Melongok Dari yang Tak Pokok

Melongok Dari yang Tak Pokok

- in Narasi
1721
0
Melongok Dari yang Tak Pokok

Selama sepekan ini, tercatat bangsa Indonesia tengah diguncang dengan berbagai teror yang bernuansa agama—atau lebih tepatnya, berbungkus agama tertentu. Selasa, 08 Mei 2018, Mako Brimob menjadi sasaran teror yang menewaskan lima aparat kepolisian. Lusanya, Kamis, 10 Mei, satu aparat juga tumbang ditusuk seorang lelaki yang mencurigakan. Dan masih di kompleks yang sama, Sabtu, 12 Mei, dua perempuan yang diduga akan melakukan penusukan berhasil ditangkap (www.tempo.com 13/05/2018). Esoknya, Minggu, 13 Mei, bom meledak di tiga gereja di Surabaya, rusunawa di Sidoarjo dan markas polrestabes Surabaya. Belasan orang terbunuh, puluhan lainnya terluka (www.dw.com 13/05/2018).

Ada ironi di sini, khususnya aksi kerusuhan yang berujung teror yang terjadi di Mako Brimob. Bagaimana bisa sekelompok napiter yang terbukti sebagai anggota JAD, sebuah organisasi yang menaungi anggota-anggota IS di Indonesia, menyerang dan menebar teror justru (1) di penjara yang terletak (2) di Mako Brimob? Seandainya di dalam kompleks Mako Brimob pun mereka berani dan mampu meneror, apalagi di luar?

Dari berbagai foto dan video yang beredar di medsos dan berbagai pemberitaan, dapat dikatakan bahwa kepolisian sepertinya terlalu memberi ruang bagi para teroris itu mengekspresikan dirinya. Di dalam tahanan orang dapat menyaksikan bagaimana mereka dengan leluasanya memasang ataupun memakai atribut dan simbol-simbol IS. Seandainya saja barang-barang yang kasat-mata—tampang, t-shirt, bendera, dst.—bisa dikenakan seleluasa di penjara Mako Brimob, apalagi yang tak kasat-mata: doktrin dan persebarannya—bahkan “habitus”?

Tentu, bukan wilayah saya untuk berbicara teknis pengawasan dan penjagaan di penjara Mako Brimob. Saya tergelitik dengan bagaimana radikalisme keagamaan, radikalisasi agama dan terorisme masih saja terjadi bahkan di dalam penjara Mako Brimob sekalipun.

Adakalanya, untuk menyibak gelegak terorisme yang mengatasnamakan agama tertentu kita mesti beranjak dari sesuatu yang kecil, faktor yang kelihatannya tak pokok: rokok. Bukan karena faktanya banyak para teroris yang mengatasnamakan agama tertentu itu tak merokok, tapi karena mereka membutuhkan kambing-hitam, objek pelampiasan atas ketakpuasan mereka pada kenyataan.

Saya tak perlu membongkar pandangan tertentu yang melatari orang merokok. Sebab sudah jelas, rokok itu “candu”. Tapi ada yang beda di balik pandangan yang kerap mendasari orang yang antirokok: rasa frustasi dan logika pengkambinghitaman.

Orang yang antirokok cenderung mendasarkan sikapnya pada sebuah ideal tertentu, sebuah angan tentang dunia yang tak sakit dan suci—sesuatu yang “sempurna,” mendekati “surga.” Angan ini menjadi ukuran, pegangan, sesuatu yang patut ditinggikan dengan merendahkan yang lainnya: logika oposisi biner, logika tanpa alternatif.

Logika kaum radikal (keagamaan) beroperasi dengan rumus semacam ini: Islam-kafir, iman-nalar, suci-tercemar, dan seterusnya. Lazimnya, untuk meneguhkan sisi yang satu, mereka perlu merendahkan, bahkan melenyapkan sisi yang lainnya. Oposisi biner yang hierarkis ini senantiasa dipelihara, sebab sudah jelas, radikalisme perlu kambing-hitam untuk mengukuhkan dan memapankan eksistensinya.

