Agama, Pancasila, dan Amanat Perdamaian

Agama, Pancasila, dan Amanat Perdamaian

- in Narasi
1737
2
Agama, Pancasila, dan Amanat Perdamaian

Intoleransi yang kian menguat di Indonesia menjadi warning bagi kita untuk tidak diam saja. Apalagi, pandangan intoleran pada akhirnya hanya akan melahirkan laku diskriminatif, yang tentu akan melukai korban. Dan, jika sudah demikian, bangunan kesatuan dan kedamaian interaksi antar umat beragama dan antar warga negara rentan pecah.

Kasus pemotongan nisan salib menjadi contoh konkrit dari laku intoleran. Bahwa hanya karena minoritas di situ, makan orang Kristen tidak dibolehkan memasang salib untuk penanda nisannya. Padahal, hal tersebut tidak berlaku bagi nisan-nisan umat Islam. Hal ini merupakan kemunduran toleransi kita, yang boleh jadi muncul dari pemikiran sempit masyarakat, yang mulai kehilangan tokoh agama atau politik yang toleran.

Coba bayangkan ketika kita berada di posisi umat kristen, apakah tidak sakit hati ketika simbol keagamaan kita dipaksa untuk dirusak? Belum lagi, kabarnya, mereka dilarang untuk melakukan kegiatan mendoakan arwah menurut kristen di kediamannya; tentu hal ini sangat menyakitkan.

Maka, muslim yang mayoritas mestinya mampu melindungi umat minoritas. Diperlukan adanya kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara, supaya tidak terjadi lagi perusakan simbol agama atas alasan apapun. Karena, menghormati simbol agama pemeluk agama lain, bisa dikategorikan sebagai bentuk sederhana toleransi. Prinsipnya, jika kita tidak ingin agama kita dilecehkan, jangan sampai melecehkan agama lain. Dan, sekalipun kita meyakini agama kitalah yang paling benar, misalnya, bukan berarti dengan mudah kita menyalahkan agama lain di hadapan pemeluk agama lain. Ada kemaslahatan yang jauh lebih besar untuk dijaga, dan keberhasilan menjaga kemaslahatan sesama adalah bukti bahwa kita telah dewasa dalam beragama.

Konflik antar agama mudah muncul di Indonesia lantaran keragamannya. Keragaman yang disatukan di bawah naungan bendera merah putih, berpotensi retak jika tidak dirawat dengan baik. Ironisnya, elite-elite politiklah yang kerap menghembuskan isu sektarian atau agama untuk mendulang dukungan, tanpa memedulikan efek jangka panjang berupa konflik yang mengeram di benak dan hati masyarakat, lalu pecah menjadi konflik terbuka.

Baca juga :Agama Menjadi Pengikat Solidaritas Kemanusiaan

Maka sebenarnya, ada ‘jalan pintas’ yang dapat kita jadikan pedoman hidup bermasyarakat. Sebagaimana kita tahu, bahwa Indonesia dibangun salah satunya di atas pilar Pancasila. Sementara Pancasila merupakan ideologi negara yang nilai-nilainya disarikan dari ajaran universal agama-agama di Indonesia. Artinya, dengan kita mengamalkan Pancasila, artinya kita juga tengah menjalankan ajaran-ajaran agama yang universal.

Robert Simbolon, Deputi I Pengelolaan Batas Wilayah Negara Kementrian Dalam Negeri, mengatakan, Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dinilai sebagai titik temu agama dan demokrasi. Masing-masing sila dalam ideologi ini berkaitan satu sama lain, sehingga dapat menjadi arah gerak bangsa. (kompas.com)

Hasto, politikus salah satu partai di Indonesia juga mengatakan bahwa prinsip ketuhanan dari Bung Karno antara negara agama dan sekuler adalah negara Pancasila. Pancasila adalah way of life, di mana ketuhanan yang berkebudayaan, ketuhanan yang melibatkan nilai-nilai kemanusiaan.

Hal ini bisa diartikan bahwa Pancasila dengan spirit sila-silanya yang lima, selalu mengamanatkan perdamaian sesama manusia. Sebagai makhluk bertuhan, manusia dilindungi hak-hak ibadahnya oleh undang-undang yang spiritnya disarikan dari sila-sila Pancasila. Begitu juga, sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, manusia dilindungi keamanannya dan kesejahterananya, sehingga menganggu kenyamanan orang lain adalah bentuk dari makar atas Pancasila, dan juga kemanusiaan.

Bangsa yang besar, tidak pernah mengabaikan catatan sejarah, misalnya catatan tentang tokoh teladan. Pun, sebutlah, Gus Dur, sebagai tokoh yang lahir di kalangan muslim taat, dan berwawasan global. Ia mampu menerjemahkan agama ke dalam laku hidup, dan tidak terjebak dalam praktik keberagamaan yang fanatik. Ia berkata, “Kehadiran agama tak lain untuk kepentingan manusia, bukan kepentingan Tuhan, karena memang Tuhan tidak butuh bantuan manusia.” (Fatoni, 2014; 31)

Perkataan Gus Dur ini patut direnungkan, terlebih dalam konteks hari ini, ketika Indonesia dilanda musibah tsunami dan juga kasus kecil tapi tidak sepele mengenai pemotongan nisan salib. Bahwa agama apapun, mesti mampu melihat dua realitas tersebut secara adil; tidak mengadili korban tsunami sebagai ‘pelaku maksiat’, karenanya ditenggelamkan; dan melihat manusia jangan hanya sampai tataran keyakinannya, melainkan lebih esensial lagi, yakni sama-sama hamba Allah, yang tidak boleh diperlakukan zalim.

Spirit agama yang telah meresap di sila-sila Pancasila, agaknya bisa mewarnai kehidupan berbangsa kita. Sehingga, interaksi sosial kita baik-baik saja, dan tanpa memedulikan apa agama seseorang, kita bisa hidup bahagia dan saling melindungi. Bahwa sebagai khalifah di muka bumi, manusia memiliki amanat dari Tuhannya yang mesti dijalankan, yakni menebarkan kedamaian kepada sesama dan semesta.

Facebook Comments