Minggu, 18 Mei, 2025
Informasi Damai

Artikel Edukasi Damai

Menguak secara Jujur Fakta-fakta Kelam Sejarah Khilafah dalam Islam
Narasi

Menguak secara Jujur Fakta-fakta Kelam Sejarah Khilafah dalam Islam

Kejayaan Islam pernah diraih pada masa Dinasti Abbasiyah adalah fakta. Sistem khilafah yang dipakai dengan ...
Read more 0
Menyoal Perjuangan Nasionalisme Palestina yang Sering Dijadikan Propaganda Khilafah
Narasi

Menyoal Perjuangan Nasionalisme Palestina yang Sering Dijadikan Propaganda Khilafah

Berbicara Palestina mungkin yang tergambar dalam banyak sebagian masyarakat sebagai negara Islam yang hanya dihuni ...
Read more 0
Dalam sembutan pada Pembukaan Munas XVII Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), 21 November yang lalu, Presiden Jokowi mengingatkan dan menghimbau pada para pengusaha dan elite politik agar tidak bermain dengan politik identitas. Tepatnya ia mengatakan agar tidak membawa politik SARA dan politisasi agama. Tentu saja sangat berasalan mengingat kondisi bangsa yang baru pulih dari pandemi dan siap menghadapi kontestasi politik yang menegangkan membutuhkan nuansa yang kondusif. Kontestasi politik bukan menghalalkan segala cara apalagi bermain-main dengan politisasi agama. Politik identitas merupakan pemanfaatan manusia secara politis yang mengutamakan kepentingan sebuah kelompok karena adanya persamaan identitas yang mencakup ras, etnis dan unsur agama. Eksploitasi terhadap perbedaan itu untuk menumbuhkan emosi persatuan tetapi satu sisi untuk memecah belah kelompok sosial yang lain. Dalam prakteknya, politik identitas biasanya paling banyak muncul di masa-masa kontestasi politik seperti pemilihan kepala daerah atau bahkan negara. Tragedi kemanusiaan dalam sejarah muncul karena permainan politik identitas yang bisa memberangus nyawa manusia. Adolf Hitler, misalnya, mampu meyakinkan orang-orang Jerman bahwa sumber krisis ekonomi dan kekalahan perang dunia adalah karena pengaruh orang-orang Yahudi. Banyak janji manis yang ia lontarkan untuk para pendukungnya kala itu. Hitler menawarkan diri untuk melenyapkan orang Yahudi ketika ia nantinya berkuasa. Di tahun 1932, Hitlerpun mampu memenangkan pemilu. Kemenangan tersebut mengakibatkan tragedi yang terjadi di Jerman pada saat Nazi berkuasa. Enam juta orang Yahudi menjadi korban kekejaman politik identitas dan itu menjadi salah satu peristiwa terburuk yang tercatat dalam sejarah dunia. Alasan inilah menjadikan politik identitas diyakini sebagai cara berpolitik yang memiliki potensi radikal karena datang langsung dari identitas diri sendiri sebagai upaya untuk mengakhiri penindasan dengan cara pembalasan yang serupa atau bahkan lebih. Di Indonesia sendiri telah banyak dijumpai politisi yang cenderung mengarah pada politik identitas. Agama Islam di Indonesia seringkali dijadikan sebagai alat politik belaka saat pemilu tiba. Alasannya, agama Islam memiliki posisi yang strategis karena memiliki sejarah panjang dalam politik Indonesia, selain itu mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Politik identitas digunakan untuk mendapatkan dukungan politik. Kita masih sangat ingat dalam pemilihan gubernur Jakarta 2017. Banyak sekali kejadian yang sejatinya menciderai nilai-nilai kemanusiaan gara-gara politik identitas. Agama dieksploitasi sedemikian rupa untuk membelah masyarakat. Masih ingat bagaimana sekelompok orang tidak mau menshalatkan saudara seiman pun karena perbedaan pilihan politik? Pertentangan politik akan semakin tajam bahkan meningkat menjadi pertarungan yang sacral. Masih ingatkah pula Pilpres 2019 di mana persaiangan politik dimaknai perang dengan doa akbar kemenangan yang dilantunkan layaknya sebuah peperangan. Keras dan sporadisnya politik identitas mampu membuat masyarakat tersegregasi dan terbelah menjadi dua kubu yang berlawanan. Wilayah agama digadang sebagai lahan beroperasi politik identitas. Dalam konteks Indonesia sendiri, politik identitas terkadang dilakukan oleh kelompok mainstream, yakni kelompok agama mayoritas dengan kaum minoritas. Kemudian disusul dengan munculnya gerakan-gerakan radikal atau semi radikal yang mengatasnamakan agama tersebut. Dari sini kita bisa simpulkan bahwa, politik identitas merupakan sebuah cara berpolitik yang didasarkan kepada kesamaan dan kesamaan identitas. Dan di Indonesia politik identitas di kerucutkan menjadi dua kelompok, yakni nasionalis dan agamis yang selalu dibenturk-benturkan. Corak membenturkan antara agama dan nasionalisme sejatinya adalah cara berpikir kelompok radikal. Apabila politik identitas ini terus berjalan, maka akan menimbulkan dampak yang cukup signifikan bagi bangsa dan negara kita. Politik identitas tidak hanya akan memberikan ruang pertentangan menuju proses demokrasi yang tidak sehat, tetapi menjadi lahan subur pandangan radikalisme di tengah masyarakat. Jika negara tidak mampu mengelolanya dengan tepat dan bijak, politik identitas akan mampu menghancurkan stabilitas dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena pertentangan tersebut tidak akan memiliki jalan tengah dan justru tumbuh menjadi sumbu yang siap meledakkan bangsa. Bukan saja kepentingan politik yang dipertaruhkan di sini, namun juga kepentingan masyarakat luas. Kita tahu bahwa Indonesia merupakan sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras, serta budaya. Indonesia juga banyak menyimpan berbagai sumber daya alam dan juga sumber daya manusia yang melimpah, dengan penduduk yang banyak dan juga memiliki latar belakang budaya, agama, serta suku yang berbeda-beda. Jadi apabila logika politik identitas adalah untuk membagi kita dalam sebuah kelompok-kelompok akan menjadi ancaman besar terhadap negara yang majemuk ini. Karena itulah, politik identitas merupakan salah satu ancaman besar bagi negara ini. Daripada menuju politik identitas, kita harus bergerak menuju politik solidaritas.
Faktual

