Seperti halnya isu konflik agama di sejumlah negara, konflik Hindu dan Muslim di India juga menimbulkan respons reaktif di kalangan sebagian umat muslim Indonesia. Tidak cukup hanya dengan bersimpati dan berempati pada korban, sebagian umat Islam merespons isu tersebut dengan berunjuk rasa di Kedutaan Besar India di Jakarta. Aksi tersebut diwarnai pembakaran bendera India yang lantas dikecam oleh duta besar India. Bahkan, demonstran berencana melakukan sweeping terhadap warga India di Indonesia. Demonstrasi itu dimotori oleh Persaudaraan Alumni (PA) 212.
Kita tentu tidak asing dengan PA 212, ormas Islam yang lahir dari rahim fenomena populisme Islam dan politik identitas yang muncul secara masif dalam momen Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI tahun 2017 lalu. Tempo hari, PA 212 juga melakukan reuni tahunan disertai aksi pengerahan massa yang bertempat di Monas. Salah satu orator dalam aksi tersebut menyerukan pencopotan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai komisaris utama Pertamina. Bahkan, mereka juga menyerukan pemakzulan Presiden Joko Widodo.
Jika diamati, nyaris dalam setiap isu konflik agama dimana umat muslim sebagai korbannya, kelompok-kelompok neo-konservatif Islam seperti PA 212, FPI dan eks-HTI selalu muncul ke permukaan. Mereka mengerahkan massa, berdemonstrasi dan mengklaim aksi itu sebagai aksi solidaritas kemanusiaan. Pertanyaannya ialah, sudah tepatkah aksi pengerahan massa dan demonstrasi yang kerap disusupi orasi-orasi anti pemerintah itu diklaim sebagai aksi solidaritas?
Diamati secara obyektif, aksi demonstrasi kelompok neo-konservatif Islam di Indonesia dalam merespons konflik agama di India itu sulit untuk dikatakan sebagai bagian dari solidaritas kemanusiaan. Sebaliknya, ada kesan kuat bahwa mereka hanya memanfaatkan isu tersebut untuk menjaga eksistensi mereka agar tetap mendapatkan perhatian publik. Kelompok-kelompok Islam neo-konservatif di Indonesia paham benar bahwa konflik antaragama adalah isu yang potensial untuk menaikkan engagement mereka di mata publik.
Bukan kali ini saja kelompok Islam neo-konservatif memanfaatkan isu konflik agama untuk membangun pencitraan. Tempo hari, ketika isu Muslim Rohignya mencuat, mereka juga aktif berdemonstrasi, bahkan berencana mengirim mujahid ke Kamboja. Namun, wacana berjihad di Kamboja itu pun mereda seiring dengan berlalunya isu tersebut. Besar kemungkinan, wacana sweepingwarga India tersebut juga akan lenyap begitu saja ketika media massa tidak lagi menyoroti kasus konflik antaragama di India.
Hakikat Solidaritas Kemanusiaan
Melihat fenomena yang demikian ini kita patut merefeleksikan lagi makna solidaritas kemanusiaan yang sesungguhnya. Terutama kita patut mempertanyakan apakah demonstrasi semi-anarkis bahkan disertai ancaman sweeping itu dapat disebut sebagai bagian dari solidaritas kemanusiaan? Atau justru sebaliknya, tindakan yang demikian itu patut kita kategorikan sebagai bagian dari fenomena populisme Islam dan politik identitas.
Baca Juga : Nirkekerasan, Bina-Damai dan Solidaritas Kemanusiaan
Solidaritas, secara definitif dapat dipahami sebagai sebuah keadaan hubungan antarindividu dan atau kelompok yang didasarkan pada keadaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Solidaritas merupakan ikatan yang lebih mendasar ketimbang hubungan kontraktual yang dibuat atas persetujuan rasional. Dalam pandangan sosiolog Emile Durkheim, solidaritas mensyaratkan adanya saling kepercayaan antara para anggota dalam suatu kelompok atau komunitas. Rasa saling percaya itulah, menurut Durkheim yang akan mendorong manusia untuk saling menghormati, saling menjaga dan bertanggungjawab satu sama lain.
