Terminologi sejarah dalam Bahasa Indonesia merupakan serapan dari Bahasa Arab, yakni syajaratun (dibaca syajarah) yang bermakna pohon atau kayu. Penyerapan ini relevan dengan metafora pohon sebagai tetumbuhan yang memiliki akar, batang, dan cabang. Sebagaimana pula pemaknaan sejarah dalam konteks Bahasa Indonesia yang diartikan sebagai silsilah atau riwayat kehidupan yang dimulai dari awal, proses hingga akhir.
Layaknya sebuah pohon, sejarah merupakan hal penting dalam kehidupan manusia. Pohon, sebagaimana diketahui memberikan kehidupan pada manusia melalui batang, kayu, buah, daun maupun oksigen yang dihasilkannya. Artinya, pohon adalah bagian penting dari ekosistem manusia. Sedangkan sejarah memberikan gambaran gamblang pada manusia tentang peristiwa masa lampau. Tujuannya agar manusia bisa belajar dari peristiwa yang telah lampau sekaligus merekonstruksi masa depan.
Sejarah sebagai bagian penting dari ekosistem kebangsaan inilah yang saat ini tengah mengalami berbagai problem. Belakangan ini muncul gerakan yang mencoba membelokkan bahkan menghapus perspektif masyarakat Indonesia akan sejarah bangsa yang berakar dari kejayaan Nusantara. Di saat yang sama, muncul pula upaya untuk mengajak masyarakat mengagumi dan membanggakan sejarah bangsa lain dan menganggapnya sebagai sejarah ideal. Gerakan yang demikian ini, terutama banyak diinisiasi oleh yang berupaya mengubah haluan dan ideologi negara.
Perjuangan mengubah dasar dan falsafah negara tentu sebuah pekerjaan berat dan panjang. Hal ini tampaknya dipahami betul oleh kelompok-kelompok tersebut. Maka dari itu, mereka merancang sebuah gerakan jangka panjang dengan berbagai macam tahapan skenario. Salah satunya ialah menghapus ingatan sejarah bangsa Indonesia akan kejayaan masa lalunya kehidupannya untuk kemudian menyuntikkan persepsi sejarah yang sama sekali baru dan berbeda dengan pemahaman sejarah sebelumnya. Sasaran utamanya ialah kaum muda yang notabenemerupakan generasi penerus bangsa.
Problem Anakronisme Sejarah
Fenomena itu melahirkan apa yang disebut sebagai anakronisme sejarah, yakni kondisi ketika masyarakat tidak memiliki pemahaman yang memadai tentang sejarahnya, dan lebih parah lagi memiliki kecenderungan untuk mengagung-agungkan sejarah bangsa lain serta berupaya menduplikasinya. Gejala anakronisme sejarah ini bisa dilihat dari beragam indikasi. Misalnya, perilaku sebagian masyarakat yang lebih bersemangat mempelajari dan mengagungkan sejarah bangsa lain ketimbang mempelajari sejarah bangsa sendiri.
Baca Juga : Kesetiakawanan Sosial dalam Himpitan Pandemi
Anakronisme sejarah dapat berakibat pada munculnya sejumlah problem dalam ekosistem kebangsaan kita. Pertama, lunturnya pengetahuan tentang identitas serta jatidiri bangsa yang dibarengi dengan runtuhnya kebanggaan terhadap bangsa sendiri. Dalam banyak hal, fenomena yang demikian juga berpengaruh pada melemahnya karakter bangsa. Hal ini terjadi lantaran karakter bangsa merupakan fondasi penting bagi eksistensi sebuah bangsa yang membedakannya dengan bangsa-bangsa lain. Jika karakter bangsa itu hilang, maka struktur kebangsaan itu pun otomatis akan rapuh dari dasarnya.
Kedua, anakronisme sejarah yang diderita sebuah bangsa akan menjadikan bangsa tersebut sebagai bangsa inferior dalam pergaulan global. Anakronisme sejarah akan berakibat pada hilangnya orisinalitas karakter bangsa yang jelas akan berdampak pada hilangnya kebanggaan terhadap jatidiri bangsa. Akibatnya, posisi tawar bangsa di hadapan pergaulan internasional pun menjadi lemah. Dengan demikian, mudah bagi bangsa tersebut untuk diinfiltrasi bahkan didominasi oleh kepentingan asing.