Jokowi Ingatkan Politik Identitas : Apa Bahayanya ?

Dalam sembutan pada Pembukaan Munas XVII Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), 21 November yang lalu, ...
Read more 0
Memahami Bualan Khilafah sebagai Solusi Segala Persoalan
Narasi

Memahami Bualan Khilafah sebagai Solusi Segala Persoalan

Tidak hanya isu besar seperti resesi, kenaikan BBM, pandemi, bahkan persoalan rumah tangga pun seakan ...
Read more 0
Photo 2022 12 01 14.16.17
Kebangsaan

Inilah Gerbong yang Kerap Menjual Isu Islamofobia di Indonesia

Sungguh ironis, negara yang mayoritas muslim, bahkan terbanyak sedunia, justru seringkali dihampiri dengan isu yang ...
Read more 0
Resesi 2023, Kepanikan Massa, dan Utopia Khilafah
Narasi

Resesi 2023, Kepanikan Massa, dan Utopia Khilafah

Potensi resesi ekonomi di tahun 2023 dieksploitasi sedemikian rupa oleh kelompok radikal untuk menggaungkan pendirian ...
Read more 0
Perhelatan G20 yang diadakan di Bali menuai kesuksesan luar biasa. Pujian tidak hanya datang dari dalam negeri tetai juga dari luar negeri, bahkan para pemimpin negara. Indonesia tidak hanya sukses menggelar denga naman dan lancar, tetapi secara subtansi dan tujuan bisa tercapai. Namun, di tengah hingar binger kesuksesan itu selalu ada kata nyinyir yang selalu muncul. Salah satu yang sempat viral adalah perihal hinaan yang dilakukan oleh netizen terhadap Ibu Negara, Iriani Jokowi. Sontak masyarakat dibuat geram dengan hinaan terhadap penampilan ibu negara tersebut. Ternyata hinaan itu terus berlanjut meskipun satu pelaku telah meminta maaf. Ditemukan akun lain dengan nada hinaan dengan topik yang berbeda-beda. Kenapa hal ini muncul? Sebuah candaan? Atau kritik? Atau hanya keusilan? Sejatinya masyarakat sudah sangat belajar dari berbagai kasus ketidakcerdasan bermedia sosial yang berujung penjara. Jeratan UU ITE akibat ceroboh dalam bermedia sosial telah banyak memakan korban. Tetapi mengapa arus hinaan dan cacian di media sosial kerap muncul bahkan kepada sosok seperti Presiden dan Istri Presiden sekalipun. Apakah kurang literasi? Jika mengatakan bahwa kurangnya literasi sebagai akar dari kecerobohan orang dalam menggunakan media sosial rasanya kurang tepat. Masyarakat tentu memiliki literasi yang bagus dalam persoalan teknologi dan informasi jika sudah belajar dari berbagai kasus yang ada. Nampaknya, bukan sekedar kurangnya literasi, tetapi sejatinya yang menjadi salah satu penyebab seseorang jatuh dalam ujaran kebencian, provokasi dan hasutan di media sosial adalah karena belum mampu bebaskan diri dari narasi kebencian. Ketidaksukaan dalam konteks yang berbeda pandangan politik, agama, etnis dan budaya memang kerap melahirkan rasa benci. Rasa benci inilah yang mendorong seseorang tidak memiliki prestasi, tetapi suka menebar sensasi. Apa yang disampaikan bukan berdasarkan profesi, tetapi murni kebencian dan ketidaksukaan terhadap seseorang berdasarkan pilihan sadar. Karena itulah, narasi kebencian ini menjadi salah satu parameter penyakit di media sosial yang disebut dengan ujaran kebencian (hate speech). Ujaran