Jika kita mengacu pada definisi solidaritas tersebut, maka solidaritas kemanusiaan idealnya tidak didasari atas isu primordial tertentu, entah itu identitas keagamaan, kesukuan, kebudayaan, etnisitas, dan sejenisnya. Solidaritas kemanusiaan adalah ikatan solidaritas yang telah melampuai sekat-sekat persamaan atau perbedaan agama dan identitas sejenisnya. Solidaritas kemanusiaan ialah ikatan solidaritas yang universal alias tidak terikat oleh apa pun. Maka, idealnya solidaritas kemanusiaan itu tidak berstandar ganda, tebang pilih apalagi bermuatan kepentingan pribadi atau kelompok.
Dibaca dari definisi di atas, rasanya sulit untuk mengatakan bahwa respons sejumlah ormas Islam neo-konservatif di Indonesia atas isu-isu sosial-keagamaan seperti terjadi di Kamboja beberapa waktu lalu dan India belakangan ini sebagai solidaritas kemanusiaan yang sesungguhnya. Sulit untuk menutupi kesan bahwa aksi-aksi massa tersebut berkelindan dengan fenomena populisme Islam dan politik identitas.
Populisme Islam sebagai sebuah gerakan politik berbasis isu keagamaan (Islam) memang populer di Indonesia selama sekira 4 tahun belakangan ini. Secara garis besar, populisme Islam di Indonesia dapat dipahami sebagai gerakan politik yang menjadikan isu keislaman sebagai komoditas politiknya. Gerakan populisme Islam kerap membangun narasi bahwa umat Islam telah dizalimi oleh kekuatan (ekonomi-politik) tertentu.
Senada dengan populisme Islam, politik identitas merupakan strategi politik yang mengeksploitasi sentimen fanatisme identitas (suku, agama, ras) sebagai alat untuk meraih simpati publik. Dalam praktiknya, politik identitas kerap berkelindan dengan fenomena ujaran kebencian, fitnah dan berita palsu. Gerakan populisme Islam dan politik identitas selalu berselancar di atas itu sentimen fanatisme keagamaan yang dibungkus dengan narasi kebencian dan anti-perdamaian.
Solidaritas Tanpa Pamrih
Kuatnya kesan populisme Islam dan politik identitas yang mengemuka dari setiap aksi demonstrasi yang dilakukan oleh para eksponen Islam konservatif itu justru menjadikan solidaritas kemanusiaan berada dalam kondisi absurd. Di satu sisi, sejumlah kelompok Islam mengecam keras tindakan diskriminasi dan kekerasan terhadap kaum Muslim di sejumlah negara.
Namun, mereka justru diam ketika menyaksikan perilaku intoleransi agama di Indonesia yang menimpa kaum minoritas non-Muslim. Bahkan, pada titik tertentu merekalah aktor di balik tindakan intoleran tersebut. Standar ganda inilah yang melatari munculnya absurditas solidaritas kemanusiaan. Bagaimana tidak absurd? Kelompok Muslim konservatif begitu bersemangat dalam menunjukkan sikap simpati, empati dan solidaritasnya hanya kepada kelompok yang dianggap menjadi bagian dari mereka.
Sebaliknya, mereka terkesan abai pada nasib kelompok yang bukan bagian dari mereka. Di sinilah terjadi semacam proses pengidentifikasian individu atau kelompok berdasar persamaan pandangan agama dan afiliasi politik. Cara pandang yang demikian itu tidak pelak telah melatari munculnya solidaritas kemanusiaan semu, yakni jenis solidaritas yang mensyaratkan adanya persamaan identitas dan proses identifikasi yang justru terjebak pada nalar diskriminatif. Adalah tugas kita bersama untuk mengembalikan hakikat solidaritas kemanusiaan kepada makna esensialnya. Bahwa solidaritas ialah ikatan antarsesama manusia yang dilandasi sikap tanpa pamrih. Solidaritas kemanusiaan memiliki prinsip dan nilai universal, dimana semua manusia memiliki posisi dan kedudukan yang sama. Tidak peduli apa pun identitas dan latar belakangnya, semua manusia pantas dan wajib ditolong, dibela dan dijaga ketika berada dalam kondisi ketertindasan, ketidakadilan dan situasi tidak menguntungkan lainnya. Sikap empati dan simpati yang didasari sikap pamrih dan dibumbui kepentingan individual atau kelompok tidak layak disebut sebagai solidaritas, alih-alih hanyalah upaya sensasional untuk mencari panggung, menarik simpati publik dan meneguhkan eksistensi yang tidak ada kaitannya dengan nilai dan prinsip kemanusiaan.