Penafsiran Pancasila, Agenda Provokasi dan Psikologi Massa di Media Sosial

Penafsiran Pancasila, Agenda Provokasi dan Psikologi Massa di Media Sosial

- in Narasi
568
0
Penafsiran Pancasila, Agenda Provokasi dan Psikologi Massa di Media Sosial

Kemunculan RUU HIP telah memantik polemik publik. Setidaknya ada tiga poin dalam RUU HIP yang dinilai kontroversial. Pertama, klausul tentang konsep trisila dan ekasila dalam draf RUU HIP yang dianggap sebagai pelemahan terhadap orisinalitas Pancasila. Kedua, tidak adanya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1996 yang dinilai bisa menjadi celah bagi bangkitnya ajaran Marxisme-Leninisme (sosialisme-komunisme). Pemerintah sendiri dengan tegas menolak melanjutkan pembahasan RUU HIP. Sementara DPR sebagai pengusul juga telah menyepakati pembatalan pembahasan RUU HIP.

Ini artinya, secara subtantif RUU HIP sebenarnya sudah tidak relevan untuk dipolemikkan lagi. Meski demikian, masih saja ada pihak yang berusaha mengkapitalisasi isu polemik RUU HIP ini untuk memperkeruh suasana. Kelompok-kelompok ini gencar menuding pemerintah bersekongkol dengan DPR untuk melemahkan Pancasila dan memberi ruang bagi kebangkitan Partai Komunisme Indonesia alias PKI. Tuduhan tidak berdasar ini dilancarkan demi mendeskreditkan posisi pemerintah dalam konteks kontroversi RUU HIP sekaligus mencitrakan diri sebagai pembela sejati Pancasila.

Klaim sebagai pembela Pancasila sejati ini sebenarnya agak rancu mengingat kelompok yang saat ini berkoar-koar tentang kebangkitan komunisme ialah kelompok yang selama ini dikenal anti-Pancasila dan NKRI. Di titik ini kita tahu bahwa klaim tersebut tidak lebih dari sebuah bentuk self-proclaimed yang absurd, irasional sekaligus ahistoris. Pancasila ialah milik bersama bangsa Indonesia. Tidak ada kelompok yang berhak merasa lebih pancasilais ketimbang kelompok lain. Begitu pula tidak ada kelompok yang pantas mengklaim diri sebagai pembela sejati Pancasila dan di saat yang sama menuding kelompok lain sebagai komunis.

Kontroversi RUU HIP ini jika dibaca dalam perspektif pemikiran yang lebih luas ialah bagian dari dinamika penafsiran Pancasila. Sejak awal mula berdirinya negeri ini, Pancasila memang telah menjadi ideologi terbuka yang memungkinkan untuk ditafsirkan sesuai dengan kepentingan zaman. Di masa Orde Lama, Pancasila diterjemahkan ke dalam sistem demokrasi terpimpin, dimana negara memiliki otoritas penuh untuk mengendalikan urusan politik, sosial, ekonomi dan lain sebagainya. Di masa Orde Baru, Pancasila dibakukan ke dalam doktrin asas tunggal yang cenderung bersifat otoriter. Sedangkan di era Reformasi ini, Pancasila cenderung dihadapkan pada beragam tafsir.

Baca Juga : Provokasi Virtual dan Masa Depan Persatuan Bangsa

Sebagian kalangan berusaha menafsirkan Pancasila ke arah pemahaman bercorak konservatisme agama. Sebagian masyarakat berusaha menarik Pancasila ke arah pemahaman sosialisme-komunisme. Sebagiannya lagi berusaha menggiring Pancasila ke arah pembacaan liberalisme. Dinamika penafsiran Pancasila inilah yang kerap melatari munculnya provokasi dan adu domba di tengah publik. Terlebih ketika propaganda provokasi dan adu domba itu disebar di media sosial. Seperti kita tahu, media sosial ialah medium berkumpulnya manusia dari beragam identitas, kelas sosial dan latar belakang yang berbeda-beda. Media sosial berisi jutaan manusia dengan karakter yang berbeda satu sama lain.

Melawan Provokasi-Adu Domba Dengan Akal Sehat dan Sikap Bijak

Dalam teori psikologi, media sosial tidak ubahnya seperti kerumunan massa dimana individu lebih sering menjadi anonymous alias kehilangan identitas pribadinya dan lebur ke dalam identitas kerumunan tersebut. Apa yang terjadi kemudian ialah individu mulai kehilangan tanggung jawab pribadinya, bahkan di titik paling ekstrem kehilangan moralitas dan rasa kemanusiannya. Belum lagi fakta bahwa di media sosial terdapat jutaan akun anonim yang tidak menampilkan identitas pemiliknya secara jelas. Mereka ialah akun-akun siluman yang siap melakukan apa saja, termasuk menyebarkan propaganda provokasi dan adu domba.