Dua dampak anakronisme sejarah itu pula yang belakangan mulai dirasakan oleh bangsa Indonesia. Kecenderungan untuk mengabaikan sejarah bangsa sendiri, alih-alih mengagungkan sejarah bangsa lain secara tidak disadari telah turut andil dalam melemahkan karakter bangsa. Ibarat pohon, bangsa Indonesia kini mulai tercerabut dari akar yang memastikan ia tetap berdiri kokoh di atas tanah. Akibatnya, pohon bernama Indonesia itu pun dengan mudah terombang-ambingkan oleh angin yang datang dari segala penjuru. Seperti dapat kita lihat, bangsa Indonesia saat ini begitu rapuh oleh terpaan infiltrasi ideologi asing, mulai dari liberalisme, komunisme hingga yang paling gencar yakni khilafahisme. Kondisi ini tentu tidak dapat dianggap sepele.
Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno, dalam pidatonya selalu menyerukan pentingnya generasi muda memahami sejarah. Dengan slogan populernya, yakni “Jasmerah” (angan sekali-kali melupakan sejarah), Soekarno pada dasarnya ingin membangun sebuah kesadaran penuh di kalangan generasi penerus bangsa akan nilai penting historisitas, asal-usul, silsilah dan akar kebangsaan kita. Memahami sejarah bangsa ialah kewajiban moral setiap anak bangsa, lantaran dengan memperhatikan akarnyalah bangsa ini bisa berdiri tegak melawan segala badai tantangan zaman. Pemahaman sejarah yang benar ihwal akar keindonesiaan juga akan menjadi modal penting dalam merawat ekosistem kebangsaan kita.
Menduplikasi Sejarah Kejayaan Nusantara
Untuk itu, kita perlu menanamkan pentingnya pemahaman sejarah tentang kejayaan Nusantara kepada generasi penerus bangsa, utamanya kaum muda. Memahami kejayaan Nusantara tidak semata diartikan sebagai nostalgia apalagi romantisme sejarah yang nirmakna. Lebih dari itu, memahami sejarah kejayaan Nusantara bertujuan untuk memperkokoh karakter bangsa dan menumbuhkan spirit optimisme. Generasi penerus bangsa harus menyadari bahwa Indonesia berakar kuat pada peradaban Nusantara yang identik dengan peradaban agung. Nusantara dalam catatan sejarah ialah peradaban yang memiliki sejumlah capaian dalam bidang ekonomi, hukum, sosial dan agama.
Di bidang ekonomi, Nusantara dikenal sebagai pusat perdagangan dunia dan memiliki rempah-rempah yang menjadi komoditas internasional. Dari sisi hukum, Nusantara dikenal dengan sistem dan tata hukum yang mencerminkan keadilan dan kemanusiaan. Begitu pula dari sisi politik, dimana wilayah Nusantara kala itu diketahui membetang hingga wilayah Asia Tenggara.
Hal ini membuktikan bahwa dalam konteks latar belakang sejarah, Indonesia sebenarnya tidak kalah atau bahkan lebih tinggi ketimbang peradaban bangsa-bangsa maju saat ini seperti Eropa dan sebagainya. Namun demikian kejayaan Nusantara di masa lalu itu tidak akan bermakna apa-apa kecuali kita mampu menjadikannya sebagai modal membangun peradaban. Dalam konteks inilah kiranya penting bagi kita untuk menjadikan sejarah kejayaan Nusantara sebagai modal memperkuat karakter bangsa.
Spirit pantang menyerah dan karakter pejuang para nenek moyang kita harus kita teladani dalam konteks persaingan global di era revolusi industri 4.0 ini. Ketangguhan para nenek moyang kita dalam mengarungi lautan, berniaga dan berdiplomasi harus kita praktikkan kembali dalam konteks kekinian. Demikian pula karakter kuat masyarakat Nusantara yang dikenal inklusif dan spiritualis sepatutnya juga harus kita tiru dalam kehidupan kita saat ini. Sejarah memang tidak akan pernah terulang, namun perjalanan sejarah selalu menunjukkan pola-pola yang sama. Ini artinya, kita bisa mengulang kejayaan Nusantara dengan cara menduplikasi karakter dan perilaku para leluhur kita di masa lalu. Nusantara di masa lalu bisa jaya karena masyarakatnya yang bermental tangguh, bersikap inklusif dalam artian terbuka pada perbedaan (agama, suku dan ras), dan memiliki karakter kuat sebagai makhluk spiritualis. Jauh sebelum agama-agama Samawi masuk ke bumi Nusantara, masyarakat sudah mengenal agama-agama lokal yang bertumpu pada ajaran tentang hubungan antara manusia, alam semesta dan Sang Pencipta. Komponen-komponen itulah yang menjadi fondasi penting di balik kejayaan Nusantara selama berabad-abad sejak zaman Sriwijaya hingga Majapahit. Sebagai generasi penerus bangsa kita memiliki kewajiban sekaligus tanggung jawab moral untuk meneladani semua komponen tersebut guna memperkuat karakter bangsa dan menjaga ekosistem kebangsaan kita.