Menghalau Radikalisme Melalui Literasi Media

Menghalau Radikalisme Melalui Literasi Media

- in Narasi
1843
0
Menghalau Radikalisme Melalui Literasi Media

Perkembangan paham radikalisme keagamaan semakin massif dan meningkat seiring dengan laju globalisasi yang dapat dengan mudah tersebar melalui media sosial. Situasi buruk ini didukung oleh ragam momentum yang meletupkan paham radikalisme keagamaan, seperti pemilihan kepala daerah (termasuk pula pemilihan presiden dan wakil presiden) yang mengarusutamakan sentimen agama, bullyingterhadap kelompok minoritas, penolakan terhadap Pancasila sebagai ideologi negara, dan lain sebagainya.

Fenomena tersebut sejalan dengan hasil studi Martin van Bruinessen (2013) yang menunjukkan pergeseran wajah Islam di Indonesia pasca reformasi, yakni dari Islam ramah (smilling face) kepada Islam marah. Pergeseran ini tampak dari berbagai insiden kekerasan, seperti meningkatnya konflik antar dan intra-agama, terorisme, dan penegakan syariat Islam. Dari hasil studi ini, memberikan informasi faktual tentang tumbuh berkembangnya konservatisme Islam di Indonesia.

Penyebaran paham radikalisme keagamaan itu kini tidak dilakukan secara berupa pertemuan langsung, tetapi memanfaatkan kanal media sosial, yang dalam praktiknya bahkan menghalalkan segala cara, menyebarkan berita bohong atau palsu (hoax), misalnya. Kelompok ini terorganisir dengan baik dan kompak dalam melakukan pengarusutamaan narasi atau wacana untuk melakukan justifikasi kepada tindakan yang mengarah pada paham radikalisme keagamaan.

Sadar terhadap gejala itu, di pihak lain, terlihat kelompok dari kalangan anak-anak muda yang berusaha keras melakukan kontra narasi terhadap arus radikalisme itu. Kelompok ini, meski sebenarnya dalam tidak terorganisir secara rapi, tetapi memiliki kesadaran yang sama, bahwa media sosial sebagai ruang kebebasan berpendapat tidaklah bebas nilai, sehingga jika wacana publik didominasi oleh kelompok yang pro-radikalisme akan membahayakan masa depan warga dan bangsa Indonesia.

Peran media online

Di antara media online yang memiliki reputasi bagus dan rating tinggi sebagai media penyeimbang dalam meredam laju arus radikalisme keagamaan, misalnya website nu.or.id, islami.co, dan alif.id. Ketiga webisete ini dikelola oleh mereka yang saling mengenal satu sama lain, namun beda manajemen. Ketiganya, bahkan berasal dari kultur dan latarbelakang keagamaan yang sama, yaitu NU.

Baca Juga : Mewujudkan Zona Hijau Radikalisme di Dunia Maya

Mengamati apa yang dilakukan oleh tiga media tersebut penting, meski sekilas mungkin ada yang menganggapnya remeh, tetapi sungguh berkontribusi besar dalam penyebaran informasi yang sehat. Paham radikalisme menyebar melalui berita-berita bohong, berisi fitnah dan penuh dengan kebencian.

Dalam beberapa survei mutakhir berdasar ranting Alexa, sekarang ini nu online menduduki rating pertama web-web Islam yang paling banyak dikunjungi. NU online berhasil menggeser Portal Islam, Era Muslim dan Rumaisho, web-web penyebar hoaks dan ujaran kebencian, yang selama ini paling tinggi dikunjungi (Azca, 2019).

Paham radikalisme, menurut sejumlah riset, merupakan satu tingkat dan menjadi embrio lahirnya terorisme. Hendropriyono (2009) menyebut paham radikalisme itu sebagai fundamentalisme ekstrimis. Tumbuh subur dan berkembangnya paham ini tentu menjadi keresahan karena akan merusak tatanan sosial masyarakat dan bangsa.

Radikalisme merupakan suatu sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekeraan (violence) dan aksi-aksi yang ekstrem. Ada beberapa ciri yang bisa dikenali dari sikap dan paham radikal. 1) intoleran (tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain), 2) fanatik (selalu merasa benar sendiri; menganggap orang lain salah), 3) eksklusif (membedakan diri dari umat Islam umumnya) dan 4) revolusioner (cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan) (Sabirin, 2004).

Memiliki sikap dan pemahaman radikal memang tidak otomatis menjadikan seseorang terjerumus ke dalam paham dan aksi terorisme. Ada faktor lain yang memotivasi seseorang bergabung dalam jaringan terorisme.

Menurut Hendropriyono (2009), motivasi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, Faktor domestik, yakni kondisi dalam negeri yang semisal kemiskinan, ketidakadilan atau merasa Kecewa dengan pemerintah. Kedua, faktor internasional, yakni pengaruh lingkungan luar negeri yang memberikan daya dorong tumbuhnya sentiment keagamaan seperti ketidakadilan global, politik luar negeri yg arogan, dan imperialisme modern negara adidaya. Ketiga, faktor kultural yang sangat terkait dengan pemahaman keagamaan yang dangkal dan penafsiran kitab suci yang sempit dan leksikal (harfiyah).

Sikap dan pemahaman yang radikal dan dimotivasi oleh berbagai faktor di atas seringkali menjadikan seseorang memilih untuk bergabung dalam aksi dan jaringan terorisme. Karena itu, usaha menghalau laju gerak radikalisme sebenarnya merupakan tanggung jawab semua pihak. Di antara kita, apalagi aktif di media sosial, perlu terlibat dalam kerja-kerja swadaya ini, demi kemaslahan bersama. Kita, selain mendukung beberapa media online yang selama ini berkontribusi nyata dalam melakukan kontra-narasi terhadap paham radikalisme, juga perlu melakukannya secara personal, semampu yang kita bisa. Semoga.

Facebook Comments