kebencian menjadi salah satu momok yang banyak menjerat mereka yang berpendidikan sekalipun atau pun mereka yang sudah pakar dalam bidang teknologi dan informasi sekalipun. Berbagai kasus ini menjadikan diri kita mestinya belajar tentang bagaimana bersikap cerdas dan bijak dalam bermedia sosial. Cerdas berkaitan dengan kecakapan kita dalam mengetahui aturan, norma dan etika bermedia sosial. Sementara, bijak merupakan sikap kematangan dalam diri untuk tidak mengumbar informasi yang menyesatkan diri atau orang lain atau memangkas kebencian terhadap yang berbeda. Varian Narasi Kebencian yang Berujung Jeruji Besi Sejatinya, narasi kebencian itu adalah pangkal pokok yang menjadikan seseorang kehilangan akal sehat. Tidak peduli tingkat intelektual yang dimiliki atau titel akademis yang dimiliki, ketika terinfeksi virus kebencian, logika menjadi mati. Ketika logika mati, narasi pun tidak bisa dikontrol yang sepenuhnya menjadi pengatur adalah emosi. Namun, memang tidak bisa dipungkiri narasi kebencian itu memiliki banyak latarbelakang motif. Pertama, ada narasi kebencian yang secara konsisten dilancarkan seputar kebencian terhadap negara dan pemerintah. Dalam kasus ini, berbeda dengan konteks pandangan kritis. Narasi yang dikeluarkan tidak berada pada tataran logis, tetapi apapun sistem negara dan kebijakannya adalah salah. Berlindung dalam tameng demokrasi dan keterbukaan kritik, narasi kebencian mudah terlihat dari beberapa tokoh yang disambut dengan riang gembira oleh para supporter militannya. Yang terjerat hukum kadang bukan tokohnya tetapi para pendukung yang sejatinya tidak bisa apa-apa dan tidak mendapatkan apa-apa. Mereka martir dari korban narasi kebencian. Kedua, narasi kebencian yang secara konsisten mengalir dalam menyerang pandangan keagamaan dan aliran yang berbeda. Dalam kasus ini, tidak hanya monopoli satu agama tetapi telah dilakukan oleh oknum beragama dari masing-masing agama. Menyerang dan mencaci keyakinan lain seolah serangan seperti itu akan menebalkan imannya sendiri. Ketiga, ada pula kebencian yang secara konsisten dan mulai menyeruak karena perbedaan pandangan politik. Bekas kontestasi politik terus dirawat sehingga polarisasi itu tidak kunjung padam. Saling serang berdasarkan kebencian mudah menyulut emosi masyarakat dan para pendukungnya. Lagi-lagi bukan elite politiknya yang bermasalah dengan hukum tetapi para martirnya yang terkena kasus hukum. Keempat, narasi kebencian yang melibatkan irisan perkawinan antara perbedaan politik dan perbedaan keyakinan. Narasi keempat ini memang populer disebut dengan narasi politik identitas yang banyak memakan tumbal masyarakat bawah. Kolaborasi kepentingan politik dengan menjual identitas keagamaan mudah laku dan menyulut emosi netizen. Karena itulah, berhati-hati dalam bermedia sosial bukan sekedar membutuhkan kemampuan literasi, tetapi juga menjaga diri dari narasi kebencian. Semua bermula karena kebencian sehingga memunculkan narasi yang tanpa kontrol. Jika ingin selamat di media sosial, selamatkan otak dan pikiran kita dari kebencian.
Faktual

