Kamis, 6 November, 2025
Informasi Damai

Artikel Edukasi Damai

Awas Propaganda Khilafah: Bencana Tidak Ada Hubungannya Dengan Khilafah
Narasi

Awas Propaganda Khilafah: Bencana Tidak Ada Hubungannya Dengan Khilafah

Gempa dengan kekuatan magnitudo 5,3 mengguncang Garut pada Sabtu 12 November 2022. Gempa tersebut setidaknya ...
Read more 0
Mencopot label Gereja di Tenda Bantuan Gempa Bumi Cianjur demi Kehormatan Agama?
Faktual

Mencopot label Gereja di Tenda Bantuan Gempa Bumi Cianjur demi Kehormatan Agama?

Dengan sikap angkuh beberapa oknum mencopot label Gereja Reformed di tenda bantuan gempa bumi Cianjur. ...
Read more 0
Menjawab Narasi: Kenapa Takut dengan Khilafah? Bukankah Khilafah Ajaran Islam ?
Keagamaan

Menjawab Narasi: Kenapa Takut dengan Khilafah? Bukankah Khilafah Ajaran Islam ?

Para pembela khilafah akan mengatakan dengan ringan, “kenapa takut dengan khilafah? Bukankah khilafah ajaran Islam ...
Read more 0
Hati-hati! Kaum Radikal Menebar Teror Mental Melalui Bencana Alam
Narasi

Hati-hati! Kaum Radikal Menebar Teror Mental Melalui Bencana Alam

Pada mulanya kehadiran agama adalah untuk menuntun manusia menuju jalan yang benar, meraih kedamaian dunia ...
Read more 0
Gempa Cianjur dan Narasi Bualan
Narasi

Gempa Cianjur dan Narasi Bualan “Khilafah” yang Menodai Kemanusiaan

Gempa bumi berkekuatan 5,6 Magnitudo mengguncang Cianjur, hari Senin 21 November 2022. Disamping menelan korban ...
Read more 0
Bencana Terbesar NKRI Bukan Gempa, Namun Gerakan Politisasi Agama
Keagamaan

Bencana Terbesar NKRI Bukan Gempa, Namun Gerakan Politisasi Agama

Sungguh, rasa empati dan kemanusiaan pengusung khilafah telah hilang dengan menuding korban bencana alam sebagai ...
Read more 0
Khilafah dalam Kerangka Rosing Rasa
Narasi

Khilafah dalam Kerangka Rosing Rasa

Khilafah, seperti halnya tetk-bengek kebudayaan Islam yang tak mutlak dapat dilepaskan dari wadah ke-“Arab”-annya, merupakan ...
Read more 0
Logika Sesat Khilafah sebagai Solusi Masalah Kebangsaan
Narasi