Maka menjadi tidak mengherankan jika medsos memiliki wajah ganda. Di satu sisi, medsos bisa menjadi ajang menumbuhkan solidaritas kemanusiaan. Di sisi lain, medsos juga potensial menjadi ajang menyebar kebencian, fitnah, provokasi dan adu domba. Seperti yang kita lihat belakangan ini dalam kasus polemik penafsiran Pancasila. Di media sosial ada semacam gerakan masif yang disokong kelompok tertentu untuk mendeskreditkan pemerintah dengan tuduhan pro-komunisme. Hampir setiap hari, tanda pagar (tagar) bernada provokatif dan mengadu-domba menjadi trending topic di linimasa medsos.

Ada kecenderungan bahwa individu di media sosial akan menjadi bagian psikologi massa di dalamnya. Individu yang setiap hari mendapatkan informasi provokatif dan narasi adu domba melalui akun medsosnya, kemungkinan besar akan terpengaruh. Rasionalitas dan independensi berpikirnya bisa runtuh lantaran setiap hari digempur oleh provokasi dan adu domba yang disebarluaskan melalui kanal media sosial. Keterjebakan pada psikologi massa di medsos inilah yang membuat narasi provokasi dan adu domba begitu mudah diamplifikasi ke seluruh lapisan dan kelompok masyarakat.

Memprovokasi dan mengadudomba adalah dua tindakan reaksioner yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah komunikasi massa dan relasi sosial. Dalam konteks komunikasi dan relasi sosial, hal-hal yang memicu kontroversi atau polemik publik idealnya terlebih dahulu dikonfirmasikan terlebih dahulu kepada sumber berita atau informasi. Dalam Islam, dikenal istilah tabayyun, atau mencoba mencari kejelasan dari perkara yang diperdebatkan publik. Konfirmasi atau tabayyun atau perlu agar tidak muncul fitnah, tudingan dan hal-hal yang dapat merusak kohesivitas sosial lainnya.

Konfirmasi atawa tabayyun inilah yang alpa dilakukan oleh pihak-pihak tertentu dalam merespons isu polemik penafsiran Pancasila. Mereka terburu-buru menuduh pemerintah ingin melemahkan Pancasila dan membuka ruang bagi ideologi komunisme. Padahal, sudah jelas bahwa pemerintah dengan tegas tidak akan memberikan ruang bagi komunisme tumbuh di Indonesia. Di titik ini kita patut mewaspadai bahwa provokasi dan adu domba dengan menunggangi isu penafsiran Pancasila ini memang disengaja alias by design. Maka dari itu, tugas bersama pemerintah dan masyarakat untuk melawan segala provoksi dan adu domba di dunia maya terutama yang menjadikan polemik penafsiran Pancasila sebagai senjatanya.

Provokasi dapat diredam secara otomatis dengan mempraktikkan pola komunikasi yang efektif dan efisien. Pemerintah perlu menjelaskan bahwa Pancasila ialah bentuk final yang tidak akan lagi diutak-atik atas nama kepentingan politik apa pun. Pemerintah juga harus meyakinkan publik bahwa tidak ada ruang bagi komunisme dan paham turunannya untuk berkembang di Indonesia. Sedangkan adu domba bisa diredam dengan mengajak masyarakat berpikir rasional dan bijak dalam menyikapi munculnya isu atau wacana yang menuai polemik atau kontroversi di tengah publik. Berpikir rasional dan bertindak bijak adalah dua kunci terhindar jebakan provokasi dan adu domba. Meski berada di ranah digital alias dunia maya, media sosial pada dasarnya merupakan cerminan dari kehidupan di dunia nyata. Maka dari itu, narasi provokasi dan adu domba di medsos ini patut kita waspadai dan tangkal secara bersama-sama lantaran potensial melahirkan kekacauan sosial di dunia nyata. Berpikir rasional dan bersikap bijak terutama dalam konteks bermedia sosial ialah jalan untuk menangkal setiap provokasi dan upaya adu domba. Selain itu, berpikir rasional dan bersikap bijak juga bisa menjadi cara kita untuk mempertahankan identitas individual dan tidak sepenuhnya hanyut pada kerumunan massa di medsos.

Facebook Comments