Hinaan terhadap Ibu Negara dan Problem Arus Kebencian di Media Sosial

Perhelatan G20 yang diadakan di Bali menuai kesuksesan luar biasa. Pujian tidak hanya datang dari ...
Read more 0
Islam Melarang Mengejek dan Memaki Sesembahan Orang Lain
Faktual

Islam Melarang Mengejek dan Memaki Sesembahan Orang Lain

Baru-baru ini viral pernyataan selebritis dan host Daniel Mananta soal ada roh jahat di salib ...
Read more 0
Paradok Propaganda dan Sisi Kelam Khilafah sebagai Solusi Tunggal
Narasi

Paradok Propaganda dan Sisi Kelam Khilafah sebagai Solusi Tunggal

Telah maklum, adanya negara dalam Islam bukan tujuan (ghayah) melainkan hanya sebagai sarana (wasilah). Karena ...
Read more 0
Narasi mengkafirkan negara dan mengharamkan nasionalisme adalah satu paket indoktrinasi kelompok radikal terorisme kepada anggotanya. Tidak ada doktrin yang lebih kuat yang membuat seseorang terpedaya kecuali mengatakan negeri ini adalah wilayah perang dan boleh melakukan peperangan di atasnya. Merenggut nyawa siapapun di negeri kafir adalah absah, terutama kepada aparat negara. Doktrin ini dipegang secara militan terutama bagi mereka yang masih awam dan baru mengenal agama. Doktrin mudah masuk kepada mereka yang ingin menikmati surga secara instan tanpa pengetahuan yang memadai. Lahirlah generasi muda yang mudah terpedaya dengan hasutan dalil yang dieksploitasi oleh kelompok radikal. Siapa korbannya? Kita misalnya belajar dari salah satu wasiat pelaku penyerangan Mabes Polri (31/3/2021) mengungkapkan dalam surat wasiatnya agar orang tuanya dan keluarga tidak mengikuti kegiatan pemilu. Karena orang-orang yang terpilih itu akan membuat hukum tandingan Allah bersumber Alquran-Assunah. “Demokrasi, Pancasila, UUD, pemilu, berasal dari ajaran kafir yang jelas musyrik. Zakiah nasehatkan kepada mama dan keluarga agar semuanya selamat dari fitnah dunia yaitu demokrasi, pemilu dan tidak murtad tanpa sadar.” Begitulah bunyinya. Dari mana lahirnya doktrin seperti ini? Argumen ZA untuk mengkafirkan negara, Pancasila dan sistemnya sejatinya bukanlah hal baru. Beberapa mantan kelompok radikal terorisme mengatakan doktrin Pancasila sebagai kafir dan thagut merupakan keyakinan yang mereka miliki. Mereka hanya mematuhi hukum agama sebagai dasar sebuah negara. Dalam sejarah Indonesia, gerakan untuk menolak Pancasila dan ide mendirikan negara berdasarkan syariat agama sudah ada sejak Republik ini didirikan. Gerakan ideologis hingga percobaan makar dan aksi teror mewarnai perjuangan kelompok yang dikenal dengan sebutan Negara Islam Indonesia (NII). Ideologi ini tidak pernah mati dan terus menjadi cita-cita kelompok. Pandangan yang dimiliki oleh gerakan NII bukan pula sesuatu yang bersifat lokal. Gerakan islamisme sejatinya telah tumbuh di beberapa negara Timur Tengah khususnya Mesir yang mendasarkan ideologi untuk perjuangan Islam sebagai dasar negara. Sayyid Quthb aktivis Ikhwanul Muslimin (IM) berambisi untuk menerapkan Islam secara kaffah dan menganggap seluruh masyarakat muslim berada dalam fase jahiliyyah. Artinya, penolakan terhadap sistem yang ada sebagai sebuah konsensus dan pengkafiran terhadap dasar negara bukan hal baru. Dalam satu titik ideologi ini mampu membawa gerakan kekerasan yang dalam beberapa kasus mengilhami aksi terorisme. Jalan kekerasan adalah pilihan sebagai sarana melakukan perubahan yang fundamental untuk mengganti secara radikal dan fundamental sebuah tatanan negara. Apakah gerakan ini masih ada di Indonesia? Penolakan dan pengkafiran Pancasila dan keinginan mendirikan negara berdasarkan syariat agama masih menjadi gerakan bawah tanah dengan pendidikan dan pengkaderan yang tersembunyi. Jika melihat hasil survey tidak sedikit pelajar dan mahasiswa yang menolak Pancasila dan memilih agama sebagai ideologi negara mengindikasikan kaderisasi dan rekrutmen itu memanfaatkan lembaga pendidikan. Sudah berapa mereka yang terpapar? Survei Mata Air Fondation dan Alvara Research Center pada tahun 2017 yang lalu menyebutkan bahwa ada 18,6 persen pelajar memilih ideologi Islam sebagai ideologi bernegara dibanding Pancasila. Sedangkan di kalangan mahasiswa sebanyak 16,8 persen memilih ideologi Islam dibanding Pancasila sebagai ideologi bernegara. Survey yang dilakukan terhadap 1.800 mahasiswa di 25 perguruan tinggi unggulan di Indonesia, serta 2.400 pelajar SMAN unggulan di Pulau Jawa dan Kota-kota besar di Indonesia ini menunjukkan betapa generasi muda adalah bagian penting dalam kaderisasi penolakan Pancasila dan penumbuhan ideologi. Jika generasi muda yang disasar tidak mengherankan jika pelaku teror pun sudah mengalami regenerasi dari tua ke muda. Anak muda seperti ZA yang menganggap demokrasi dan Pancasila sebagai ajaran kafir adalah contoh kecil yang mungkin masih banyak dari mereka saat ini tidak sadar dan hanya menunggu paparan doktrin yang meningkat menjadi anjuran kekerasan. Karena itulah, penting bagi generasi muda untuk mewaspadai. Jika ada gerakan baik tersembunyi maupun terbuka yang mengajak kalian masuk dalam komunitas dengan kedok aktifitas apapun dengan doktrin mengkafirkan sistem yang ada, mengharamkan nasionalisme dan sistem yang ada, yakinlah itu bagian awal indoktrinasi untuk direkrut dalam jaringan radikal terorisme. Sadari sejak dini atau anda menyesal harus berpisah dengan keluarga dan orang yang dicintai. Pengalaman dan fakta membuktikan itu!
Kebangsaan

