Di sudut kota-kota, terutama di Jakarta sebagai episentrum Covid-19, muncul spanduk-spanduk yang menggugah kesadaran bersama untuk melakukan ikhtiar bersama melawan Corona melalui berbagai program atau gerakan. Salah satu tulisan dalam spanduk tersebut: “Kota ini Akan Segera Sehat! Mari Jaga Kebersihan dan Terapkan Social Distancing Guna Memutus Mata Rantai Penyebaran Covid-19.”
Tak berlebihan jika ada yang mengatakan bahwa sebenarnya, dengan keluhuran budaya yang dimiliki, Indonesia lebih ‘siap’ menghadapi dan menghabisi Covid-19 di bumi pertiwi. Sebut saja budaya gotong-royong atau ikhtiar bersama yang diajarkan oleh agama-agama pun yang diwariskan oleh para nenek moyang bangsa Indonesia. Terlebih pada momentum puasa, berbagi dan saling menguatkan di tengah deru pandemi pasti menjadi fokus utama masyarakat karena puasa sangat menekankan adanya kepekaan dan kepedulian sosial.
“Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”, adalah sekian banyak peribahasa yang mencerminkan betapa budaya gotong-royong sudah mengakar pada diri segenap bangsa Indonesia, dan tidak hanya menjadi karakter, melainkan juga menjadi ciri khas bangsa Indonesia di mata bangsa lain. Bahkan bila dikaji, maka akan didapati sebuah fakta menarik betapa pada setiap daerah di Indonesia memiliki beragaman budaya gotong-royong dengan ciri khas masing-masing daerah tersebut.
Malinowski (1949) menyebutkan bahwa kondisi ketergantungan dan saling membutuhkan antar individu dalam pemenuhan kebutuhan dilakukan melalui perantara kebudayaan. Jelas kata, melalui kebudayaan, kelompok atau negara yang berinteraksi akan terlibat rasa kasih sayang, rasa memiliki, melindungi, sinergi, dan elaborasi sehingga tercipta kondisi yang ideal; kuat menghadapi segala persoalan, termasuk di era saat ini yaitu diterpa Covid-19.
Baca Juga : Optimalisasi Zakat di Tengah Gelombang Pandemi
Jika ditelisik lebih detail atau ke akarnya, maka istilah gotong-royong berasal dari bahasa Jawa; yaitu gotong dan royong. Kata ‘gotong’ dapat dipadankan dengan kata pikul (angkat). Sementara ‘royong’ dapat dipadankan dengn kata bersama-sama. Dengan demikian, gotong-royong adalah mengangkat sesuatu secara berjamaah (bersama-sama).
Dari pengertian di atas, dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa gotong-royong merupakan bentuk partisipasi aktif setiap individu untuk ikut terlibat dalam memberi nilai tambah atau positif kepada setiap objek atau aktivitas, permasalahan atau kebutuhan orang banyak di sekelilingnya (N Rochmadi, 2012).
Dalam perspektif sosiologi, gotong-royong merupakan semangat kolektif untuk mewujudkan tatanan yang damai, sejahtera dan menyeselaikan berbagai bentuk persoalan secara bersama-sama tanpa mengharap balasan apa-apa, semua demi kepentingan bersama. Satu rasa, satu suara. Inilah gotong-royong.
Memupuk (Kembali) Budaya Gotong-royong
Diakui atau tidak, gotong-royong adalah sifat dasar yang dimiliki masyarakat Indonesia. Saking sudah mengakar, gotong-royong selalu dikampanyekan oleh para pemimpin bangsa pada zaman dahulu, bahkan hingga saat ini dan insyaallah selamanya.
Gotong-royong, pada prakteknya, seringkali harus mengorbankan kepentingan pribadi. Misalnya, ketika pada suatu hari tetangga kita sedang membedah rumah, maka pada hari di mana rumah tetangga itu akan dibedah, maka kita—atas dasar gotong-royong—meniadakan atau menunda aktivitas pada saat itu.
Sebenarnya masih banyak contoh budaya gotong-royong yang diajarkan bahkan masih lestari hingga hari ini, seperti gotong-royong pembersihan lingkungan, membangun fasilitas publik seperti balai desa dan masih banyak lainnya.