Logika Sesat Khilafah sebagai Solusi Masalah Kebangsaan

Dalam setiap masalah kebangsaan dan global, pengusung khilafah selalu tampil mengemukakan pendapat: “khilafah adalah jalan ...
Read more 0
Beberapa waktu yang lalu kita dikejutkan dengan penangkapan dua oknum aparat polisi di Lampung oleh Densus 88. Pendalaman dan penyidikan masih terus ditindaklanjuti. Apa yang mengagetkan bahwa aparat penegak hukum pun tidak imun dari paham dan jaringan terorisme. Persoalan ini memang bukan kali pertama. Salah satu mantan teroris yang kita kenal dari aparat kepolisian, Sufyan Tsauri, adalah bagian dari proses radikalisasi yang terjadi di tubuh institusi ini. Sebelumnya juga telah banyak berita dan cerita aparat kepolisian yang terpapar paham radikal. Tidak hanya di Polri, TNI dan ASN pun telah dimasukin kelompok ini. Apa yang perlu dipahami bahwa radikalisme sejatinya tidak melulu tentang tindak kekerasan, namun juga mengarah kepada sikap intoleransi. Radikalisme merupakan fase awal yang menyebabkan seseorang bertindak kekerasan. Biasanya pemahaman ini dimulai dengan sikap intoleran yang mulai menggugat berbagai keragaman yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai sebuah kekayaan bangsa. Virus intoleransi dan radikal memang lebih sangat berbahaya ketika merasuki lingkungan kerja pemerintahan. Mereka yang dididik dengan wawasan kebangsaan dan bekerja untuk pemerintahan saja masih mudah terpengaruh paham radikal. Bahkan tidak hanya pemikiran, tetapi ada pula yang sudah bergabung dalam organisasi dan jaringan yang terlarang. Pemerintah memang telah mengantisipasi dengan menerbitkan Surat Edaran Bersama Menteri PANRB dan Kepala BKN Nomor 2 Tahun 2001 No. 2/SE/I/2021 yang diterbitkan pada 25 Januari 2021. Yang berbunyi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), Tjahjo Kumolo, melarang Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Aparatur Sipil Negara (ASN) berhubungan maupun mendukung seluruh organisasi yang dilarang pemerintah seperti Partai Komunis Indonesia (PKI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Jamaah Ansharut Daulah (JAD), dan Front Pembela Islam (FPI). Tindaklanjutnya, Kemenpan RB menyebutkan telah melakukan langkah pemecatan sekitar 30 sampai 40 ASN tiap bulan karena berbagai pelanggaran, di antaranya tersangkut radikalisme maupun yang tergabung dalam organisasi terlarang dan tidak mengakui Pancasila dan UUD 1945. Memang tidak mengherankan karena menurut hasil penelitian The Habibie Center, seperti yang disebut Direktur Program dan Riset Muhammad Hasan Ansori, pada 2017 menunjukkan setidaknya 30%-40% ASN di Indonesia telah terpapar paham radikal. Memang banyak hal yang perlu dibenahi dalam membentengi wawasan kebangsaan para aparat negara. Bayangkan mereka akan menjadi duri dalam sekam yang memanfaatkan anggaran negara sementara mereka bisa memilih tergabung dalam organisasi yang intoleran, menolak Pancasila, dan mendirikan khilafah atau negara Islam. Tidak sedikitnya aparat negara yang memilih untuk bergabung dalam organisasi tersebut harus mendapatkan perhatian. Pemerintah memang perlu sangat tegas dan tidak boleh main-main dalam urusan ideologi di lingkungannya. Tidak toleransi bagi mereka yang memilih mengabdi buat negeri untuk memiliki pandangan yang bertentangan dengan NKRI. Pembinaan ideologi sejatinya tidak hanya dimarakkan kepada masyarakat umum, tetapi aparat pemerintah sejatinya garda depan untuk dilakukan pembinaan yang masif. Namun, persoalannya pemerintah tidak boleh hanya fokus pada sangsi. Semakin banyak yang menerima sangsi bahkan pemecatan sejatinya bukan suatu keberhasilan, tetapi justru menjadi kemunduran. Fokus utama yang dilakukan adalah mencegah dan menyembuhkan. Pemerintah harus mempunyai strategis dari hulu hingga hilir yang bisa mencegah dan mengantisipasi radikalisasi di lingkungan aparat negara. Pemecatan sejatinya langkah terakhir jika memang sudah jelas terbukti memiliki afiliasi dengan organisasi terlarang. Tetapi langkah pemecatan juga harus dibarengi dengan pendampingan. Jika tidak timbulnya balas dendam dan benci terhadap negara akan menimbulkan persoalan. Dan bukan tidak mungkin, ini akan menjadi alasan kuat untuk terjerat dalam jaringan radikal terorisme. Pemerintah harus mempunyai formula tepat dalam menanggulangi radikalisasi di kalangan aparat negara. Bukan sekedar sangsi, tetapi ikhtiar pembinaan ideologi mutlak dilakukan. Setelah mereka berikrar dan sumpah setia terhadap NKRI, persoalan selanjutnya adalah menjaga wawasan kebangsaan ini tetap teguh. Jika tidak, mereka hanya menjadi duri dalam daging. Keberadaannya bisa menjadi benalu dan virus yang bisa mematikan. Tidak besar tetapi dapat menggangu roda perjalanan.
Faktual