Memahami Narasi Kelompok Radikal yang Kerap Mengkafirkan Sistem Negara

Narasi mengkafirkan negara dan mengharamkan nasionalisme adalah satu paket indoktrinasi kelompok radikal terorisme kepada anggotanya. ...
Read more 0
Piala Dunia Qatar 2022 : Memperkenalkan Islam Rahmat dan Dialog Antar Budaya
Faktual

Piala Dunia Qatar 2022 : Memperkenalkan Islam Rahmat dan Dialog Antar Budaya

Saya begitu tertarik dengan Opening Ceremony World Cup Qatar 2022. Di mana, Morgan Freeman membangun ...
Read more 0
Belajar dari Febri Ramdani, Perihal 3 Bukti Khilafah Bukanlah Solusi
Pustaka

Belajar dari Febri Ramdani, Perihal 3 Bukti Khilafah Bukanlah Solusi

Judul Buku : 300 Hari di Bumi Syam: Perjalanan Seorang Mantan Pengikut ISIS Penulis : ...
Read more 0
Waspada Kaum Khilafaher Menunggangi Isu Resesi Ekonomi 2023
Narasi

Waspada Kaum Khilafaher Menunggangi Isu Resesi Ekonomi 2023

Gelombang resesi ekonomi global melanda sejumlah kawasan. Mulai dari Amerika Serikat sampai Eropa. Sejumlah negara ...
Read more 0
Propaganda Khilafah di Tengah Ancaman Resesi; Solusi atau Ancaman Anarki?
Narasi

Propaganda Khilafah di Tengah Ancaman Resesi; Solusi atau Ancaman Anarki?

Tahun 2023 diprediksi sebagai tahun yang berat terutama di bidang ekonomi. Pembatasan sosial akibat pandemi ...
Read more 0
Kenapa Harus Takut dengan Bertoleransi?
Kebangsaan

Kenapa Harus Takut dengan Bertoleransi?

Kenapa takut dan alergi dengan istilah toleransi? Toleransi adalah sikap dengan sadar menyadari keragaman dan ...
Read more 0