Dalam kasus ideal kesehatan, kebersihan, dan barangkali juga kehematan, hal itu adalah rokok. Lintingan tembakau yang telah berusia ratusan tahun itu merupakan kambing-hitam yang paling murah atas rasa frustasi orang akan dunia yang tak sakit dan tak tercemar yang tak kunjung datang. Padahal, kalau mau berpikir kritis, tak hanya rokok yang menyebabkan dunia sakit, rusak, dan tercemar.

Dalam hal ini saya tak sedang membela eksistensi rokok, hanya saja, ide dasar yang melatari orang-orang yang antirokok cenderung sebangun dengan logika, cara berpikir, kaum radikal keagamaan.

Radikalisme keagamaan berangkat pula dari sebuah angan tentang dunia yang suci, murni, sempurna, bebas dari segala mala (hal-hal yang dipandang buruk). Untuk mengukuhkan angan atau idealitas tentang kesucian, mereka perlu merendahkan dan bahkan melenyapkan segala hal yang dianggap mengancam kesucian yang diangankan: kekotoran.

Tapi, apa sebenarnya kriteria ataupun parameter dari kesucian tersebut? Apakah kesucian itu berarti dunia yang bersih dari segala macam keburukan, maksiat dan perbuatan dosa, misalnya? Bukankah memaksa, merampok, meracik zat psikotropika, bahkan membunuh untuk menegakkan kesucian sebagaimana yang dilakukan para teroris itu juga sebentuk dosa? Bukankah untuk mengukuhkan identitas kesucian itu mereka membutuhkan hal yang sebaliknya, kekotoran, hal-hal yang buruk? Bukankah untuk menegakkan kesucian itu mereka justru menggunakan perbuatan yang tak suci (dosa)? Seandainya demikian, maka pada titik ini orang patut bertanya, adakah sebenarnya kesucian (dunia) yang mati-matian mereka bela dan perjuangkan?

Persis logika orang-orang antirokok yang cenderung menyalahkan dan mengambinghitamkan rokok atas segala mala yang terjadi di dunia—polusi, lara, kemiskinan. Mereka tak pernah pula menggunakan nalarnya, apakah benar yang menyebabkan kerusakan, kebobrokan, sakit dan kemiskinan di dunia ini adalah rokok? Bagaimana dengan wabah, cerobong asap pabrik, knalpot motor, rumah kaca atau bahkan sistem ekonomi, misalnya?

Dalam kasus radikalisme keagamaan dan terorisme, apa dan siapakah rokok tersebut? Dari berbagai korban terorisme, kambing-hitam itu adalah sistem ataupun orang-orang yang mereka vonis sebagai kafir, baik kafir dzimmi (sistem ataupun orang-orang non-muslim) maupun harbi (sistem ataupun orang-orang yang mereka anggap sebagai penghalang terwujudnya cita-cita mereka).

Dus, dalam hal ini, saya kira teror yang mereka lancarkan tak sekedar dapat dibaca sebagai sebuah upaya untuk menegakkan cita-cita belaka. Tapi juga sebentuk letupan rasa frustasi akan kesucian dunia yang tak kunjung datang atau terjelang. Bom bunuh diri yang mereka lakukan dapat dipandang sebagai bukti dari hal itu. Logika bunuh diri yang berlandaskan ideologi tertentu biasanya adalah adalah logika nihilistik: “yes or nothing at all.”

Orang-orang ataupun sistem yang mereka kategorikan sebagai kafir—baik dzimmi maupun harbi—adalah kambing-hitam yang paling murah atas angan yang tak kunjung datang—surga yang hilang.

Satu hal yang acap dilupakan oleh kalangan radikal keagamaan adalah fakta telanjang bahwa sudah menjadi tabiat dunia untuk menyajikan ketaksempurnaan, suci dari segala mala. Persis seperti rokok, ada atau tidaknya sama sekali tak memengaruhi keadaan dunia. Demikian pula soal terorisme, dengan lenyap atau tidaknya orang-orang kafir, baik dzimi maupun harbi, dunia tetap berjalan seperti apa adanya, menyibakkan wataknya yang fana. Maka, adakah yang salah dari sesuatu yang fana?

Facebook Comments