Setiap memasuki akhir September dan awal bulan oktober, ruang virtual kita rutin disuguhi dengan berbagai macam provokasi seputar isu kebangkitan PKI. Isu tentang PKI menjadi “hantu tahunan” suatu kelompok untuk menghegemoni konstruksi nalar massa. Apalagi di tengah banyaknya masyarakat yang dominan dalam mengkonsumsi internet, khususnya media sosial yang dijadikan laboratorium pengetahuan untuk mencari informasi alternatif. Saat ini, media sosial telah menjadi lahan subur dalam mengarahkan wacana/persepsi publik.
Ternyata, tidak isu tentang PKI yang muncul di ruang publik virtual kita. Isu tentang Khilafah juga menimbulkan kegaduhan yang tak kalah hebatnya. Isu Khilafah beberapa hari belakangan ini telah menempati urutan tertinggi. Hastag #MariPerjuangkaKhilafah, #KhilafahAjaranIslam, #Khilafahdinusantara dan semacmnya telah menempati setidaknya posisi tiga trending topicsdi media sosial Twitter. Isu-isu tersebut di atas bukan hanya diperdebatkan, tetapi saling dibenturkan antara keduanya.
Dalam prakteknya, media sosial bukan hanya menampilkan konten personal seorang netizen, atau media untuk berjualan, tetapi media sosial telah menimbulkan dampak buruk yakni maraknya penyebaran hoaks dan ujaran kebencian. Provokasi melalui ujaran kebencian inilah yang banyak mempengaruhi emosi massa, sehingga massa kemudian ikut serta menyebarkan narasi provokasi melalui medianya sendiri, baik di Facebook, Instagram, WA Group dan semacamnya. Pada gilirannya, kita sangat mudah menemukan konten yang “diteruskan” misalnya di berbagai group WA keluarga, organisasi, dan semacamnya, yang kemudian menimbulkan perpecahan di dalamnya.
Sementara, ujaran kebencian akan menjadi provokasi yang tidak disadari oleh netizen. Padahal ujaran kebencian sendiri merupakan penghinaan berbasis identitas, terlepas dari itu bagaimana seseorang menggunakannya atau bagaimana hal itu mempengaruhi targetnya (Simpson, 2013).
Banjir kebencian yang marak akhir-akhir ini merupakan provokasi berbasis identitas yang berupaya mengalihkan isu dari yang senyatanya penting untuk diperjuangkan. Misalnya, diketoknya palu Omnibus Law salah satunya, ia menjadi polemik lain di tengah maraknya provokasi berbasis identitas. Meminjam bahasa Nancy Fraser, seorang pemikir teori kritis terkemuka, media sosial saat ini terlalu sibuk membahas “identitas” tanpa mengindahkan persoalan “kelas” dalam konteks masyarakat. Masyarakat terlalu sibuk berdebat tentang isu Khilafah dan PKI (sebagai identitas), tetapi kemudian tidak mengindahkan persoalan kelas ekonomi politik yang terjadi di Indonesia.
Para buzzer politik telah memanfaatkan momentum isu-isu ilutif seperti PKI misalnya, agar dapat membuat masyarakat tidak sadar akan apa yang senyatanya terjadi, dalam bahasanya Antonio Gramsci menghemoni masyarakat akan terus menjalankan ritusnya tanpa sadar ada bahaya kekuasaan di luar dirinya. Sejatinya kebencian yang menggema dalam kantung-kantung percakapan (echo Chamber) di medsos tersebut dapat menjelaskan bagaimana hoaks muncul dan diterima sebagai kebenaran yang seolah-olah tampak benar. Artinya, hoaks muncul dan tumbuh sebagai suatu proses dalam spiral kebencian, (Iswandi, 2019).
Politik identitas seringkali dimanfaatkan untuk mempengaruhi dan menguasai emosi masyarakat. Karena pun masyarakat faktanya cukup sensitif terhadap identitas, prinsip universalisme/persatuan dan keberagaman bagi sebagian kalangan masih setengah hati diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dan dominasi identitas “mayoritas” masih santer terlihat dalam ritus sehari-hari.
Untuk itu, provokasi harus kita waspadai bersama, karena ia merupakan penyakit sosial melalui narasi politis untuk memanfaatkan situasi agar sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Isu Politik identitas selalu dinyalakan sumbunya oleh sebagian kelompok, isu politik identitas adalah isu lama yang telah menyejarah dan selalu dimanfaatkan untuk menimbulkan perpecahan di masyarakat. Salah satu upaya meretas politik identitas ini adalah melalui penguatan literasi di masyarakat. Salah satunya literasi media.
Kedepannya, masyarakat harus cerdas bermedia. Media sosial sebagai media komunikasi dan konsumsi masyarakat harus menjadi medan edukatif, bukan medan yang menimbulkan anarki akibat minimnya literasi. Masyarakat harus cerdas dalam memilah dan memilih informasi yang bertebaran di internet (media sosial), karena biasanya provokasi itu kemudian bermunculan karena minimnya penyerapan infromasi yang berimbang oleh sebagian masyarakat.
Akhirnya, mari waspadai provokasi dan perpecahan. Selamatkan masyarakat Indonesia dari kekurangan gizi literasi media yang berimbang.