hanya karena mayoritasnya penduduknya beragama Islam. Untuk mendapatkan informasi mengenai hal ini tidaklah sulit. Kita tidak mesti melihatnya dalam bentuk opini di media tertentu atau pun jurnal akademik. Kita bisa saja menemuinya dalam media sosial seperti facebook, twitter, instagram dan lain sebagainya. Bila ada perdebatan tentang hal ini, maka kecenderungan metode yang dipakai pihak-pihak yang menginginkan hal itu terjadi adalah dengan menggunakan pola-pola seperti tersebut di atas, contohnya dengan menyerang personality pihak yang berbeda dengan mereka. Caranya bisa dengan mengeluarkan umpatan, sengaja membangkitkan emosi lawan bicara, hingga menempatkan lawan bicara layaknya kafir atau pun setan yang mesti dibinasakan. Ini dilakukan guna membuat lawan bicara terpojok dan merasa kalah dikarenakan lawan bicara merasa tidak ada yang berpihak pada pendapataanya.
Hal lainnya adalah dengan mengaitkan persoalan lain yang tidak memiliki hubungan langsung untuk memoderasi pihak luar agar mendukung gagasannya. Hal ini penting dilakukan dengan tujuan sama seperti di atas juga. Contoh nyata hal ini bisa kita temui ketika perdebatan mengenai toleransi di Indonesia muncul dan pihak-pihak yang berpandangan radikal malah mengambil isu Rohingya untuk dijadikan contoh pembanding. Ketika itu muncul salah satu narasi yang sering berseliweran di media sosial dengan pernyataan bahwa umat Buddha yang ada di Indonesia aman untuk tetap hidup dan beribadah, sedangkan umat Buddha di Myanmar malah menyerang masyarakat Muslim Rohingya. Hal ini terjadi karena toleransi yang dipegang erat, sehingga sebenarnya kelompok radikal di Indonesia itu tidak pernah ada. Sementara kenyataannya, persoalan Rohingya bukanlah konflik yang semata berakar dari agama melainkan persoalan sejarah, sosial dan politik. Sedangkan kenyataan di Indonesia masih ada saja kelompok intoleran yang bersembunyi di belakang tameng agama dan berusaha mempersekusi penganut agama lain.
Menganggit kewaspadaan
Dalam iklim demokrasi dan ruang digital yang terbuka lebar, memang sulit membendung hal demikian. Tapi menyerah pada keadaan bukanlah pilihan. Seperti yang diungkapkan oleh KH. Mustofa Bisri dalam seruannya menanggapi hal-hal demikian, yaitu “Sing Waras Ojo Ngalah”. Maksudnya adalah untuk hal demikian kita tidak bisa bersikap mengalah, karena bila hal itu dilakukan maka kelanjutan bangsa ini akan terancam.
Bila sudah demikian yang mesti diwaspadai sejak awal adalah mengurangi kemalasan untuk berfikir, mulai membiasakan banyak membaca referensi yang beragam, dan mulai membuka kepekaan diri terhadap lingkungan sosial kita. Kepekaan diri dalam lingkup sosial yang dimaksud adalah dengan berani kritis untuk melihat ke dalam diri kita masing-masing bagaimana cara kita beragama dan berhubungan sosial (toleransi beragama). Bila pada akhirnya cara kita hanyalah menyakiti pihak-pihak lain (termasuk yang berbeda), maka mulailah introspeksi dan menanyakan ke dalam diri apa yang salah dari cara kita beragama. Ingat, radikalisme tidak hidup dalam ruang hampa.