Islam Sebagai Inspirasi: Kritik Gus Dur Terhadap Islamisme

Islam Sebagai Inspirasi: Kritik Gus Dur Terhadap Islamisme

- in Narasi
708
0
Islam Sebagai Inspirasi: Kritik Gus Dur Terhadap Islamisme

Bagi kaum Islamisme, Islam diletakkan sebagai alternatif. Dalam bidang ekonomi, Islam dijadikan sebagai jalan alternatif antara kapitalisme dan sosialisme. Bidang politik dijadikan sebagai pilihan alternatif antara komunisme dan liberalisme. Menempatkan Islam sebagai alternatif mendapat kritikan tajam dari Gus Dur.

Menurut Gus Dur, Islam itu inspirasi bukan alternasi. Memposisikan Islam sebagai inspirasi lebih membuka ruang untuk Islam lebih aktif dalam mewarnai dan diwarnai dari dan untuk budaya, tradisi, dan nilai luar. Sebaliknya, memposisikan Islam sebagai alternasi, menjadikan Islam terasing, tertutup, dan tidak mau menerima dan diterima pihak luar.

Dalam konteks politik, paradigma bahwa Islam adalah jalan alternatif menjamur di tengah masyarakat. Kekecewaan terhadap sistem politik yang ada, tidak diperbaiki dengan nilai-nilai substansi Islam, malah Islam itu sendiri yang disodorkan sebagai solusi. Paradigma inilah yang pada awalnya melahirkan Islam politik, yang berujung pada politik idetitas sektarian.

Bagi kaum Islam politik, Islam adalah sistem politik yang sempurna, tanpa cacat, sakral, dan solusi yang tepat. Akibatnya, sistem di luar Islam ditolak, dianggap salah, bahkan sesat. Prinsip hanya Islam yang benar, lain salah, mengakibatkan tidak terjadi dialog dan saling memahami antar budaya.

Identitas Eksklusif

Konsekuensi logis dari paradigma Islam sebagai alternatif adalah menguatnya identitas tertutup. Kaum revivalis –meminjam bahasa Abdullah Saeed –ingin menerapkan semua penafsiran ulama pertengahan dalam kehidupan modern. Upaya penerapan itu tanpa diiringi dengan sifat kritis dan tanpa melihat konteks ruang dan waktu.

Ini tentu sangat berbahaya. Sebab, tidak semua penafsiran para pendahulu kita, cocok dengan zaman kita sekarang. Terlebih-lebih penafsiran itu masih bias dan penuh kepentingan.

Baca Juga :Islamisme dan Paradigma Kemanusiaan Ali bin Abi Thalib

Contoh paling konkrit dari upaya ini adalah, pengharaman riba dan pendirian perbankan syariah. Bagi kaum revivalis, bunga bank sama dengan riba. Maka ia haram. Sebab ia haram, maka perlu membuat sistem perbankan non-ribawi. Logika mereka sangat sederhana, tetapi dangkal dan sempit.

Bagi kaum Islamisme, sistem demokrasi membawa kesengsaraan, ia produk manusia (Barat), dan sudah gagal. Maka perlu diganti dengan sistem yang “diklaim” lebih Islami, khilafah. Dengan khilafah, maka semua permasalahan akan teratasi. Khilafah diletakkan bak obat ajaib yang bisa menyembuhkan segala macam penyakit.

Logika sederhana dan pendek ini, tidak akan terjadi bila Islam diletakkan sebagai inspirasi. Apakah betul bunga bank itu sama dengan riba yang diharamkan Rasul? Bukankah perbedaan konteks dan sistem keuangan berimplikasi pada kesimpulan hukum? Apakah tujuan peminjaman yang bersifat produktif dengan suku bunga yang ditetapkan di awal dan dikontrol negara, membuat bunga bank berbeda dengan riba?

Sederet pertanyaan ini –sengaja atau tidak –tidak sampai kepada kaum revivalis. Bagi mereka, pokoknya itu haram. Titik! Sifat kritis dan usaha untuk melihat konteks tidak terjadi.

Hal yang sama juga pada kasus khilafah. Bagi Hizbut Tahrir (HT), demokrasi, kapitalisme, dan segala macam produk barat, semuanya adalah haram. Thagut. Wajib ditumbangkan.

Sifat tertutup ini, tak mau menerima tradisi, sistem, atau pemikiran dari luar, berakibat pada ketidakmampuan umat Islam membaur. Ummat Islam selalu ingin mengasingkan diri, dan masih berkeyakinan bahwa Islam adalah jalan alternatif semua hal.

Ketidaksetaraan

Bagi Gus Dur, paradigma itu perlu digeser, menjadikan Islam sebagai inspirasi. Menempatkan Islam sebagai inspirasi membuat ummat Islam lebih terbuka, dan mau belajar dengan dan kepada sistem, pemikiran, dan budaya dari luar.

Substansi Islam bisa berdialog dengan segala macam perubahan yang ada. Paradigma Islam sebagai inspirasi tidak menjadikan Islam sebagai sesuatu yang taken for granted, melainkan ada sikap kritis, melihat konteks, dan menimbang tujuan dan maslahat.

Sikap kritis pada akhirnya membawa kepada sikap, bahwa tidak semua interpretasi ulama abad pertengahan sesuai dengan konteks sekarang. Boleh jadi ada bias, kepentingan, dan intrik politik.

Abdullahi Ahmed An-Naim (1997) umpamanya, memperlihatkan bahwa dalam konteks hukum publik syariah (historis) itu masih bersifat diskriminatif. Bukan hanya itu, Islam dalam sejarahnya tidak mempunyai klasifikasi hukum privat dan hukum publik. Yang ada haqqullah (hak Allah), haqqunnas (hak manusia), dan gabungan dari keduanya.

Diskriminasi dan ketidaksetaraan itu terletak pada sikap syariah terhadap non-muslim, perempuan, dan budak. Non-muslim dalam sejarahnya, masih diberlakukan sebagai second class, kelas dua. Sifat kewargaan dalam syariah sangat hierarkis. Pun demikian dengan perempuan. Masih ada 14 kasus dalam hukum Islam yang menempatkan perempuan sebagai kelas dua. Hal yang sama dengan budak, ketidaksetaraan hukum masih ada dalam konsepsi syariah (historis).

Bagai kaum yang berparadigma Islam sebagai alternasi, maka apapun hasil interpretasi klasik, semuanya mau diterapkan ke zaman sekarang. Bila paradigma itu digeser, menurut Gus Dur, akan ada hukum publik yang lebih egaliter, inklusif, dan akomodatif terhadap perbedaan.

Untuk itu dalam konteks sekarang, Islam perlu ditempatkan sebagai inspirasi. Yang dengan itu, umat Islam bisa berdialog ke dalam dan keluar, menerima dan diterima oleh budaya dan tradisi lain, dan ikut mewarnai gerak zaman. Kita tinggalkan sikap menutup diri, karena menganggap bahwa dalam Islam semuanya sudah sempurna, bagus, dan tanpa cacat. Sikap ini sangat berbahaya!

Facebook Comments