Mencegah Radikalisasi di Lingkungan Aparat Negara

Beberapa waktu yang lalu kita dikejutkan dengan penangkapan dua oknum aparat polisi di Lampung oleh ...
Read more 0
Kontestasi Politik 2024 dan Bahaya Politisasi Rumah Ibadah
Faktual

Kontestasi Politik 2024 dan Bahaya Politisasi Rumah Ibadah

Nuansa politik 2024 mulai kencang meski perhelatannya masih dua tahun lagi. Beberapa tokoh mulai turun ...
Read more 0
Menguak secara Jujur Fakta-fakta Kelam Sejarah Khilafah dalam Islam
Narasi

Menguak secara Jujur Fakta-fakta Kelam Sejarah Khilafah dalam Islam

Kejayaan Islam pernah diraih pada masa Dinasti Abbasiyah adalah fakta. Sistem khilafah yang dipakai dengan ...
Read more 0
Menyoal Perjuangan Nasionalisme Palestina yang Sering Dijadikan Propaganda Khilafah
Narasi

Menyoal Perjuangan Nasionalisme Palestina yang Sering Dijadikan Propaganda Khilafah

Berbicara Palestina mungkin yang tergambar dalam banyak sebagian masyarakat sebagai negara Islam yang hanya dihuni ...
Read more 0
Dalam sembutan pada Pembukaan Munas XVII Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), 21 November yang lalu, Presiden Jokowi mengingatkan dan menghimbau pada para pengusaha dan elite politik agar tidak bermain dengan politik identitas. Tepatnya ia mengatakan agar tidak membawa politik SARA dan politisasi agama. Tentu saja sangat berasalan mengingat kondisi bangsa yang baru pulih dari pandemi dan siap menghadapi kontestasi politik yang menegangkan membutuhkan nuansa yang kondusif. Kontestasi politik bukan menghalalkan segala cara apalagi bermain-main dengan politisasi agama. Politik identitas merupakan pemanfaatan manusia secara politis yang mengutamakan kepentingan sebuah kelompok karena adanya persamaan identitas yang mencakup ras, etnis dan unsur agama. Eksploitasi terhadap perbedaan itu untuk menumbuhkan emosi persatuan tetapi satu sisi untuk memecah belah kelompok sosial yang lain. Dalam prakteknya, politik identitas biasanya paling banyak muncul di masa-masa kontestasi politik seperti pemilihan kepala daerah atau bahkan negara. Tragedi kemanusiaan dalam sejarah muncul karena permainan politik identitas yang bisa memberangus nyawa manusia. Adolf Hitler, misalnya, mampu meyakinkan orang-orang Jerman bahwa sumber krisis ekonomi dan kekalahan perang dunia adalah karena pengaruh orang-orang Yahudi. Banyak janji manis yang ia lontarkan untuk para pendukungnya kala itu. Hitler menawarkan diri untuk melenyapkan orang Yahudi ketika ia nantinya berkuasa. Di tahun 1932, Hitlerpun mampu memenangkan pemilu. Kemenangan tersebut mengakibatkan tragedi yang terjadi di Jerman pada saat Nazi berkuasa. Enam juta orang Yahudi menjadi korban kekejaman politik identitas dan itu menjadi salah satu peristiwa terburuk yang tercatat dalam sejarah dunia. Alasan inilah menjadikan politik identitas diyakini sebagai cara berpolitik yang memiliki potensi radikal karena datang langsung dari identitas diri sendiri sebagai upaya untuk mengakhiri penindasan dengan cara pembalasan yang serupa atau bahkan lebih. Di Indonesia sendiri telah banyak dijumpai politisi yang cenderung mengarah pada politik identitas. Agama Islam di Indonesia seringkali dijadikan sebagai alat politik belaka saat pemilu tiba. Alasannya, agama Islam memiliki posisi yang strategis karena memiliki sejarah panjang dalam politik Indonesia, selain itu mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Politik identitas digunakan untuk mendapatkan