Memang, ada kalangan yang mengatakan bahwa budaya gotong-royong di era sekarang ini sudah mulai luntur, digantikan atau lebih didominasi sikap individualisme. Namun demikian, karena ini adalah budaya luhur dan sebagai sifat dasar orang Indonesia, tentunya akan lebih mudah memupuk budaya gotong-royong itu. Terlebih di era seperti saat sekarang ini di mana Indonesia sedang diterjang virus corona. Yang hingga hari ini (07/04) sudah ada 2,7 ribu orang yang dinyatakan positif Covid-19, ratusan sudah meninggal dunia.
Indonesia Memanggil
Bangsa ini sedang dalam tidak baik, karena masih berjuang untuk segera mungkin keluar dari lubang jarum Covid-19, yang semakin hari semakin memangsa siapa saja yang ada di dunia ini, termasuk Indonesia. Dalam situasi ini, Indonesia memanggil segenap rakyat Indonesia untuk gotong-royong atau ikhiar bersama untuk berbagi dan saling menguatkan di tengah pandemi.
Koentjaraningrat (1987) membagi gotong-royong yang dikenal di Indonesia menjadi dua jenis: gotong-royong tolong-menolong dan gotong-royong kerja bakti. Lebih jauh lagi, Pranadji (2009: 62) mengataanbahwa gotong-royong adalah modal sosial untuk membentuk kekuatan yang besar, kepentingan bersama menjadi pengikatnya.
Bertolak dari paparan tersebut, sangatlah rasional, bahkan menjadi suatu keharupan bilamana nilai gotong-royong untuk berbagi dan saling menguatkan diterapkan di tengah masa wabah pandemi seperti saat sekarang ini untuk Indonesia sehat, bebas dari Covid-19 dan menyakit lainnya.
Lantas apa yang bisa kita lakukan? Pertama, disiplin menjalankan segala himbauan dari pemerintah sebagai pusat komando dalam menghadapi Covid-19. Kebijakan atau keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah, seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB); yang diantaranya memuat tentang himbauan agar kerja, belajar dan beribadah di rumah, menjaga jarak aman dengan orang lain (minimal 1 meter) dan menggunakan masker jika terpaksa harus keluar rumah dan rajin mencuci tangan.
Semua itu dibutuhkan kedisiplinan antar semua bangsa. Nilai gotong-royong memainkan perannya dalam membentuk sikap disiplin secara semesta bagi masyarakat. Memakai masker ketika sedang atau berada di luar rumah juga bisa dimaknai sebagai gotong-royong saling tolong untuk mencegah dan tidak menularkan virus kepada orang lain.
Kedua, meningkatkan kesadaran dan kepedulian sosial. Masih banyak warga yang kesadarannya rendah terhadap Covid-19. Rendahnya kesadaran ini bisa disebabkan oleh banyak faktor; agama, ilmu pengetahuan dan lain sebagainya. Dan minimnya informasi terkait Covid-19 menjadi faktor dominan mengapa kesadaran masyarakat ini rendah tentang bahaya dan bagaimana cara menghadapinya. Untuk itu, sosialisasi atau kampanye guna meningkatkan kesadaran masyarakat ini memerlukan bantuan semua pihak alias dijalankan dengan prinsip gotong-royong.
Di lain hal, kepedulian masyarakat juga terasa sangat minim. Hal ini bisa dilihat dari cara sebagian masyarakat memborong masker dan kebutuhan lainnya sehingga menimbulkanpanic buying. Tentu cara ini sangat mencederai gotong-royong. Harusnya, masyarakat berbondong-bondong memproduksi masker kemudian membagikannya. Memang, nilai gotong-royong ini sudah mulai muncul di beberapa daerah, semoga daerah lain bisa menyusul.
Ketiga, membangun solidaritas. Kunci penanganan Covid-19 secara maksimal adalah adanya solidaritas. Harus disadari bahwa kemampuan masyarakat Indonesia sangat beragam, ada yang tidak bisa membeli masker, bahkan juga untuk meningkatkan gizi atau makan dan minum suplemen agar daya imunitas tubuh meningkat. Oleh sebab itu, diperlukan rasa solidaritas sebagai bentuk menerapkan budaya gotong-royong dengan gerakan membantu meringankan saudara kita dengan berbagai cara, sesuai dengan kemampuan masing-masing. Setidaknya cara-cara di atas, yakni saling berbagi, menguatkan dan merekatkan solidaritas, dan meningkatkan kepedulian sosial, akan menjadi jalan yang cerah menuju Indonesia sehat; bebas Corona dan penyakit lainnya sehingga kehidupan berbangsa dan bernegara stabil (kembali). Inilah spirit puasa di tengah pandemi. Aaamiin.