dukungan politik. Kita masih sangat ingat dalam pemilihan gubernur Jakarta 2017. Banyak sekali kejadian yang sejatinya menciderai nilai-nilai kemanusiaan gara-gara politik identitas. Agama dieksploitasi sedemikian rupa untuk membelah masyarakat. Masih ingat bagaimana sekelompok orang tidak mau menshalatkan saudara seiman pun karena perbedaan pilihan politik? Pertentangan politik akan semakin tajam bahkan meningkat menjadi pertarungan yang sacral. Masih ingatkah pula Pilpres 2019 di mana persaiangan politik dimaknai perang dengan doa akbar kemenangan yang dilantunkan layaknya sebuah peperangan. Keras dan sporadisnya politik identitas mampu membuat masyarakat tersegregasi dan terbelah menjadi dua kubu yang berlawanan. Wilayah agama digadang sebagai lahan beroperasi politik identitas. Dalam konteks Indonesia sendiri, politik identitas terkadang dilakukan oleh kelompok mainstream, yakni kelompok agama mayoritas dengan kaum minoritas. Kemudian disusul dengan munculnya gerakan-gerakan radikal atau semi radikal yang mengatasnamakan agama tersebut. Dari sini kita bisa simpulkan bahwa, politik identitas merupakan sebuah cara berpolitik yang didasarkan kepada kesamaan dan kesamaan identitas. Dan di Indonesia politik identitas di kerucutkan menjadi dua kelompok, yakni nasionalis dan agamis yang selalu dibenturk-benturkan. Corak membenturkan antara agama dan nasionalisme sejatinya adalah cara berpikir kelompok radikal. Apabila politik identitas ini terus berjalan, maka akan menimbulkan dampak yang cukup signifikan bagi bangsa dan negara kita. Politik identitas tidak hanya akan memberikan ruang pertentangan menuju proses demokrasi yang tidak sehat, tetapi menjadi lahan subur pandangan radikalisme di tengah masyarakat. Jika negara tidak mampu mengelolanya dengan tepat dan bijak, politik identitas akan mampu menghancurkan stabilitas dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena pertentangan tersebut tidak akan memiliki jalan tengah dan justru tumbuh menjadi sumbu yang siap meledakkan bangsa. Bukan saja kepentingan politik yang dipertaruhkan di sini, namun juga kepentingan masyarakat luas. Kita tahu bahwa Indonesia merupakan sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras, serta budaya. Indonesia juga banyak menyimpan berbagai sumber daya alam dan juga sumber daya manusia yang melimpah, dengan penduduk yang banyak dan juga memiliki latar belakang budaya, agama, serta suku yang berbeda-beda. Jadi apabila logika politik identitas adalah untuk membagi kita dalam sebuah kelompok-kelompok akan menjadi ancaman besar terhadap negara yang majemuk ini. Karena itulah, politik identitas merupakan salah satu ancaman besar bagi negara ini. Daripada menuju politik identitas, kita harus bergerak menuju politik solidaritas.
Faktual

Jokowi Ingatkan Politik Identitas : Apa Bahayanya ?

Dalam sembutan pada Pembukaan Munas XVII Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), 21 November yang lalu, ...
Read more 0
Memahami Bualan Khilafah sebagai Solusi Segala Persoalan
Narasi

Memahami Bualan Khilafah sebagai Solusi Segala Persoalan

Tidak hanya isu besar seperti resesi, kenaikan BBM, pandemi, bahkan persoalan rumah tangga pun seakan ...
Read more 0
Photo 2022 12 01 14.16.17
Kebangsaan

Inilah Gerbong yang Kerap Menjual Isu Islamofobia di Indonesia

Sungguh ironis, negara yang mayoritas muslim, bahkan terbanyak sedunia, justru seringkali dihampiri dengan isu yang ...
Read more 0